logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

11. Kehidupan Baru

Kehidupan Baru
Telah sebulan lamanya aku memutus semua kontak yang berhubungan dengan Mas Suryo. Saat ini aku tinggal di kota yang berbeda dengan mereka.
Beruntung aku tak memiliki jadwal menari yang berhubungan dengan pemerintahan. Seperti acara pentas budaya atau hal lainnya.
Selama sebulan ini, aku hanya mengisi acara tari yang sifatnya undangan pribadi. Seperti mengisi acara di pernikahan.
Seperti hari ini, aku akan menari di acara pernikahan. Saat ini aku tak tampil sendiri. Aku ikut dalam sebuah kelompok tari yang biasa mengisi acara seperti ini.
Memang dibandingkan menari secara solo, bayaran menari secara berkelompok ini tak seberapa. Namun, lumayan untuk bertahan hidup. Selain itu, aku ingin menyamarkan keberadaanku dari manusia-manusia itu.
Biarlah rencana balas dendam akan aku pikirkan sambil berjalan. Saat ini aku begitu syok setelah semua yang terjadi. Terutama peristiwa yang terjadi di rumah Bik Marni.
Akibat peristiwa itu, saat ini aku susah percaya pada orang. Perasaan dikhianati begitu dalam membuat batinku terluka. Dan luka yang menganga terlalu lebar untuk dapat diobati.
"Siap, Ci?" tanya seorang laki-laki padaku. Ia Bagus, rekan menariku.
Aku merasa beruntung bisa bergabung dalam kelompok tari ini. Di sini aku bisa sejenak melupakan masalah dan menata hidup baru.
Aku memperkenalkan diri sebagai Suci Prameswari. Aku tak berbohong. Namaku memang Nadia Suci Prameswari Rahayu. Tak kugunakan nama panggung yang biasa dikenal orang yaitu Nadia Rahayu. Biar saja orang-orang di sini mengenalku sebagai pribadi baru, yaitu Suci Prameswari.
***
Suatu hari kelompok menariku mendapat pekerjaan untuk mengisi sebuah acara pernikahan di kota kelahiranku.
Saat aku lihat lokasinya pada alamat yang dicatat oleh Bagus, aku terkejut. Tempat itu sangat dekat dengan tempat tinggal Bik Marni.
"Ci, kamu ikut, ya," ucap Bagus.
"Ehm. Kalau kali ini aku gak ikut gimana, Gus?" tanyaku ragu.
"Yah, sayang banget. Padahal kami mau sekalian mampir ke rumah penari terkenal di sana, lho," ucap Bagus.
"Lihat, nih. Alamatnya dekat banget sama penari senior yang ada di daerah sana. Nanti kamu bisa kenalan dengannya. Kabarnya banyak penari yang sukses di bawah bimbingannya," jelas Bagus.
Aku terdiam cukup lama. Apa yang dikatakan Bagus memang benar adanya. Bukan kata orang lagi, aku memang pernah merasakan sendiri bagaimana Bik Marni membimbing para penari di bawah asuhannya.
Tapi, untuk sekarang aku belum siap untuk bertemu dengan wanita itu. Alasan apa agar teman-teman di sini bisa mengijinkan aku untuk tidak ikut menari.
Aku anak baru di sini, jelas sangat sulit bagiku untuk ijin. Mereka pun tahu kalau aku tidak punya kegiatan lain selain menari.
"Sst, Ci! Sini!" bisik Kinar. Ia adalah teman yang sangat dekat denganku sejak bergabung di kelompok ini.
"Kenapa, Nar?" tanyaku.
"Kamu kayak yang bingung? Kenapa? Gak biasanya males-malesan kalau ada job nari." Kinar memberondong aku dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
Memang baru kali ini aku merasa enggan untuk menari. Bukan soal menarinya. Justru aku sangat senang menari.
Namun, aku khawatir jika aku ikut Bik Marni akan mengenaliku. Terlebih seperti kata Bagus, kami akan bertandang ke rumahnya.
"Hei, ditanya malah bengong," ucap Kinar sambil menepuk pundakku.
"Anu, Nar. Kira-kira kamu tahu gak nanti kita bawain tarian apa? Aku lupa tadi gak tanya ke Bagus," ucapku beralasan.
"Ya biasa toh, kita bakal nari merak. Nanti kamu sama Bagus seperti biasa berpasangan, kami jadi pengiring." Kinar menjelaskan.
"Ohhh, gitu, ya." Aku mengangguk-angguk pertanda paham.
"Kamu kenapa? Kayak yang baru nari aja? Kan sudah sebulan kamu bergabung dengan kami," cecar Kinar.
"Hehehe, gak apa-apa. Kalau aku jadi pengiring aja bisa gak ya, Nar?" tanyaku.
Jujur saja untuk pertunjukan nanti aku tak mau orang terlalu fokus padaku. Sedangkan untuk menari berpasangan dengan Bagus pasti semua mata akan tertuju pada kami.
"Kenapa? Tanya ke Bagus, terus siapa yang gantikan kamu? Di kelompok kami kamu paling cantik dan paling piawai. Makanya Bagus milih kamu sebagai pasangan nari," jelas Kinar.
"Hmm. Iya, sih. Yaudah nanti aku tanya Bagus aja. Semoga dia mengijinkan. Thanks, ya, Nar." Aku menepuk lengan Kinar kemudian berlalu.
"Ck, aku tanya kenapa gak dijawab," ucap Kinar lirih. Namun, masih dapat aku dengar.
Maaf Kinar, saat ini aku belum siap bercerita semuanya padamu. Nanti suatu saat aku pasti akan bercerita dengan jujur padamu. Biarlah sementara ini aku menjadi pembohong dahulu.
***
Aku berkeliling sanggar mencari Bagus. Beberapa rekan yang sedang berlatih aku tanyai. Namun, tak ada satupun yang mengetahui keberadaan Bagus.
Karena lelah, kuputuskan untuk duduk di bangku kayu sejenak sambil memperhatikan rekan yang sedang berlatih menari.
"Ci, kamu nyari aku?" Pundakku ditepuk dari belakang.
"Iya, kamu ke mana aja. Ini sakit tau," ucapku sambil mengusap pundak.
Bagus tertawa melihatku kesakitan.
"Lagian kamu dipanggil-panggil gak nyahut, yaudah aku tepuk keras-keras," ucap Bagus tanpa rasa bersalah.
"Hah, masa?" tanyaku tak percaya. Perasaan sejak tadi tak ada yang memanggilku.
"Iya, kamu melamun. Mata sih memperhatikan yang nari. Tapi pikiran ke mana-mana.
Begitukah? Bahkan melamun pun aku tak sadar. Hatiku ternyata belum siap bertemu Bik Marni. Rencana akan mengunjunginya membuat otakku penuh, sampai tak fokus pada keadaan sekitar. Bagaimana jika nanti berada di sana. Bisa-bisa menari pun aku tak benar.
"Kenapa cari aku?" tanya Bagus.
"Hmm. Untuk acara nanti di kota sebelah. Kalau aku jadi pengiring aja boleh gak, Gus?"
"Kenapa emangnya?" tanya Bagus lagi.
"Kenapa, ya. Bosen aja pasangan terus sama kamu, hehehe. Boleh ya, Gus. Kali ini aja. Pengen banget ngerasain jadi pengiring," jelasku.
"Ya, gak apa-apa, sih. Tapi kamu harus ikut ke sana, ya. Sayang banget soalnya kalau gak ikut. Lumayan bisa dapet ilmu gratis dari senior. Kapan lagi kita bisa ketemu sama dia."
"Eh, iya, Gus." Aku menjawab sekenanya.
Ah, Bagus. Andai kamu tahu bahwa bertemu dengan penari senior itulah yang ingin aku hindari.
***
Memandang langit senja di depan kontrakan begitu damai rasanya. Andai hidupku akan damai seperti ini seterusnya. Namun, tak dapat ku pungkiri, sebelum mengetahui penyebab kematian ibu. Aku belum merasa tenang.
Adzan Maghrib berkumandang, aku bergegas masuk ke dalam kamar kontrakan kemudian bersiap untuk mengambil air wudhu. Ya, saat ini sedikit demi sedikit aku belajar untuk mendekatkan diri pada-Nya. Agar hatiku bisa lebih lapang dan menerima apa yang terjadi padaku. Terutama pada ibuku.
Aku membuka pintu kamar mandi. Perlahan menginjakkan kaki di lantai yang dingin ini. Meski tubuhku bergerak ke sana kemari. Namun, pikiranku tetap diam di tempat. Memikirkan bagaimana jika nanti kalau aku bertemu Bik Marni.
Bruakh!
"Aduuuh ...." Aku terpeleset. Pikiran yang tak fokus membuatku salah berpijak dan kehilangan keseimbangan.

Book Comment (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters