logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 8

CELOTEH CAHAYA
BAB 8
Ibu mertua dan kedua adik ipar bergegas pulang setelah usahanya tak membuahkan hasil.
Aku pun tak peduli, jika mau perhitungan, sudah banyak yang aku berikan untuk mereka.Mulai dari merenovasi rumah peninggalan bapak mertua yang luasnya dua kali lipat dari rumah yang ku tempati, mobil alphard yang mereka bangga-banggakan, serta biaya hidup keseharian juga aku yang menanggung, namun tentu saja dengan dalih pemberian dari hasil usaha Resto Mas Frengky. Sudah kubilang bukan aku tak mau menyombongkan diri di depan mereka atas pencapaian ku selama ini.
Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah semua benalu itu pulang.
Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur, meregangkan sedikit otot-otot yang mulai kaku karena tegang.
Ceklek!
Suara pintu terbuka dari luar, rupanya Mas Frengky dengan senyuman lebar menghampiriku.
Ia mendesah pelan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.
"Bun ...," panggilnya sambil memijat telapak kakiku.
Aku hanya berdehem sambil memainkan ponsel.
Ia terus memijit kakiku, hingga naik ke paha.
"Apa, sih?" sahutku jutek sembari menyingkirkan tangannya.
Mas Frengky kaget, karena melihat sikapku barusan. Karena selama menjadi istrinya, aku tak pernah berlaku kasar.
Jujur saja, semenjak aku mendengar pengakuan Cahaya tempo lalu, tubuhku rasanya haram disentuh olehnya. Meskipun aku masih sah sebagai istrinya, aku tak sudi melayaninya setelah sentuhan wanita lain membekas dalam ingatannya.
"Kamu marah banget, Bun?" tanyanya seraya menatapku lekat.
Aku meliriknya sekilas, lalu kembali sibuk memainkan ponsel.
Mas Frengky terlihat lesu, ia mendesah pelan.
"Maafin aku, Bun," serunya sambil memainkan jari.
Wajahnya tampak menyesal, namun dalamnya hati manusia siapa yang tahu?
"Untuk apa?" tanyaku terdengar datar.
"Udah bohong soal keuangan," jawabnya dengan mata sayu.
"Oh," sahutku singkat.
Mas Frengky kembali kaget, ia menyentuh tanganku dengan lembut.
"Jangan marah lagi, ya, Bun. Aku nggak kuat kalau harus dicuekin gini," ujarnya sambil mencium punggung tanganku.
Aku segera menarik tanganku kembali.
"Nggak papa. Bukannya benar kata Ibumu, Mas? Keluarga nomer satu, istri nomer sekian. Memang darah 'kan lebih kental dari pada air, Mas?" sindirku dengan mata nyalang.
Jujur saja, meskipun aku berkata seolah tenang. Jauh di dalam hati, rasanya aku ingin menangis tersedu-sedu.
"Maafkan aku, Bun. Aku cuma nggak pengen ngerepotin kamu, aku nggak mau keluargaku jadi beban buat kamu," kata Mas Frengky.
"Lalu, selama ini? Dengan nafkah lima juta per bulan yang kamu kasih, apa itu nggak beban buat aku?" ketusku dengan kesal, "terus soal uang yang kamu pinjam puluhan juta padaku dengan dalih kamu banyak masalah dengan usaha Resto, apa itu juga kamu pikir bukan beban buat aku?"
"Bukan seperti itu, aku meminjam uang padamu tak ada niat apa pun. Sungguh aku tak ingin keluargaku menjadikanmu sapi perah. Maka dari itu biarlah aku yang menanggungnya. Toh juga itu uangnya aku pinjam, bukan minta," sahutnya kini mulai menaikkan nada bicaranya.
"Oke, pinjam 'kan katamu? Aku minta uang itu kembali paling lambat bulan depan. Gimana?" tanyaku menatapnya tajam.
Mas Frengky mengusap wajah dengan kasar, ia menelan salivanya dengan susah payah.
"Ya ... ya, akan aku usahakan, Bun," jawabnya melemah.
"Nggak bisa! Kalau kamu nggak bisa bayar bulan depan, maka kamu wajib melunasinya 2x lipat pada bulan berikutnya. Deal?" kataku dengan senyum sinis.
"Apa kamu nggak berlebihan, Bun?" tanyanya dengan lembut.
Giliran ditagih aja, kamu melempem, Mas.
"Berlebihan gimana?"
"Kita 'kan suami istri, masak perihal aku pinjam uang aja kamu perhitungan segitunya?" tanyanya.
"Nggak ada hubungannya perihal status dengan uang. Lagian itu uang istri, haram untukmu jika aku tidak rela! Bukannya kamu juga selalu perhitungan padaku? Mentang-mentang aku punya penghasilan, kamu bisa menafkahiku seenak sifatmu. Apa kamu tak tahu, Mas? Hukum suami itu wajib untuk menafkahi istri, mau si istri bekerja ataupun tidak itu sama sekali tak berhubungan!" kataku tegas.
Mas Frengky menggeleng lemah, mungkin saja ia tak menyangka aku bisa menjelma bak rentenir pinjaman online yang suka marah-marah.
"Oke-oke. Nggak usah merembet ke mana-mana. Bulan depan aku lunasi," ucapnya.
"Oke, besok akan aku buatkan surat perjanjiannya. Silakan kamu tanda tangan, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan," kataku lugas.
"Maksudmu apa, Bun? Kamu nggak percaya sama aku?" tanyanya kesal.
"Oh tidak, sekali lagi aku tegaskan. Hubungan air tidak se kental darah, jadi perihal uang pun berlaku demikian, bisa fatal kalau udah masalah uang, Mas. Bisa memutuskan hubungan, apa pun itu," ujarku sembari menaik turunkan alis.
Mas Frengky mengangguk pasrah.
Bagus, dengan begitu aku tak perlu susah-susah memikirkan lari ke mana uang yang dipinjam Mas Frengky. Toh, sekarang aku sudah tak perduli.
Asal uangku bisa kembali, terserah dia mau apa.
Kulihat Mas Frengky keluar dari kamar, entah menuju ke mana.
Aku tetap tak peduli, kembali kulanjutkan aktivitasku menonton drama korea di layar ponsel.
***
Tok tok tok!
Suara pintu diketuk dari luar, Rosa dengan cekatan membukanya. Aku sedang asyik menikmati semangkuk sereal saat tiba-tiba Bu RT masuk ke dalam rumah dan duduk di sebelahku.
"Pagi Bu Aya," sapanya sembari tersenyum lebar.
"Oh, ya. Pagi juga Bu RT," balasku juga tersenyum.
"Maaf, ya, pagi-pagi ganggu. Cuma mau kasih tahu, nanti malam ada perkumpulan ibu-ibu untuk sekedar silaturahmi aja. Kira-kira Bu Aya bisa hadir?" tanya Bu RT.
"Jam berapa, ya, Bu?" tanyaku.
"Habis Maghrib. Rencananya sih mau undang lewat asistennya aja. Tapi kok kayaknya Bu Aya ada di dalam, jadilah saya sampaikan langsung aja. Suatu kehormatan besar bisa langsung bertemu pemilik butik yang lagi kondang," puji Bu RT sembari menatapku.
"Ah, Bu RT bisa aja. Sama aja lah, kita semua sama, hehe. InsyaAllah saya hadir, kalau habis Maghrib," kataku dengan sopan.
"Baiklah kalau begitu, saya tunggu, ya, Bu Aya. Wajib datang, loh. Selain ibu-ibu komplek, saya juga undang beberapa teman saya, sesama ibu bhayangkari. Siapa tahu bisa menambah pelanggan baru," ujar Bu RT sambil mengedipkan mata.
"Siap!" ujarku sambil mengangkat jempol.
Wah, kesempatan emas. Sambil menyelam minum air. Suami Bu RT memang seorang polisi, bisa jadi peluang baru ini untuk mengembangkan bisnisku jika aku berhasil menggaet beberapa teman Bu RT untuk menjadi member di butikku.
Oke, kebetulan hari ini aku tak ada jadwal penting. Hanya mampir ke butik sebentar untuk menandatangani beberapa berkas, lalu pulang ke rumah. Mungkin siang aku sudah ada di rumah, kataku dalam hati.
Setelah menghabiskan serealku, aku berpamitan pada Rosa untuk berangkat ke butik. Cahaya masih tidur, maklum hari ini hari Sabtu, sekolahnya libur. Mas Frengky sudah berangkat sejak pagi, karena masuk weekend biasanya Resto ramai dari pada hari biasa.
Oh, ya. Bicara tentang Mas Frengky, semalam apa dia tidak tidur?
Setelah menonton drama korea, aku ketiduran. Rasanya tidurku pulas sekali, aku sampai tak sadar Mas Frengky sudah kembali ke kamar atau belum.
Tiba-tiba saja pagi dan badanku pun tak berubah posisinya dari kemarin malam saat terakhir kali kuingat.
Kurasa memang benar, Mas Frengky tak tidur bersamaku kemarin malam.
Tidur di mana dia?
Apa mungkin di kamar Cahaya?
Ah ... sudahlah, Nay. Masih pagi, tak seharusnya pikiranmu kau jejali berbagai pertanyaan tak penting begitu. Merusak mood saja.
Aku bergegas mengambil kunci mobil dan melajukan kendaraanku menuju ke butik.
Sesampainya di butik, aku bergegas menuju ke lantai tiga. Di mana ruangan khusus diriku berada. Kulihat sudah ada tiga map yang tersusun di atas meja.
Setelah membaca dan memahami isi dari berkas tersebut, aku segera menandatanganinya.
Oh, ya ... hampir saja aku lupa.
Aku harus segera membuat surat perjanjian tentang kesepakatan hutang Mas Frengky, seperti yang telah kami bicarakan semalam.
Dengan cepat, kunyalakan layar komputerku. Tanganku dengan lihai sudah menari di atas keyboard.
Setelah membaca berulang kali dan kurasa pas, aku bergegas mencetak surat tersebut sebanyak dua lembar.
Satu untukku dan satu lagi untuk Mas Frengky, ia cukup membubuhkan tanda tangan saja di atas materai yang sudah aku sediakan.
Setelahnya, kumasukkan dua lembar surat tersebut ke dalam map plastik. Dan kuletakkan di dekat tas kerjaku, agar aku tak lupa membawanya pulang nanti.
Kulirik jam yang melekat di pergelangan tangan kiriku.
Pukul 12:25 WIB
Ah ... sebaiknya aku pulang saja. Bermain dengan Cahaya pasti membuat lelahku lenyap. Mumpung sekarang weekend, aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan putri tercintaku.
Aku bergegas mengambil tas kerjaku, mematikan komputer dan mengunci ruang kerjaku dengan rapat.
Aku masuk ke dalam lift yang akan membawaku ke lantai dasar.
Cahaya ... Bunda datang, Nak.
Sesampainya di rumah, tampak sepi.
Pintu depan pun dikunci, untung saja aku berhasil masuk karena kunci cadangan yang kubawa, tak ada mobil Mas Frengky, mungkin dia masih sibuk di Resto.
Aku mengetuk kamar Cahaya, tak ada sahutan.
Kubuka perlahan, nampak Cahaya sedang tertidur di atas kasur. Aku segera mengambil selimut dan memakaikannya. Terlihat putriku sudah tertidur dengan pulas.
Ya Allah, Nak ... Bunda berangkat, kamu tidur. Sekarang Bunda pulang, kamu juga sudah tidur.
Aku mencium kening Cahaya dengan lembut, takut dia terbangun.
Kulangkahkan kaki meninggalkan kamar Cahaya, kututup pintu kamarnya seperti semula.
Badanku rasanya gerah, aku ingin mengguyur tubuhku dengan air, pasti segar.
Saat hendak masuk ke dalam kamar, langkahku tercekat.
Aku mendengar seperti suara desahan dari dalam kamar Rosa.
Memang, kamar Rosa berada di dekat ruang keluarga. Jaraknya hanya sekitar tiga meter dari kamarku.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas melangkahkan kaki, mengetuk pintu Rosa dengan keras.
"Ros ... Rosa, apa kamu ada di dalam?" teriakku sambil terus mengetuk pintu.
Tiba-tiba keadaan menjadi hening, tak ada sahutan atau suara apa pun.
Sekali lagi kuketuk pintunya, tetap tak ada sahutan.
Kucoba untuk membuka dari luar, namun sayang, pintu terkunci dari dalam.
Hampir sepuluh menit aku berada di depan pintu kamar Rosa, tak ada sahutan. Tak ada suara juga, padahal baru beberapa menit yang lalu, aku mendengar suara rintihan bergabung dengan desahan dari arah sana.
Apa pendengaranku mulai terganggu ?
Ah ... rasanya tidak.
*****

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters