logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

3. Di Bawah Tenda Tukang Ketoprak

"Uhuk!" Brian terbatuk karena tersedak. Ia terkejut saat gadis di sampingnya menanyakan namanya.
"Aduh, Mas. Maaf," ucap gadis itu sambil menuangkan segelas teh hangat. Kemudian memberikannya pada Brian.
Brian segera meneguk air teh tersebut sampai habis. Lega rasanya, setelah ketoprak yang cukup pedas membuat tenggorokannya lumayan sakit.
"Ehem." Brian berusaha menetralkan suaranya sebelum memulai bicara.
"Terima kasih, Mbak," ucap Brian tulus.
"Saya minta maaf, Mas. Gara-gara saya Mas sampai tersedak," ucap gadis itu merasa bersalah.
"Gak apa-apa, sayanya saja gak fokus. Oia nama saya Brian," ucap Brian seraya mengulurkan tangan kanannya.
Gadis itu tersenyum. Kemudian mengulurkan tangannya menyambut tangan Brian.
"Saya Anisa, Mas Brian bisa panggil saya Icha seperti Bang Udin dan orang-orang di sini manggil saya," ucap Icha alias Bening.
"Oke, Icha," ucap Brian tersenyum.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kedatangannya ke sini tidak sia-sia. Ia mendapatkan tujuan yang diinginkan. Makam ayah hanya alasan kedua. Gadis dengan lesung pipi itu yang menjadi alasan utama Brian kembali ke sini.
Mereka langsung akrab satu sama lain. Icha merupakan gadis yang ramah. Pada siapapun ia bersikap ramah. Sikapnya yang tak sungkan untuk membuka obrolan membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Ada saja yang menjadi bahan pembicaraan.
Banyak yang menyukai gadis periang itu. Di makam ini, dari penjaga makam sampai tukang ketoprak sangat senang jika berbicara dengannya. Sikapnya yang rendah hati membuat orang betah berlama-lama berbicara dengannya. Termasuk Brian.
Baru kali ini ia menemukan gadis yang begitu menarik kepribadiannya. Berbeda dengan gadis yang selama ini ia temui, yang lebih mementingkan penampilan dan harta. Gadis di sampingnya itu seperti tak memperdulikan hal itu sama sekali.
Hal ini dapat dilihat dari gaya bicara dan topik yang diambil. Serta cara berpakaian yang sangat biasa saja. Namun, justru hal itu yang membuat Brian tertarik.
***
Hujan deras yang menjadi saksi pertemuan mereka tak lama kemudian berhenti.
Icha berdiri bersiap untuk pergi.
"Bang, ketopraknya udah?" tanya Icha pada Bang Udin.
"Udah, Neng Icha," jawab Bang Udin.
"Sudah mau pulang, Cha?" tanya Brian.
"Iya, kasihan ibuku, Mas. Sendirian di rumah," ucap Icha.
"Mau kuantar?" tanya Brian lagi.
"Makasih, Mas. Dekat kok dari sini, jalan kaki juga sampai, aku duluan ya, Mas," jelas Icha.
"Ohh, oke," ucap Brian. Ia tak mau memaksa, ia khawatir jika terlalu memaksa, Icha tidak menyukainya.
***
Brian tetap di tempat ketika Icha pergi. Ia bermaksud mencari informasi mengenai Icha pada Bang Udin. Sepertinya mereka kenal sudah lama dan cukup dekat, begitu pikir Brian.
"Neng Icha itu, ke sini kalau hujan saja, Mas." Bang Udin mulai bercerita tentang Icha.
Brian menyimak apa yang Bang Udin ceritakan.
Melihat lawan bicaranya tertarik, Bang Udin melanjutkan ceritanya. Ia tahu, sejak awal Brian memang menunjukkan ketertarikannya pada Icha.
"Kata neng Icha, hujan itu bikin kangen sama ayahnya. Makanya dia ke sini mengunjungi makam ayahnya," lanjut Bang Udin.
"Jadi Icha ke sini tiap hujan, Bang?" tanya Brian memastikan.
"Ya, gak selalu, sih, Mas. Tapi karena kebetulan sekarang sedang libur kuliah dan tiap hari hujan ia jadi sering ke sini," jelas Bang Udin.
"Ohh, gitu. Pantas kemarin dia ke sini," ucap Brian.
"Rumahnya dekat dari sini, Mas. makanya ia sering ke makam ini," jelas Bang Udin.
"Memang di mana Bang?" tanya Brian.
"Mas Brian mau ke sana?" tanya Bang Udin.
Ditanya begitu, Brian jadi salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hehehe, gak apa-apa, Mas. Neng Icha memang cantik, bikin penasaran yang lihat," ucap Bang Udin.
"Hahaha, Bang Udin tau aja," ucap Brian.
"Saya juga pernah muda, Mas," ucap Bang Udin.
"Memang ada yang tanya rumahnya, Bang?" tanya Brian.
"Wah, banyak," jawab Bang Udin.
"Banyak? Terus?" tanya Brian makin penasaran.
"Ya, gak gimana-gimana. Mereka mundur alon-alon. Neng Icha mau fokus kuliah katanya, jadi gak mau pacaran dulu," jelas Bang Udin.
Mendengar hal tersebut entah kenapa Brian menjadi kecewa. Sebenarnya ia tak bermaksud menjadikan Icha kekasihnya. Namun, beberapa menit bersama Icha ada rasa nyaman yang selama ini belum pernah dirasakan.
"Tapi, Mas Brian gak usah khawatir. Abang doakan semoga Icha mau sama Mas Brian," ucap Bang Udin.
"Hahahaha, ada-ada aja." Brian tergelak mendengar ucapan Bang Udin.
"Bang, sudah sore, nih. Bang Udin buka sampai malam? Memang ramai, Bang? Di depan makam gini?" tanya Brian.
"Ya, gak, Mas. Saya juga mau tutup ini. Kalau malem takut ada yang minta sate seratus tusuk. Hahahaha," ucap Bang Udin.
"Wah, saya jadi gak enak, nih. Gara-gara saya Bang Udin jadi terlambat pulang," ucap Brian.
"Gak apa-apa, Mas. Saya senang ada teman ngobrol," ucap Bang Udin.
"Ya sudah, Bang. Saya pulang dulu. Terima kasih ya untuk info dan doanya," ucap Brian tulus.
"Ya, sama-sama, Mas Brian," kata Bang Udin sambil membereskan dagangannya.
Brian bergegas berlari ke arah mobilnya kemudian memencet tombol kunci. Seketika mobil itu berbunyi tanda kunci telah terbuka.
Lelaki berparas tampan itu masuk ke dalam dan menutup pintu mobilnya. Tak lama kemudian suara halus mesin menderu menandakan mobil sudah siap berangkat membelah jalanan. Brian membunyikan klakson tanda ia pamit pada Bang Udin.
Dari tenda yang alakadarnya itu, terlihat Bang Udin melambai pada Brian sambil tersenyum.
Brian memacu mobil hitam kesayangannya. Kapan-kapan ia akan kembali ke sini lagi untuk menemui Icha. Gadis manis yang dua hari ini mengganggu pikirannya.
***
"Tumben kamu bawain ibu makanan, ketoprak lagi. Beli di mana?" tanya mamanya ketika Brian memberikan sekantung plastik hitam berisi ketoprak.
"Tadi di makam ada yang jual. Brian laper. Jadi Brian makan dulu terus bungkus deh buat dibawa pulang," jawab Brian.
"Oh, kamu jadi ke makam? Pasti sekarang makamnya kotor banget, ya. Kamu, sih disuruh ke sana susah banget. Sedangkan mama takut kalau ke sana sendirian. Tadi sekalian dibersihkan?" cecar sang mama sambil melahap ketoprak dari putra semata wayangnya.
Mendengar hal tersebut Brian jadi ingat bunga mawar yang di tanam di pusara ayahnya. Mendadak hatinya panas.
"Bri? Kamu kenapa? Mama nanya lho?" tanya mama Brian.
"Mama tenang aja, makam ayah bersih, kok," ucap Brian.
"Lagian, anaknya bukan aku aja." Brian bermaksud menyudahi obrolan dengan mamanya saat itu. Ia melenggang masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
"Bri ... Brian!" teriak mama Brian.
Ia heran melihat wajah putranya berubah menjadi masam dan terlihat sekali sedang sangat kesal.
"Hmm ... tampaknya anak itu belum memaafkan ayahnya," ucap mama Brian.

Book Comment (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters