logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

THE SECRET OF HIDDEN FAMILY

THE SECRET OF HIDDEN FAMILY

ularuskasurius


1. Ayah dan Amak

Titan View;
Mentari senja akan segera tergelincir menjemput sang rembulan. Desauan angin, lirih menerpa wajahku yang seharian tadi panas dibakar matahari. Tanah di persawahan ini masih kering kerontang, kecuali sepetak sawah yang telah kualih fungsikan menjadi ladang cabe dan tomat. Entah kapan hujan akan turun. Hanya sepetak sawah ini yang keluargaku punya. Sawah yang biasanya kami tanami padi kali ini harus ditanami tanaman cabe dan tomat. Itupun dengan perjuangan yang sangat berat. Aku harus mengalirkan air dari bandar kecil yang airnya bukan hanya untuk mengairi sawah yang kujadikan ladang ini. Kami harus bergilir dengan petani lainnya. Kadang-kadang malam-malam pun harus berusaha mengalirkan air supaya tanaman di ladang bisa mendapatkan air yang cukup.
"Uda, pulang kita lagi! Sudah senja!" Akh, aku sampai lupa dengan suara itu. Kulihat di ujung sana, adek kandungku, Remon, sedang mencuci mukanya.
"Iya Re! Tunggu sebentar, sedikit lagi ya. Ini rumput liar masih mesti dicabut!" Remon menganggukkan kepalanya mendengar kata-kataku. Aku melanjutkan pekerjaanku menyiangi rumput-rumput yang tumbuh diantara batang cabe dan tomat. Akh, sebentar lagi tomat ini akan berbuah, kuncup bunganya sudah mulai keluar. Masih kuingat beberapa hari yang lewat ketika Remon meloncat-loncat kegirangan ketika melihat tomat tersebut berbunga.
"Masih banyak lagi, Uda?" Aku sedikit tersentak ketika tiba-tiba Remon sudah berada di sampingku. Wajahnya terlihat memerah.
"Udah hampir siap kok Re!"
"Minum dulu, Uda! Air minum Uda masih tinggal banyak! Tidak kering kerongkongan Uda tu?"
"Hehe, iya! Sampai lupa. Uda senang sekali Re, melihat tomat yang mulai berbunga! Ini berkat kerja keras kita rutin memberi mereka air!" ujarku sambil meraup botol Aqua yang berisi air teh itu. Kuteguk beberapa tegukan. Akhh, terasa segar. Aku sering lupa kalau sudah sibuk dengan pekerjaan.
"Iya Uda, padahal Re sempat khawatir cabe dan tomat ini bakalan mati layu! Ah hujan, kapanlah dia akan turun Uda? Udah tiga bulan seperti ini! Banyak sawah nan tak tertanami. Air di sumur pun sudah kering. Sampai kapan akan seperti ini!?"
"Sabar ya Re. Ga' ada yang sia-sia. Selalu ada hikmah di setiap kejadian yang diberikan Tuhan!" Aku mengusap kepala Remon lembut. Matanya yang jenaka, selalu membuatku semangat. Hanya dia yang mampu membuatku menghilangkan kesedihan, kegetiran dan pahitnya hidup.
"Re, yuk pulang!" Aku sudah membereskan perlengkapanku ketika senja benar-benar melingkupi kawasan persawahan itu. Entah kenapa ada nyeri di hatiku. Nyeri yang tidak aku tahu sebabnya. Desauan angin terasa dingin menembus kulitku. Suara jangkrik mulai saling sahut-sahutan ditindihi suara kodok seolah mereka begitu bahagia menjemput malam.
Kalau musim kering begini tidak banyak orang yang ke sawah ataupun menjadikan sawah mereka ladang. Karena pasokan air yang sangat sulit. Jangankan untuk sawah, untuk kebutuhan sehari-hari saja begitu susah. Air sumur sudah begitu keruh, bercampur tanah kuning. Kadang untuk memenuhi kebutuhan air, orang harus berjalan puluhan kilo ke daerah sumber air di hulu sungai, yang berada di kaki bukit.
"Uda, di bandar atas itu kalau jam segini airnya cukup bersih. Tidak ada salahnya kita mengisi dirigen ini sekaligus membersihkan badan!" Remon mengangkat dua dirigen berukuran sedang yang biasa kami gunakan untuk mengangkut air buat persediaan di rumah.
"Baiklah, badan Uda juga sudah asem banget nih, karena keringat. Ayok Dik, kita segera ke sana sebelum Maghrib betul-betul datang. Sekalian kita Salat maghrib!" Ujarku. Kami segera berjalan menyisiri pematang sawah. Sekitar tiga undakan kita sampai di tepi bandar yang airnya biasanya meluap sekarang hanya menyisakan air yang berkelompok-kelompok di beberapa lobang yang ada di bandar itu. Kami terus berjalan menembus kesunyian. Tempat yang dituju adalah hulu bandar, disana terlihat air mengalir pelan memenuhi sebuah telaga kecil. Melihat air yang memenuhi telaga kecil itu kami sangat riang. Kami mempercepat langkah. Tidak sabar ingin merasakan tubuh kami yang bergetah dengan segarnya air telaga itu.
"Uda, ga' ada orang!"Bisik Remon ke telingaku.
"Baguslah! Berarti kita bisa puas-puaskan mandi! Hehe! Ayo Dik, kita segera mandi sebelum adzan maghrib berkumandang!"
"Baik Uda!" Remon dengan cekatan menanggalkan bajunya. Kulit badannya yang kuning langsat tidak sewarna dengan tangan dan wajahnya yang berwarna kemerahan dibakar matahari. Kami segera mandi membersihkan badan. Terasa segar dan membawa kesejukan dalam hati.
Tidak berapa lama, kami sudah selesai mandi. Kami segera mengambil wudhu dan menunaikan shalat berjamaah di tepi telaga tersebut. Mensyukuri karunia Tuhan atas semua nikmat dan berkahnya di hari ini.
@@@
"Aku tidak sanggup lagi hidup seperti ini! Punya suami tapi seolah-olah tidak punya. Apa saja yang bisa kau kerjakan? Menyesal aku menikah denganmu! 17 tahun sudah, hanya kemiskinan demi kemiskinan yang bisa kau berikan!"
Seperti biasa, kepulangan aku dan Remon ke rumah selalu disambut pertengkaran antara Ayah dan Amak. Dan seperti biasa, Ayah cuma diam menanggapi cercaan dan protes dari Amak yang tidak kenal ujung. Ada saja yang dia ributkan. Ayah, akh, aku melihatnya sebagai seorang lelaki yang lemah lembut, sabar dan penyayang kepada kami. Namun, dia orang yang pasif. Tidak kreatif dan lebih banyak menunggu. Amak sering kesal dan marah kalau Ayah tidak pergi ke sawah atau tidak ada menyetor ke Amak untuk keperluan rumah tangga.
"Assalamu'alaikum!" ujar kami ketika memasuki rumah berdinding papan itu serempak. Menghentikan kicauan Amak di depan Ayah. Ayah menjawab salam kami dengan pelan. Namun wajahnya tetap menyunggingkan senyum.
"Wa'alaikum salam. Sudah Bu, ceramahnya! Anak-anak sudah pulang. Besok Ayah usahakan mendapatkan uang!" Kami mendengar bisikan Ayah ke Amak. Amak melototkan matanya.
"Bagaimana pula ceritanya??? Aku tu butuh duit itu sekarang! Kamu benar-benar lelaki miskin yang tidak bisa apa-apa! Hanya mengusahakan uang 250 ribu saja kamu tidak bisa! Capek aku kalau terus menerus seperti ini!" Ibu menghentakkan kakinya ke lantai dan bergegas menuju kamarnya. Aku dan Remon saling pandang.
"Ayah, Amak kenapa?"
Ayah tersenyum,
"Akh, tak usahlah kalian risaukan. Kalian kan tahu Amak kalian itu sifatnya bagaimana! Tak usahlah kalian pikirkan. Ayok taroh dulu barang-barangnya. Kalian harus ke surau kan? Tapi makan dulu. Amak kalian masak enak tadi!" Ayah mengusap kepala kami. Dan mengangguk mendengar kata-katanya.
Sebenarnya kami lebih nyaman bersama Ayah. Ayah tidak pernah berkata kasar, memukul ataupun memarahi kami terang-terangan. Beda dengan Amak, dia kalau udah kesal habis kami dicubitnya. Tapi walaupun begitu dia seorang ibu yang baik. Dia selalu berusaha memberi kami makanan yang enak-enak. Goreng ikan dan ayam sudah merupakan menu yang biasa buat kami yang miskin. Dan Amak akan mati-matian mencarikan uang buat biaya sekolah kami. Sedangkan ayah, dia hanya tahu bekerja. Kalau duit habis, beras habis, sambal dan lauk habis, dia hanya bisa diam, tidak bisa berhutang ataupun mencari cara bagaimana supaya dapur tetap ngebul. Beda dengan Amak. Amak walau keras tapi dia bertanggung jawab terhadap kami. Cuma sayangnya, dia terlalu sering mengeluhkan sikap Ayah.

Book Comment (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters