logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

8. Arfan

7. POV Arfan
POV Arfan
Tengah malam ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dari Nadia. Aku mengernyit heran. Tumben sekali gadis itu menelpon jam segini.
Kugeser logo bulan berwarna hijau. Panggilan tersambung. Namun, ada yang aneh. Suaranya tidak jelas.
"Halo Nad ... Nadia!" Aku berteriak memanggil namanya.
Berulangkali aku mencoba. Namun, tak juga ada jawaban. Hanya terdengar suara ribut-ribut dan teriakan yang tak begitu jelas. Aku khawatir.
Memutuskan sambungan telepon kemudian aku mencoba lacak keberadaan Nadia.
Tak menunggu lama. Lokasi penari cantik itu langsung terlacak. Hotel Samudera.
"Hotel? Perasaan gak ada jadwal manggung hari ini." Aku bergumam sendiri. Heran kenapa Nadia ada di hotel saat tengah malam seperti ini.
Tak ingin membuang waktu aku memacu kendaraan roda duaku. Tak tenang rasanya sebelum memastikan gadisku aman.
Keadaan kota di pesisir pantai saat malam seperti ini bagaikan kota tak berpenghuni. Sepi. Hanya beberapa rumah makan yang buka dua puluh empat jam saja yang masih menampakkan aktivitasnya.
***
Aku sampai di lobi Hotel Samudera. Tak mau menunggu, kupaksa petugas hotel menuju kamar Nadia. Entah perasaan ini sungguh tak nyaman. Aku merasa Nadia dalam bahaya saat ini.
Petugas hotel hendak menggedor pintu kamar. Namun, segera aku menghalanginya.
"Ada serep, kan? Langsung buka saja!" perintahku.
"Tapi, Mas. Bagaimana nanti kalau pelanggan marah?" tanyanya, polos.
Kutarik kerahnya. Sambil mengancamnya.
"Buka! Atau kamu akan kulaporkan pada Pak Suryo. Aku adalah anaknya. Mau kamu dipecat!"
"T ... tapi, Mas," ucapnya terbata berusaha mengelak.
"Buka!" Aku berteriak.
Ternyata teriakanku mengundang beberapa penghuni hotel yang lain. Mereka berkerumun, ingin tahu apa yang terjadi.
"Buka sekarang! Seseorang dalam bahaya di dalam sana!" teriakku lagi.
Beberapa orang yang datang berkerumun mendukung aksiku. Mereka mendesak agar petugas hotel itu membukanya.
Cklek! Pintu terbuka. Aku bergegas masuk terlebih dahulu. Kulihat petugas hotel terhuyung, hampir jatuh saat aku menerobos menyenggol badannya.
"Ayah!" Aku berteriak demi melihat siapa yang ada di hadapanku.
Mataku panas. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Tubuh tuanya hanya memakai celana dalam. Dan di atas kasur sana. Ya Tuhan. Nadia terikat dengan tubuh telanjang.
Aku maju, menutupi tubuh Nadia dengan selimut. Matanya terpejam. Banyak luka memar di wajah dan tubuhnya. Entah ia sadar atau tidak.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Arfan! Tenang, kamu salah paham! Ayah tidak sepenuhnya salah!"
"Bajingan!" teriakku penuh amarah.
Baru kali ini aku melampiaskan kemarahan pada ayahku. Setelah sekian lama kucoba menahan, akhirnya pertahananku jebol juga. Dengan membabi buta aku memukulinya.
Pukulan demi pukulan kulayangkan. Tak hanya marah akan apa yang terjadi pada Nadia. Tapi juga wanita-wanita yang biasa dibawa ayah. Untuk ibuku yang selalu menangis karenanya. Dan untuk mendiang kakekku.
Kalau saja tak dilerai, mungkin ia akan mati di tempat olehku. Ia dibawa ke luar oleh petugas hotel. Beberapa orang membantunya untuk berpakaian. Jijik sekali melihatnya dalam keadaan seperti itu.
***
Setelah memastikan Nadia baik-baik saja, aku kembali ke rumah. Kupacu motor besar membelah jalanan. Percakapan dengan Nadia di rumah sakit tadi membuat otakku tak berhenti berpikir.
Seorang Nadia pun ingin kuliah. Aku tahu itu sejak dulu. Namun, ia bukan tipe orang yang melakukan apa saja demi ambisinya. Terlebih, harus menjual diri. Aku yakin, ada yang disembunyikan.
Tak terasa aku sudah sampai di rumah. Di depan teras kulihat ayah dan ibuku sedang menikmati teh sambil membaca koran. Aku membuang napas kesal saat melihat ayahku acuh seperti tak terjadi apa-apa semalam. Entah apa alasannya pada ibu perihal wajah bengkaknya.
"Fan ... udah sarapan? Semalam ke mana? Kok gak pulang?" tanya ibuku.
"Arfan nginap di rumah teman, Bu," jawabku sambil berlalu. Malas rasanya melihat wajah ayahku.
***
"Yah, Arfan mau ngomong." Malam ini aku menghampiri ayah ketika ia sedang menikmati sebatang rokoknya di halaman belakang.
"Hmm," jawabnya acuh.
"Arfan sudah tahu kelakuan Ayah di luar sana. Silahkan Ayah mau berbuat apapun. Arfan tak peduli. Namun, jangan sekali-kali ganggu Nadia," ucapku panjang lebar.
Kulihat Ayah menghisap rokoknya dalam-dalam. Asap mengepul ke luar dari hidungnya, banyak sekali. Kemudian matanya melirik ke arahku dengan sinis. Senyum miringnya kentara sekali, ia meremehkan diriku.
"Ayah tak mengganggunya, wanita jalang itu yang datang sendiri menawarkan dirinya pada ayah. Kucing di kasih ikan siapa yang nolak. Kamu juga nanti ngalami, hahahahha. Uhuk ... uhuk ...." Ia berkata dengan sangat percaya diri tertawa sampai terbatuk-batuk. Ada rasa sakit saat ia menyebut Nadia sebagai wanita jalang.
"Jauhi Nadia atau ...." Sengaja kugantungkan ucapanku.
"Atau apa?" tanyanya masih meremehkanku.
"Atau aku akan memberitahu ibu, apa yang Ayah lakukan pada kakek malam itu." Aku menekan setiap kata ketika mengucapkannya.
"Uhuk ... uhuk ...!" Ia tiba-tiba terbatuk setelah mendengar ucapanku. Entah tersedak asap atau air liur. Atau mungkin, terlalu takut jika aku benar-benar mengetahui tragedi malam itu.

Book Comment (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters