logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 9

CELOTEH CAHAYA
BAB 9
Aku bergegas mengambil kunci cadangan yang tersimpan rapi dalam laci. Dengan mudah pintu kamar Rosa terbuka.
Kriet ....
Aku melongokkan kepala ke dalam kamar, tampak remang dan minim cahaya karena lampu kamar yang dimatikan.
Dengan penglihatan yang minim bantuan cahaya dari luar, kupencet saklar lampu yang berhasil kutemukan dengan cara meraba. Hingga kamar menjadi terang benderang.
Ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.
Setelah kuamati ternyata Rosa sedang meringkuk di dalam selimut.
Aku menatapnya dengan heran, kuhampiri dia yang sedang mendesis.
"Kamu kenapa, Ros?" tanyaku sembari membuka selimutnya.
Wajah Rosa tampak pucat, ia menatapku sambil menggeleng.
"Kamu sakit?" tanyaku memastikan.
Dia hanya menggeleng lemah.
Aku mengambil tempat untuk duduk di samping ranjang, kupegang dahi Rosa, aku takut dia demam.
"Nggak panas kok," ujarku setelah memastikan kening Rosa tak masalah.
"Sedikit pusing, Mbak. Aku boleh minta tolong belikan obat sakit kepala?" katanya dengan wajah sendu.
Aku menghela napas panjang, ada rasa lega di dalam hati melihatnya sendirian di dalam kamar. Pikiranku sudah kacau, aku kira mereka berani bermain di saat hari terik dan banyak orang seperti ini.
"Nggak usah beli, aku punya di kamar. Sebentar aku ambilkan dulu," sahutku sembari beranjak.
Tiba-tiba ....
Rosa mencekal tanganku, matanya yang sayu menatapku berharap.
"Aku nggak cocok kalo merk lain, Mbak. Boleh minta tolong belikan paramex aja di warung depan?" pinta Rosa sembari memegang kepalanya.
"Oke, kamu tunggu dulu, ya, di sini!"
Rosa hanya mengangguk dan berkata lirih, "terima kasih, ya, Mbak!"
Aku bergegas ke luar, membelikan obat untuk Rosa. Meskipun dia sudah menyakitiku, tetap saja aku tak tega. Aku masih mengingat dengan jelas kebaikannya padaku tempo lalu.
Tanpa Rosa, mungkin aku belum tentu bisa bangkit dari keterpurukan seperti saat ini.
Kurang lebih dua puluh menit aku meninggalkan Rosa di kamar untuk membeli obat yang ia pinta.
Aku bergegas mengambil segelas air besar untuk Rosa.
Setelah memastikan ia meminum obatnya, aku memintanya untuk segera beristirahat. Rosa hanya mengangguk, wajahnya sudah tampak mendingan.
Kututup lagi pintu dari luar, aku ingin membasuh tubuhku dengan air karena dari tadi selepas dari kantor aku belum sempat mandi, tubuhku rasanya lengket karena debu dan keringat.
Saat hendak memasuki kamar, kakiku menyandung sesuatu yang berada di depan pintu kamarku.
Aku mengambilnya, seketika mataku membulat melihat alat kontrasepsi yang masih terbungkus kertas berwarna biru dengan aroma jeruk.
'Gil*, punya siapa ini? Sejak kapan barang ini ada di sini, perasaan saat aku mondar-mandir sedari tadi, aku tak merasakan ada barang aneh ini di lantai,' batinku dalam hati.
Kubaca dengan jelas dari kemasan, isi 5 buah. Kubuka dan kuhitung dengan cepat benda elastis berbentuk seperti balon tersebut. Aku mengeluarkan semua isinya.
Satu, dua, tiga, empat ... kenapa cuma ada empat?
Oh, sudah pasti yang satu telah digunakan. Berarti mereka baru saja melakukannya mungkin.
Apa Mas Frengky menyempatkan pulang? Hanya demi menikmati seonggok daging milik si asisten?
Pantas aku merasakan ada sesuatu yang ganjil. Dadaku kembali panas, bergemuruh hebat. Namun aku berusaha kuat dan tegar. Boleh saja semua orang menganggapku bodoh, naif dan polos, mereka bebas kok untuk menilaiku sepuasnya. Toh mereka tidak tahu bagaimana rencana yang telah kususun ke depannya?
Rupanya pintar sekali Mas Frengky, mungkin ia pulang tanpa membawa mobil, atau mungkin dia memarkirkan mobilnya tak jauh dari sini untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi? Begitu kah caramu bermain, Mas? Oke, kamu lah yang mengajakku bermain. Akan aku ikuti alur permainanmu. Sekali lagi, jangan anggap Nayla istri yang bodoh dan lambat bergerak. Bukankah kalian tahu, aku tipe orang yang terencana?
Aku tersenyum penuh arti dalam hati. Lihat saja di akhir permainan nanti, siapakah yang akan menyesal hingga mati?
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah mandi, melepas sedikit lelah yang akhir-akhir ini sering bersemayam dalam tubuhku.
Setelah adzan Maghrib, aku bergegas pergi ke rumah Bu RT untuk menghadiri undangan.
Rumah Bu RT tampak ramai, tamu dari kalangan atas terlihat sangat mencolok penampilannya.
Aku segera bergabung bersama mereka, tentu saja untuk promosi bisnisku agar lebih berkembang.
Dari teras Bu RT bisa kulihat dengan jelas bahwa mobil Mas Frengky mulai memasuki pekarangan rumah. Rupanya dia baru saja datang.
Sambil menikmati lemon tea, aku memperhatikan Mas Frengky yang turun dari mobil. Wajahnya tampak fresh dan berseri-seri.
Aku sudah bisa menebak, pasti mereka akan mencoba memadu kasih. Mengingat aku sedang menghadiri acara dan Cahaya pasti sedang asyik menonton tv channel favoritnya.
Tidak akan kubiarkan kalian melepas hasrat dengan mudah di dalam istanaku.
Lihat saja, akan kukerjai kalian.
Aku berpamitan kepada Bu RT, dengan alasan tak ingin meninggalkan Cahaya lama-lama, toh juga asal sudah terlihat di depan Bu RT saja sudah cukup untuk menghormati undangannya.
Kubuka pagar dengan lirih, berlanjut dengan membuka pintu dengan kunci cadangan yang sudah kusiapkan. Benar saja dugaanku, pintu pasti dikunci dari dalam, untung saja aku selalu membawa kunci cadangan ke mana-mana.
Kuseret langkahku dengan pelan, tanpa menimbulkan suara.
Terlihat di ruang tamu Cahaya sedang bermain ponsel. TV dalam keadaan menyala.
Ke mana mereka jika bukan di dalam kamar Rosa pastinya?
Eh, tapi tunggu ... sepertinya ada suara guyuran air di kamar mandi belakang, dekat dengan dapur.
Kulangkahkan kakiku menuju ke arah suara.
Apa mungkin mereka ada di dalam?
Tanpa menunggu lama, aku bergegas menggedor pintu kamar mandi.
Dar dar dar dar
Terdengar suara kran shower dimatikan dari dalam, hening.
Ceklek!
Suara pintu kamar mandi dibuka dari dalam, Mas Frengky menyembulkan kepala sembari bertelanjang dada.
Aroma khas sampo dan sabun menguar.
"Kok nggak sabar, sih?" katanya sembari melilitkan handuk tanpa menoleh ke arahku.
"Nggak sabar apa?" tanyaku sembari menyilangkan tangan ke depan dada.
Mas Frengky hampir terlonjak melihatku berdiri di depannya, wajahnya pucat seketika, seperti melihat hantu.
"Eh, Bunda. Ngagetin aja!" katanya salah tingkah.
"Nggak sabar apa?" tanyaku sembari menatapnya.
"Iya, Bunda, itu tadi gedor-gedor. Nggak sabar nunggu Ayah mandi," jawabnya sembari mengulum senyum.
"Oh," sahutku singkat.
Tentu saja aku paham, mungkin Mas Frengky mengira, Rosa lah yang menggedornya.
"Kok acaranya sebentar?" tanya Mas Frengky sambil memelukku, melangkahkan kaki meninggalkan kamar mandi.
"Iya, males aja lama-lama. Aku pengennya lama-lama sama kamu aja," kataku sembari tersenyum menggoda.
Mas Frengky hanya tertawa.
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka dari dalam, membuatku dan Mas Frengky menoleh seketika.
Rosa keluar dari kamar.
Wajahnya seketika terkejut saat melihatku sudah berada dalam pelukan Mas Frengky.
Dan apa yang kulihat di depan mata ini?
Rosa muncul dengan menggunakan baju tanpa lengan berbahan tipis dan terawang, panjangnya hanya menutupi pantat.
Oh ... rupanya aku datang di saat yang tepat. Untung saja aku tidak terlambat. Mereka bahkan belum memulainya.
"Kamu pake baju kayak gitu apa nggak masuk angin, Ros?" sindirku tajam.
"Eh, oh, ini ... anu, Bu. Tadi gerah, ini aku mau ke dapur ambil minum. Permisi," sanggahnya sembari melewatiku.
Ia tampak menahan malu.
Kulihat mata Mas Frengky tak henti-hentinya memandang tubuh Rosa dari atas hingga ke kaki.
Sempat ku lirik juga Mas Frengky menelan salivanya dengan susah payah.
Kapok, emang enak? Niatnya mau enak-enak, eh belum apa-apa udah ketahuan, jadi gagal, deh.
Setelah Rosa kembali masuk ke kamar, Mas Frengky pun mengajakku masuk ke dalam kamar.
Aku tahu apa yang akan dilakukannya malam ini, pasti dia akan meminta haknya. Karena hasrat yang sudah di ubun-ubun, setelah melihat Rosa berpakaian seperti tadi, pasti Mas Frengky membayangkan yang tidak-tidak.
Aku tidak akan membiarkan ia meminta haknya malam ini, bahkan untuk seterusnya.
Jijik sekali rasanya, apalagi jika nanti dia berhubungan denganku tapi membayangkan berfantasi dengan si Rosa.
Idih, amit-amit ....
Aku mah ogah
Mas Frengky mencium rambutku, turun ke telinga dan mulai memelukku lebih erat.
Kan ... pasti dia meminta lebih.
Saat dia hendak menyentuh bagian sensitif ku, dengan cepat kualihkan tangannya.
Aku memandang wajahnya lembut.
"Aku masih merah, sabar dulu, ya!" tolakku halus sembari mengelus rambutnya.
Ish, sebenarnya aku muak bersikap lembut seperti ini padanya. Namun, sudahlah.
Aku akan menikmati semuanya, hingga tujuanku tercapai. Yakni menghancurkanmu hingga karam.
"Dari seminggu lalu kenapa masih merah aja, sih, Bun. Terus selesainya kapan?" katanya dengan napas tersengal-sengal.
Mungkin nafsunya sudah berada di puncak.
"Ya sabar, dong. Bentar, ya. Aku mau samperin Cahaya dulu, kasihan dia sendirian," pamitku sambil beranjak meninggalkannya sendirian.
Bisa kulihat dari pantulan cermin, wajahnya kusut. Mas Frengky menjambak rambutnya dengan frustasi.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
Aku menghampiri Cahaya yang sedang asyik menatap layar ponselnya.
Gadis itu tersenyum saat melihatku duduk di sebelahnya.
"Bunda, sini, main!" ajaknya sembari tersenyum.
"Iya, Sayang. Main apa?" tanyaku sembari memainkan poninya yang mulai panjang.
Asyik bermain bersama Cahaya, tak kulihat lagi batang hidung Mas Frengky. Bahkan Rosa juga bak ditelan bumi, sejak kejadian beberapa menit yang lalu, ia tak berani ke luar kamar lagi.
Dasar sejoli yang cemen, beraninya di belakang.
*****

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters