logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

9. Suryo dan Bik Marni

9. Bik Marni dan Suryo
Selepas mengobrol dengan Arfan langkahku terasa ringan. Hati dan otak yang sebelumnya terasa sesak, mulai terasa lega. Ternyata ada yang satu tujuan denganku. Bahkan, dengan adanya Arfan aku yakin rencana pembalasan dendam ibuku akan terlaksana.
Merayakan kegembiraan hati ini aku berencana akan ke salon. Telah lama tubuh dan wajahku tak mendapatkan haknya.
"Silahkan, Mbak." Seorang gadis seumuran denganku menyambut dengan ramah begitu aku membuka pintu kaca salon ini.
"Aku mau paket lengkap, ya?" Aku memesan pelayanan yang disediakan oleh pihak salon.
"Oke siap. Sebentar kami siapkan dulu, Mbak." Gadis dengan rambut disanggul dan seragam batik mega mendung itu berlalu setelah menyuruhku menunggu.
"Bu Suryo. Habis ini kita jalan-jalan dulu. Jarang-jarang lho Ibu ada waktu pergi bareng kami." Seorang wanita paruh baya dengan gaya khas ibu-ibu sosialita mencuri perhatianku.
"Aduh, gimana, ya ... takut Arfan dan Mas Suryo mencariku kalau kelamaan di luar." Wanita yang dipanggil Bu Suryo itu terlihat keberatan dengan ajakan temannya.
"Ehhh, Jeng. Masa iya Arfan sudah sebesar itu masih nyari ibunya, ada juga sekarang yang dicari pacarnya kali, Jeng." Wanita dengan kerudung merah muda menimpali.
Meskipun hanya bertiga, mereka sukses membuat ruang tunggu salon menjadi ramai. Tapi ... tunggu ... tadi mereka menyebut Suryo dan Arfan. Apakah, itu ibunya Arfan?
"Yowis, nanti aku telepon Arfan dulu," ucap ibu Arfan sambil berdiri dan menjauh.
***
Aku melakukan perawatan wajah dan tubuh. Tak dipungkiri, sebagai penari aku butuh melakukan hal ini.
Pijatan lembut dari terapis membuat mataku terpejam. Namun, meskipun begitu otak ini tetap bekerja, memikirkan apa yang harus aku lakukan kedepannya.
Suryo ... masih kurang puaskah ia dengan istri yang ada di rumah. Wanita yang kulihat tadi bahkan masih terlihat kencang dan sangat cantik. Kulit putihnya berpadu dengan indah dengan dress selutut. Meskipun aku tahu umurnya sudah gak muda lagi, tapi untuk kecantikan bisa diacungi jempol. Jauh berbeda dengan wanita-wanita penggoda yang sering ditemui Suryo.
Dasar kucing, disodori ikan asin dilahap juga. Padahal di rumah ada ikan segar yang siap di santap.
***
Waktu menunjukkan pukul lima sore ketika aku selesai perawatan. Kebetulan malam ini tak ada jadwal manggung aku berencana menghabiskan waktu di luar. Namun, ke mana?
Aku mengutak-atik layar ponsel membuka aplikasi ojek online. Tanpa sadar alamat Bik Marni aku klik sebagai tempat tujuan.
Sepertinya aku sangat rindu. Terakhir bertemu dengannya beberapa hari yang lalu tidak diakhiri dengan baik. Aku tak sengaja membentaknya.
Ada rasa bersalah saat mengingat hal tersebut. Ya, aku harus minta maaf padanya.
Tak perlu menunggu waktu lama, ojek online yang kupesan sudah ada di hadapan. Segera kunaiki dan kami meluncur ke tempat Bik Marni.
***
Aku turun dari ojek online ketika kami sampai di gerbang rumah Bik Marni. Di sana terparkir sebuah mobil mewah.
Dahiku mengkerut. Rasanya mobil ini tak asing.
"Mbak Nadia?" Seorang lelaki menyapaku.
Aku memicingkan mata dan ingat kalau ia adalah sopir Mas Suryo. Berarti di dalam ada Mas Suryo.
"Mau ke mana, Mbak? Cari Bapak? Atau Bu Marni?" tanyanya.
"Oh, eh, anu ... saya mau ke rumah saudara," jawabku asal.
Dari pertanyaannya, sepertinya Mas Suryo sering ke mari. Terlihat sang sopir seperti kenal dengan Bik Marni.
"Oh, saudara Mbak Nadia juga tinggal di sini?" tanyanya lagi.
"Iya, ya sudah. Aku pamit dulu ya, Pak." aku bergegas pergi meninggalkan sopir itu.
Di hadapan sopir itu aku tak mungkin masuk ke rumah Bik Marni melalui gerbang utama.
Berjalan mengendap, memutar otak di sisi pagar. Aku bersembunyi agar tak terlihat oleh sopir itu.
Aku ingat di dekat pendopo, tempat aku biasa latihan menari ada pintu. Dulu, aku sering lewat ke situ.
Letak pendopo ada di halaman belakang. Aku bergegas jalan ke bagian belakang rumah.
"Yes, tidak dikunci." Aku bersorak tertahan. Takut ada yang mendengar.
Kuintip ke dalam melalui lubang yang berada di pintu besi itu. Ah, sial. Mas Suryo dan Bik Marni. Mereka berbicara sambil menghadap ke arah pintu. Kalau aku masuk, jelas mereka akan mengetahuinya.
Akhirnya aku mengurungkan diri untuk masuk ke dalam. Ingin sekali mendengar apa yang mereka bicarakan. Dalihat dari raut wajah Bik Marni. Ia seperti orang yang sedih dan ketakutan.
Apa Mas Suryo mengancamnya? Apa yang harus kulakukan?
Aku terus memperhatikan mereka. Hingga kejadian tak masuk di nalarku. Mas Suryo memegang dagu Bik Marni dan menggenggam tangannya. Ada apa ini? Apa yang mereka sembunyikan dariku? Bik Marni, bukankah ia sangat membencinya? Kenapa mereka bisa sedekat ini?
Aku mengendap-endap sambil terus memperhatikan tingkah kedua orang yang menurutku tak mungkin untuk bersama.
"Aww! Sakit." Aku memekik pelan saat merasakan sakit di lengan.
Ini bukan mimpi, mereka berdua memang sedang bersama. Dua orang yang kutahu salah satunya menyimpan dendam yang begitu besar.
Mereka berdua berdiri kemudian berjalan pelan. Sayang, percakapan mereka tak dapat kudengar.
Terus berjalan semakin menjauh dari tempatku sembunyi. Beruntung aku bersembunyi di tempat yang strategis. Sehingga seluruh taman dapat kulihat tanpa khawatir terlihat.
Mereka semakin menjauh.
"Ahh, mau ke mana mereka?"
Perlahan aku membuka slot pagar besi.
Krieett.
Seketika aku menutup mulut saat pagar ini berbunyi. Suara besi beradu khas pagar dibuka atau ditutup ternyata tak bisa aku redam.
Tapi beruntung, kedua orang itu sudah jauh dari sini. Sehingga, mereka tak mendengar suara pagar dibuka.
Perlahan aku mengendap-endap, sembunyi dari satu pohon ke pohon yang lain. Kebun Bik Marni yang rimbun ini membantuku untuk bersembunyi.
Sampai pemandangan yang tak kupercaya berada di depan mataku.
Mereka berdua berpelukan.
Selanjutnya lebih mencengangkan. Mas Suryo mencium bibir ibu asuhku itu. Apa ini? Apa aku kena prank?
Ingin rasanya aku cepat ke luar dan mengejutkan mereka. Namun, aku ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi di sini. Rahasia apa yang mereka sembunyikan dariku.
Hatiku sakit dan marah melihat pemandangan di depan. Jarak kami sekitar lima meter. Beruntung pohon bunga kertas yang cukup besar ini mampu menyembunyikan tubuhku.
Dalam jarak sedekat ini tak ada percakapan yang bisa kudengar. Mereka berdua diam. Namun bahasa tubuh mereka membuat semuanya menjadi rumit.
Mereka seperti sepasang kekasih yang telah lama tak berjumpa. Pancaran mata Bik Marni yang melihat Mas Suryo. Aku yakin, itu bukan tatapan benci melainkan .... Ah, entahlah. Aku terlalu pusing memikirkannya.
Berbeda dengan Bik Marni, Mas Suryo memandang penuh nafsu padanya. Ya, walaupun sudah berumur wajah dan perawakan Bik Marni masih seperti gadis. Tentu melihat itu, hidung belang seperti Mas Suryo tak akan tahan.
Tapi, kenapa Bik Marni melayaninya? Kenapa seperti itu?
Bersambung

Book Comment (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters