logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 7

CELOTEH CAHAYA
BAB 7
Setelah puas berbincang dengan Gilang, aku menyusul Mas Frengky dan Cahaya di saung belakang, dekat dengan kolam ikan. Mereka tampak seru memberi makan ikan, ada binar bahagia yang tercetak dengan jelas dari mata Cahaya.
Kuhampiri mereka, untuk menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh beberapa karyawan, menu khusus alias spesial yang biasa kami pesan.
"Yuk, makan dulu, mumpung masih hangat!" seruku mengajak mereka untuk segera melahap makanan dan bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku terlebih dahulu membersihkan diri, sebelum bergabung bersama ibu mertua dan kedua adik iparku yang sedang berkumpul di ruang keluarga.
Aku memakai baby doll santai lengan panjang dengan motif teddy bear, tak lupa memakai jilbab instan.
Setelah kurasa tampilan cukup fresh, aku ikut bergabung bersama mereka yang sedang menikmati siaran televisi.
Rosa tampaknya sudah lebih dulu bergabung, ia terlihat dekat dengan ibu mertua, terbukti dengan keakraban mereka, bahkan Rosa tak sungkan memijit ibu mertua.
"Eh, Nayla udah di sini aja. Jangan capek-capek, biar promilnya berhasil," ujar ibu mertua menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat.
"Belum kepikiran buat promil, sih, Bu. Jahitanku aja belum sepenuhnya normal, Dokter menyarankan untuk menunggu minimal 3 tahun, lebih lama lebih bagus, sih. Biar rahimku beristirahat dulu," sahutku dengan senyum seperti gula, teramat manis.
"Alah, yang ngeciptakan kita ini Gusti Allah, Dokter cuma perantara, tahu apa dia tentang hidup dan mati, semua sudah kuasa Allah. Lagian mumpung masih muda, kok. Bikin anak yang banyak, Ibu aja anak tiga kadang masih kesepian kalo keluar semua, apalagi kamu yang cuma satu anak!" sanggah ibu mertua dengan bibir komat-kamit khas nenek moyang.
"Iya, Bu," sahutku hanya mengiyakan, aku malas berurusan panjang kali lebar dengannya.
"Oh, ya, Frengky mana? Ibu mau bicara penting sama kalian," tanya ibu mertua sambil celingukan.
"Oh, masih pakai baju sepertinya, Bu, tunggu aja sebentar lagi," jawabku sembari memainkan rambut Cahaya yang asyik bermain ponsel di depanku.
Cahaya memang terbiasa bermain gadget, itulah kesalahan terbesarku. Aku mengenalkannya pada gadget semenjak ia berusia tiga tahun. Saat itu usahaku sedang menuju puncak, sehingga membuatku sangat sibuk. Kami yang sepakat tak menggunakan baby sitter, akhirnya kewalahan menghadapi Cahaya yang sedang aktif-aktifnya saat itu. Maka tanpa pikir panjang aku memberikannya gadget untuk mengalihkan perhatiannya agar tak menggangguku ketika ku sedang sibuk berbalas pesan dengan beberapa klien.
Rupanya hal itu berlanjut sampai sekarang, hampir setiap hari dia memainkan game atau sekedar menonton video lewat gadget.
Aku juga mulai mengalihkannya dari ponsel ke televisi, setidaknya sepasang matanya bisa lebih bersantai daripada jika di depan ponsel.
Ibu mertua tampak resah, berkali-kali ia memainkan jari-jarinya yang penuh dengan perhiasan.
Cincin bermotif abad kejayaan yang lebar, memenuhi hampir kesepuluh jarinya. Belum lagi gelang seperti kaleng susu berjejer menghiasai tangan gembulnya, tak lupa kalung sebesar rantai kapal juga bertumpuk-tumpuk di lehernya. Entah sejak kapan ibu mertua seperti itu. Seingatku dulu ia tak begitu, atau mungkin akhir-akhir ini, entahlah. Mungkin aku terlalu sibuk sampai tak memperhatikan hal kecil seperti itu.
Rosa masih nyaman memijit pergelangan kaki ibu mertua, ia tak ada rasa sungkannya masih ngejogrok di sana.
Bukankah seharusnya asisten yang baik tak ikut campur jika anggota keluarga sedang berkumpul?
Harusnya dia juga punya rasa malu, ada aku di sini yang notabene nya sebagai menantu, atau dia mungkin sedang mencari perhatian. Aku hampir tak bisa membedakan mana sikapnya yang tulus dan mana yang hanya pura-pura.
Ceklek!
Mas Frengky keluar dari kamar, ia menuju ke ruang keluarga, bergabung bersama kami.
"Nah, akhirnya Frengky muncul juga. Sini, Nak!" panggil ibu mertua seraya tersenyum penuh arti.
Mas Frengky duduk di lantai beralaskan karpet bulu dengan motif singa, di sebelahnya ada Reno, Reni dan ibu mertua. Di depan ibu mertua ada Rosa, dan tempat dudukku juga bersebelahan dengan Rosa.
"Ibu ke sini mau ada perlu sama kalian," ucap ibu mertua membuka obrolan.
"Ekhem! Maaf, Ros, sebaiknya kamu ke belakang dulu, ya. Karena ini pembicaraan antar anggota keluarga," seruku pada Rosa, tak lupa sambil tersenyum mengejek.
Kulihat wajah Rosa langsung berubah merah seperti tomat, harusnya dia sadar dia itu siapa!
Dengan langkah gontai dan wajah menunduk, Rosa melangkahkan kaki menuju ke belakang.
"Silakan dilanjut, Bu," ujarku pada ibu mertua.
"Itu loh, kamu tahu 'kan, Ky, rumah kontrakan punya Hj. Nur atau biasa akrab dipanggil Umik Nur?" tanya ibu mertua menatap ke arah Mas Frengky.
"Yang dua lantai sebelahnya klinik kandungan?" sahut Mas Frengky sembari tampak berpikir.
"Nah, betul. Itu 'kan orang yang ngontrak di sana udah habis masanya. Terus rencananya rumah itu mau dijual karena Umik Nur pindah, ikut anaknya ke Pulau Madura. Sayang 'kan dari pada nggak ada yang ngurus, jadi sama Umik Nur dijual," kata ibu mertua antusias.
Aku hanya mendengarkan sambil menatap layar ponsel Cahaya yang sedang menampilkan vlog kakak beradik bersama keluarga cemara sedang berlibur ke Malang.
"Terus hubungannya sama aku apa?" tanya Mas Frengky tanpa basa-basi.
"Ibu mau minta disumbang dana, nggak banyak, kok," ujar ibu dengan senyuman manja.
"Berapa?" tanya Mas Frengky seperti jengah.
"Rumah itu 'kan dijual 400 juta, bisa nego sedikit lah, uang ibu ada sekitar 150 juta. Sisanya tambahin, ya? Itu investasi, loh, nanti juga bisa kamu tempati atau dikontrakin lagi, hasilnya bagi dua. Gimana, mumpung murah itu?" tawar ibu mertua.
Sedangkan Mas Frengky beralih menatap ke arahku, tentu saja kubalas dengan pelototan tajam. Lagian aku pengen tau, apa dia punya uang sebanyak itu?
Sedangkan kemarin untuk modal dan menggaji karyawan dengan nominal 30 jutaan saja dia pinjam uangku.
"Aku pikir dulu, ya, Bu," kata Mas Frengky sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal. Hanya saja mungkin isi otaknya mendidih.
"Kelamaan mikir keburu laku, dong. Gimana dengan kamu, Nay? Kamu pasti suka, bisa juga nanti buat tempat usaha kamu di sana, pasti akan butuh nantinya," kata ibu seperti memaksa.
"Nayla nggak punya uang segitu, Bu!" tegasku sembari tersenyum pastinya.
"Alah, bohong. Butikmu 'kan besar, Nay. Uang segitu juga dapat dari laba kamu selama seminggu. Ya, 'kan? Jangan pelit-pelit, harta nggak dibawa mati!" sindir ibu mertua.
"Aturan dari mana laba bersih seminggu 400 juta, Bu? Ngehayal kok nggak kira-kira, lagian apa ibu lupa, kalau butik itu bukan sepenuhnya punyaku, melainkan usaha gabungan bersama teman-temanku. Modal juga hasil dari investasi mereka," ujarku dengan tegas dan lugas.
Memang aku bercerita pada keluarga suami jika itu bukan sepenuhnya milikku, bukan apa-apa. Itu semua karena aku sudah paham watak ibu mertua dan kedua iparku yang selalu ingin hidup mewah dan merendahkan orang yang dirasa tak selevel dengannya.
Aku tidak ingin mereka menjadi tamak, sombong dan beralih memanfaatkanku. Jadi, untuk menghindari semua itu, aku mengaku jika usaha butik bukan milikku seutuhnya.
Mas Frengky menatapku bingung, mungkin ia tak menyangka aku berani setegas ini berbicara pada ibunya.
Dulu, memang aku selalu mengiyakan apapun yang ibu inginkan. Namun lambat laun, aku baru menyadari bahwa aku hanya dijadikan sapi perah. Apalagi setelah mendengar dari putriku sendiri jika Mas Frengky berani merayu Rosa di belakangku, seketika hal itu membuatku tak lagi respek kepada ibu mertua.
Memang sebegitu pengaruhnya tingkah suami terhadap sikap yang akan istri tunjukkan. Sebab, benar kata pepatah, istri adalah cerminanmu dan sikap istri pun tergantung dari caramu sebagai suami memperlakukannya.
Dulu, saat aku masih merasa naif. Aku akan senang berbaik hati pada ibu mertua dan adik ipar. Rela memberikan semua yang mereka mau, asal bisa membuat mereka bahagia, itu sudah bisa membahagiakan hatiku. Kurasa semua itu sebanding dengan perlakuan Mas Frengky padaku yang dengan setia merawat, menyayangi dan memperlakukanku bak permaisuri.
Namun itu dulu, jauh sebelum aku mendengar bahwa ayah dari anakku dengan lancangnya masuk ke dalam kamar asistenku.
Ya ... meskipun sampai sekarang aku belum bisa membuktikan apapun. Tapi aku lebih percaya celoteh kepolosan buah hatiku dari pada selimut kebaikan yang ditawarkan suamiku.
"Nanti biar aku pikirkan dulu, Bu. Ibu berdoa saja, semoga Restoku rame, biar aku bisa kasih uang sesuai yang ibu pinta," kata Mas Frengky dengan enteng.
"Oke, tapi jangan lama-lama, Ky. Keburu rumahnya laku, kabarnya juga Hj. Zaenab sedang gencar mencari info tentang rumah itu, ibu nggak mau keduluan janda bodong itu!" kata ibu mertua terlihat sinis.
Apa tadi katanya? Janda bodong? Rasanya aku ingin tertawa, emangnya dia bukan janda kok seenaknya aja ngatain orang lain janda, lagian janda bodong itu istilah apaan? Emang suka ngadi-ngadi, nih, ibu mertua.
"Oh, ya, Mas, lusa transfer aku dua juta, ya? Mau ada giat buat tugas praktikum yang harus dikumpulin minggu depan, Reni udah nggak ada uang," kata adik iparku itu sambil memainkan ponselnya. Entah ditujukan untuk siapa kalimatnya barusan, karena ia terlihat seperti mengoceh dengan ponsel.
"Kenapa udah habis aja? Kemarin Mas udah transfer 'kan dua juta juga!" sentak Mas Frengky.
Seketika mata suamiku langsung melirik ke arahku, ia terlihat salah tingkah. Mungkin saja ia kelepasan alias keceplosan.
Aku hanya bersikap santai, mencoba menikmati semua ini.
"Udah lah, Ky. Kamu 'kan tahu anak kuliah itu butuhnya banyak, dulu kamu juga gitu. Ibu banting tulang buat biayain kuliah kamu, jadi sekarang gantian kamu bantu adik-adikmu. Toh, ya, itu juga sudah menjadi tanggung jawabmu, setelah Bapak meninggal.
Dahulukan tanggung jawabmu, termasuk yang lebih membutuhkan." Ibu mertua menatapku sekilas, lalu beralih menatap putra sulungnya.
Perkataannya barusan, berasa sedang menyindirku.
Hebat, ya, Mas Frengky.
Nafkah buatku saja sebulan hanya lima juta, itu pun dia tak peduli cukup atau tidak. Aku yang keseringan nombok, bagiku tak apa. Aku rela membantunya menyokong ekonomi rumah tangga.
Tapi untuk sekarang? Rasanya aku harus berpikir ulang.
Melihatnya dengan mudah memberi uang adik dan ibunya. Bukannya aku iri, atau keberatan. Boleh saja dia dengan bebas mau memberi berapapun untuk ibu dan adiknya, tapi 'kan setelah kebutuhanku kecukupan tentunya?
Lah dalam kasus ini sepertinya terbalik, uang yang diberikan padaku sebagai nafkah nyatanya adalah uang sisa setelah ia memberi ibu dan kedua adiknya.
Oh ... Nayla ... kenapa kamu baru menyadarinya?
*****

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters