logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 18

ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU
BAB 18
Rosa mengambil tempat duduk di sebelahku.
Dia hanya menatap lurus ke depan, tak berani memandangku.
"Kamu sering begadang gini kah?" tanyaku memecah keheningan diantara kami.
"Eng–Enggak sih, Mbak. Biasanya kalo susah tidur aku lebih sering main game di ponsel. Kebetulan ini tadi di kamar gerah, jadi aku nyari angin ke sini," jawabnya.
Matanya masih saja tak berani beradu pandang denganku.
"Oh ... gerah banget, ya, di kamar? Padahal ada AC loh, Ros. Itu kamar tidur kedua setelah kamarku yang fasilitasnya lumayan memadai. Jika dibandingkan dengan kamar tamu, kamar yang kamu tempati hampir dua kali lipat luasnya. Rencananya itu kamar untuk Pelangi nantinya, karena didesain khusus mirip seperti punya Cahaya. Dari warna dinding hingga perabotan di dalamnya. Beruntung Mas Frengky mengizinkanmu menempati kamar itu. Biasanya seorang asisten hanya diberikan kamar yang kecil, tempatnya pun pasti di belakang," kataku sembari menekankan kata asisten.
Aku harap dia bisa menyadari posisinya.
"Iya, Mbak. Terima kasih," ujar Rosa singkat.
"Oh, ya. Ini aku ada minum, mungkin kamu haus," ujarku seraya menyodorkan teh botol kemasan kepadanya.
"Makasih, Mbak!" balas Rosa sembari menerima pemberianku.
Ternyata Rosa lumayan haus juga setelah menunggu kehadiran Mas Frengky selama beberapa menit.
Dengan sekali tegukan, Rosa hampir menghabiskan minuman tersebut.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong gimana ceritanya kamu bisa sampai ke sini?" tanyaku mulai mencari tahu.
"Maksud Mbak Nayla? Bisa sampai ke rumah ini atau?" tanyanya menggantung.
"Semua, aku pengen tau deh histori perjalanan hidupmu. Itung-itung biar kita makin akrab. Itupun kalau kamu nggak keberatan, sih," jawabku sembari menatapnya.
Rosa menatapku sekilas, ia membasahi bibirnya singkat. Lalu menghela napas yang cukup dalam.
"Ya singkatnya sih aku pengen kerja ke kota besar, Mbak. Pengen tau gimana rasanya merantau, pulang bawa uang banyak. Buat bahagiain keluargaku. Jadilah aku ikut-ikutan temen sampai ke kota ini. Awalnya sih aku ngekos patungan sama beberapa temenku, lambat laun temen-temenku udah mulai mendapat pekerjaan satu persatu dan tinggallah aku sendirian. Akhirnya aku mencoba mengadu peruntungan buat ngelamar di Restoran milik Mas Frengky. Kebetulan di sana ada temenku yang satu desa. Alhamdulillah aku bisa keterima di Resto. Karena masakanku enak dan aku juga cekatan serta pembawaanku yang ceria membuatku dekat dengan Mas Gilang. Nah, dari situlah aku juga menjadi akrab dengan Mas Frengky. Di Resto Mas Frengky selalu saja murung dan bercerita tentang kondisi Mbak Nayla. Mas Gilang merekomendasikan diriku untuk menjadi asisten Mbak Nayla. Akhirnya Mas Frengky setuju, ya gitu deh, Mbak. Datar aja," ujar Rosa sembari memainkan bola matanya.
Meskipun aku bukan psikiater dan juga bukan sarjana lulusan psikologi. Aku bisa tahu bahwa ceritanya barusan banyak mengandung unsur kebohongan. Dia terkesan mengarang dan menambah-nambahkan cerita.
Tapi untuk menghormatinya, aku iyakan saja perkataannya.
"Oh ... jadi gitu. Terus soal gaji? Bukannya gaji menjadi asisten di sini tak selisih banyak dengan Resto. Kenapa kamu masih mau? Padahal sebagai asisten di sini, pekerjaanmu banyak merangkap, loh," tanyaku dengan mata memicing.
"Ya iya, sih, Mbak. Tapi menjadi asisten di sini aku merasa nyaman. Mas Frengky dan Mbak Nayla juga baik ke aku, nggak pernah membeda-bedakan. Bahkan Mbak Nayla sering juga membelikanku makanan atau pakaian yang sama dengan milik Mbak. Di sini juga ada Cahaya, yang membuat hari-hariku lebih berwarna karena celotehnya, lagian aku nggak perlu mikir harus sewa kos atau ngontrak rumah, nggak perlu lagi bingung beli makan atau sarapan. Semua fasilitas dengan mudah bisa aku nikmati. Anggap saja sekalian aku mengabdi pada keluarga Mbak Nayla, aku ikhlas lahir batin kok, Mbak," ujar Rosa dengan mata berbinar.
Idih, jelas saja ikhlas lahir dan batin. Lah, wong, di sini dia juga diperlakukan sebagai ratu jika aku tak ada.
Lagian apa tadi katanya? Itung-itung sebagai pengabdian pada keluargaku? Nggak salah tuh? Pengabdi apaan, pengabdi set*n kali maksudnya.
"Kamu boleh saja memperlakukan Cahaya sebagai adik atau anakmu. Tapi jangan sampai berlebihan, kamu harus ingat akan suatu hal. Bahwa Cahaya lahir dari dalam rahimku. Tumbuh dan besar dengan air susuku. Jangan alihkan perhatiannya dariku sebagai ibu kandungnya. Kamu paham kan apa yang aku maksud?" kataku seraya menatapnya pas di manik.
"Iya, Mbak. Tentu saja aku tau batasannya. Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan. Mbak Nayla sudah sering begadang di sini?" tanya Rosa seperti mencari tahu sesuatu.
"Oh, nggak. Baru kali ini, tiba-tiba saja aku ingin menikmati hawa sejuk malam hari di taman," jawabku datar.
Rosa terlihat manggut-manggut.
Dan beberapa detik kemudian, wajah Rosa seperti ingin menahan sesuatu.
"Kenapa, Ros?" tanyaku seolah penasaran.
"Eh, nggak. Nggak papa kok, Mbak. Cuma ini perutku rasanya melilit, mungkin saja terkena bawaan angin. Aku pamit duluan ya, Mbak. Mau istirahat aja di kamar," ujar Rosa seraya beranjak berdiri.
Ia memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
Ah ... rupanya obat itu sudah bekerja.
"Oke, selamat tidur nyenyak, Rosa. Semoga mimpi indah malam ini!" kataku sembari melambaikan tangan dan tersenyum simpul.
Rosa hanya mengangguk, ia terlihat susah payah melangkah. Langkahnya terlihat gontai sambil tak henti-hentinya meringis.
Aku sendiri tak tahu, apa reaksi yang akan terjadi pada tubuhnya nanti?
Aku hanya memasukkan tiga butir pil ke dalam minumannya. Itu pun hanya untuk awal permainan.
Setelah memastikan Rosa turun, aku pun ikut beranjak setelah memadamkan semua lampu di lantai atas.
Untuk apa lampu menyala, aku yakin Rosa tidak akan kembali lagi ke sini. Setidaknya untuk malam ini.
Entah kenapa malam ini tidurku terasa lebih nikmat dan lelap daripada malam-malam lalu.
Keesokan harinya, aku terbangun pukul delapan pagi. Sedikit kesiangan untuk pergi ke butik karena aku mempunyai janji bersama Keysa jam sembilan pagi.
Kulihat di samping ranjang, Mas Frengky masih terlelap di balik selimutnya.
Bahkan posisi tubuhnya masih tetap seperti kemarin malam saat kubalut dengan selimut tebal.
Pasti kamu sedang mimpi indah, Mas, saat ini.
Aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Setelah mematut sekilas di depan cermin, untuk memastikan penampilanku paripurna. Aku bergegas ke luar kamar menuju ke meja makan.
Tak ada siapa-siapa.
Tumben, jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang dua puluh menit. Tak ada tanda-tanda Rosa berkutat untuk menyiapkan sarapan di dapur.
Bahkan meja makan dan dapur masih terlihat bersih dan rapi, seolah belum tersentuh apa-apa pagi ini.
Apa Rosa masih tidur?
Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar Cahaya. Rupanya putriku sudah bangun. Dia hanya duduk di atas ranjang sembari memeluk boneka beruang favoritnya.
"Loh, Sayangnya Bunda. Sudah bangun, Nak. Kenapa nggak nyusulin Bunda? Bunda kira Aya belum bangun," ujarku sembari memeluk singkat Cahaya.
Kuusap lembut pucuk kepalanya dan kucium keningnya.
"Ayo kita sarapan, Nak. Aya pengen makan sama apa?" tanyaku lembut sembari meraih tangannya yang mulai melebar.
Cahaya hanya menggeleng lemah.
Aku yang melihat perubahan pada putriku bergegas memegang keningnya. Tak panas, tapi Cahaya terlihat uring-uringan.
"Aya kenapa? Ada yang sakit?" tanyaku khwatir.
Sorot mata Cahaya terlihat kosong, ia seperti orang linglung.
"Nak, Cahaya denger Bunda kan, Sayang?" ujarku lagi seraya mengusap pundaknya lebih keras.
Cahaya menatapku, lalu mengangguk.
"Ayo sarapan sama Bunda, Sayang. Bunda akan bikinkan apa saja yang Cahaya mau. Yuk, Nak?" anakku sembari sedikit menarik tangannya untuk turun dari ranjang.
"Tante Rosa mana?" tanya Cahaya membuatku menghentikan aktivitas.
Rasanya seluruh tubuhku seperti dihujani dengan bongkahan es batu. Terasa dingin, kaku dan membeku.
"Loh, kok malah cari Tante Rosa, Nak. Ini Bunda ada di sini, Sayang. Tante Rosa baru aja pulang kemarin malam. Mungkin sekarang masih istirahat. Kasihan. Aya sarapan sama Bunda dulu, ya, Nak. Baru nanti siang sama Tante Rosa. Gimana?" tawarku sembari berjongkok. Mensejajarkan tubuhku dengan tubuh mungil Cahaya.
"Nggak mau, Aya mau sarapan sama Tante Rosa aja. Bunda kalau mau berangkat, sana berangkat aja dulu. Aya sarapannya nanti aja tunggu Tante Rosa!" sentak Cahaya.
Hatiku terasa nyeri seketika.
Ingin rasanya aku memeluknya lalu berteriak dengan kencang di telinganya untuk mengatakan bahwa akulah ibu kandungnya. Bukan Rosa. Aku yang sudah melahirkannya dan mengandungnya selama sembilan bulan, bukan Rosa orang baru hadir beberapa bulan lalu.
Ingin sekali aku rasanya mencuci otak Cahaya, menghapus nama Rosa dalam memorinya dan mengembalikannya seperti semula. Saat ia belum mengenal Rosa.
Apa yang telah kuperbuat, hingga Cahaya memilih bersama Rosa daripada bersamaku?
Apa dia tak mengerti, aku rela bekerja mati-matian dan banting tulang hanya demi masa depannya agar cemerlang.
Oh ... Cahaya ... putriku.
Dadaku sesak rasanya, melihat Cahaya enggan sarapan bersamaku. Ia memilih menunda makan asal bisa bersama Rosa.
"Sayang, denger Bunda. Cahaya anaknya Bunda, Nak. Jadi Cahaya harus nurut sama Bunda, ya. Tante Rosa cuma temenin Cahaya kalau Bunda kerja. Selama ada Bunda, Cahaya wajib sama Bunda, Nak," ujarku berusaha memberinya pengertian.
Siapa tahu dengan perkataan ku barusan, Cahaya bisa mengerti dan mau menurut.
"Nggak, Cahaya maunya cuma sama Tante Rosa. Sama Bunda nanti aja kalau Aya udah bosen main sama Tante Rosa. Bunda pergi aja, berangkat ke butik. Aya mau di sini nunggu Tante Rosa!" kata Cahaya bergeming.
Aku berusaha sekuat tenaga menarik tangannya untuk ikut bersamaku menuju meja makan. Namun sia-sia, Cahaya bak batu yang tak mau dipindahkan.
Apa harus dengan cara kasar aku memberi pengertian kepada Cahaya?
Kepalaku mendadak pusing memikirkan ini semua.
"Cahaya, denger Bunda. Cahaya anak Bunda. Sampai kapanpun Bunda Cahaya cuma satu, yaitu Bunda! Jadi, Cahaya harus nurut sama Bunda. Cahaya mau jadi anak durhaka?" kataku sedikit berteriak.
Aku terlanjur kesal padanya, sehingga terpaksa menaikkan nada bicaraku untuk membuatnya mengerti.
Hiks ... Hiks ....
Kulihat air mata berebutan keluar dari sudut mata Cahaya. Putriku menangis, Cahaya mengusap pelan pipinya yang basah dengan jarinya.
Ah ... aku semakin merasa bersalah.
Dadaku dua kali lipat nyeri dari sebelumnya.
Aku mendekati Cahaya, hendak merengkuhnya ke dalam dekapanku. Rasanya tak tega membiarkannya menangis begini.
Namun, getaran ponsel di dalam tasku seketika membuat aksiku terhenti.
Aku bergegas mengangkat panggilan tersebut.
"Apa? Oke, kamu handle aja dulu. Aku berangkat sekarang, bisa kupastikan kurang dari setengah jam aku sudah sampai di sana!" ujarku panik kepada si penelfon di seberang.
Hatiku gundah gelisah dan gulana.
Ah ... mau tidak mau aku harus meninggalkan Cahaya, sekali ini saja.
"Maafkan Bunda, ya, Nak. Bunda pergi dulu. Janji Bunda bakal pulang cepet. Aya jangan nangis lagi," ujarku sembari bergegas meninggalkan Cahaya yang masih mengusap air matanya.
Jujur saja, hatiku rasanya bimbang saat ini.
Semoga kamu bisa mengerti, Nak. Semua ini Bunda lakukan hanya demi kamu putriku, Cahaya.
*****
Eh, Nayla kadang nyebelin juga, ya?
Urusan apa sih sampai membuatnya tega meninggalkan anaknya yang sedang bersedih.
Mamak ikut gemes deh.
Kalian gemes juga nggak?
Tetep setia pantengin ya! Yang belum follow dan berlangganan. Bisa klik dulu, hehe.
Bakal gratis sampe TAMAT. Asalkan masih banyak yang setia pantengin cerbung ini.
Komen dong kalo kalian suka cerita ini gratis sampai TAMAT!

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters