logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 16

ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU
BAB 16
Rosa terlihat antusias menanggapi perintahku.
Dengan semangat '45 dia masuk ke kamar dan meletakkan barang-barangnya begitu saja.
Ia bergegas menuju ke dapur, membuatkanku secangkir teh hangat.
Mas Frengky memelukku dan membelai pipiku dengan lembut.
Tentu saja dia senang, karena gundik kesayangannya sudah pulang.
Mas Frengky menatapku dengan pandangan teduh.
Huh ... baru saja beberapa menit yang lalu dia uring-uringan nggak jelas.
"Aku sayang banget sama kamu, Bun," ujar Mas Frengky membisikkan kata romantis tepat di belakang telingaku.
Bulu kudukku meremang, seperti bisikan syaiton yang terdengar.
Jika saja aku belum mengetahui aksi bejadnya, tentu dengan bangga dan bahagia aku akan membalas kata-kata cintanya.
Tapi sekarang?
Hanya senyuman tipis yang aku berikan.
Mas Frengky masih saja memelukku di sampingnya. Kami sedang duduk di sofa panjang sembari menikmati acara televisi di ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan kamar Rosa.
"Kok Bunda nggak respon, sih. Bunda udah nggak sayang, ya, sama Ayah?" tanyanya sembari menangkup pipiku.
"Aduh, udahlah, Mas. Aku lagi asyik nonton, nih. Jangan ganggu dulu, deh!" ujarku pura-pura kesal.
"Uh, iya-iya. Kalo udah nonton sinetron suka lupa deh sama suami sendiri. Lagian apa Bunda nggak bosen ya? Tiap waktu tontonannya seputar drama rumah tangga, perselingkuhan lah, menantu teraniaya lah, istri terlantar lah, mertua julid. Belum lagi kisahnya harus super menyedihkan diiringi lagu yang tak kalah mellow. Duh, nggak berbobot!" sungut Mas Frengky ikutan kesal karena aku tak merespon rayuannya.
"Suka-suka aku, dong. Tv juga tv aku, aku yang beli. Listrik juga aku sendiri yang bayar. Terserah aku, lagian juga ini sinetron tuh berbobot. Mengajari banyak hal tentang arti rumah tangga yang sesungguhnya. Bagaimana seorang istri harus bertindak apalagi jika suaminya digondol pelakor. Musti dicoba tuh trik-trik jitu nya!" sewotku sembari memancingnya.
"Ya 'kan itu fiktif, Bun. Bukan beneran, mana ada cerita khayal kayak gitu. Dari judulnya aja udah bikin males yang denger. Apaan tuh, suamiku adalah mantan pacar adik tiriku. Bikin puyeng tauk!" balas Mas Frengky sembari memanyunkan bibir.
"Idih, kata siapa fiktif? Justru sinetron ini dibuat berdasarkan fakta yang terjadi di sekitaran kita. Kalo nggak ada kejadian nyata kayak gitu, mana ada ide untuk nayangkan sinetron. Ya memang sebagian dibumbui khayalan. Tapi 'kan tetep aja ide pokoknya diangkat dari kisah nyata!" ujarku tak mau kalah.
"Iya deh, iya. Susah memang lawan mamah muda!" katanya sambil menggaruk kepalanya.
"Ya harus, dong. Tuh lihat, itu istri yang pinter. Jangan mau dibohongi suami berkali-kali, pakai acara ngemis minta balikan. Jangan sampai ada wanita tol*l macem itu di dunia ini. Bisa gencar kaum perwanitaan!" kataku sembari menunjuk drama yang disiarkan di televisi.
Ku lirik sekilas, Mas Frengky meneguk ludah dengan susah payah. Ia tak lagi merespon ucapanku.
Sepertinya terkena skakmat!
"Kenapa diem? Ngalah?" tanyaku sembari memicingkan mata.
"Nggak mau aja debat sama kaum wanita, nggak ada benernya," jawab Mas Frengky sembari mengedikkan bahu.
"Permisi, Mbak Nayla. Ini tehnya silakan diminum. Mumpung masih anget hehe. Rosa mau pamit dulu, ya. Mau mandi, gerah soalnya," kata Rosa sembari tersenyum kecil.
Ia meletakkan secangkir teh hangat yang masih mengepulkan asap di meja.
Sempat kulihat Rosa melirik Mas Frengky sambil tersenyum.
Jangan dikira aku nggak paham, ya, apa arti kode mata kalian.
"Oke, makasih. Ya udah sana mandi yang bersih, terus istirahat. Kasihan kamu capek habis dari perjalanan jauh!" perintahku sembari menggeser duduk lebih jauh dari Mas Frengky.
Rosa mengangguk, ia bergegas menuju ke kamarnya.
"Oh, ya, Mas. Aku boleh minta tolong, nggak? Pijatin bahuku. Sepertinya pegal, badanku rasanya mau patah," ajakku pada Mas Frengky sembari beranjak berdiri. Tak lupa dengan membawa secangkir teh dari Rosa di tangan kananku.
"Loh, itu tehnya nggak dihabisin dulu, Bun? Mumpung masih hangat?" kata Mas Frengky menunjuk cangkir di tangan kananku.
"Oh, ya. Nanti aja habis pijit terus minum teh biar relaks, lepas itu aku mau tidur, deh, istirahat. Biar besok tubuhku lebih fresh," elakku sambil tersenyum simpul agar Mas Frengky tak curiga.
"Oke, ayok!" Mas Frengky beranjak berdiri, mengekoriku masuk ke dalam kamar.
Aku bergegas mengganti pakaianku dengan baju tidur transparan tanpa lengan yang super pendek.
Bisa kulihat dengan jelas dari cermin, tatapan wajah Mas Frengky yang menginginkan.
Ia berkali-kali meneguk ludah.
Aku tersenyum dalam hati, sengaja aku berlama-lama mengganti pakaianku. Aku ingin menggoda dan sedikit bermain-main dengannya.
"Ayo, Bun, sini. Katanya mau dipijit," ujar Mas Frengky dengan suara serak.
Aku pun bergegas merebahkan tubuhku ke atas ranjang.
Mas Frengky membuka tutup minyak oles dan menuangkannya ke sekitar tubuhku, ia memulai memijat telapak kakiku, lalu naik ke paha.
Cukup lama dia bermain-main di sana. Sesekali mengelus pahaku dengan lembut.
Tangannya yang kekar naik ke pundak ku, memijat seputar bahuku dengan gerakan memutar.
"Bun ...," bisiknya terdengar halus.
"Hmm," gumamku hanya berdehem menanggapi bisikan nya.
"Apa Bunda nggak pengen nambah anak lagi? Siapa tau kali ini laki-laki," tanyanya dengan hati-hati.
Aku menatapnya sekilas, lalu menggeleng.
"Nggak dulu, Mas. Aku masih sibuk menyiapkan keperluan butik. Lagian juga luka bekas operasiku kemarin belum sepenuhnya sembuh. Bahkan belum kering, apa kamu tega?" balasku bertanya tanpa memandangnya.
"Tapi kalau nengok dikit boleh 'kan?" tanyanya dengan wajah penuh harap.
"Ehm ... besok aja, deh, ya. Aku lagi capek banget, nih. Nggak mood, takut nggak bisa bertugas dengan baik," jawabku datar.
Terdengar Mas Frengky menghela napas panjang.
"Udah selesai," katanya sembari menutup minyak oles di tangannya.
"Oke, terima kasih. Oh, ya, Mas, boleh minta tolong ambilkan teh ku?" kataku sembari mengubah posisi untuk duduk.
Mas Frengky berdiri dan mengambilkan secangkir teh yang kuletakkan di atas nakas.
"Nih, dihabiskan. Terus tidur, banyakin istirahat, Bun. Jangan kecapekan!" katanya terdengar perhatian.
Jelas saja ada maunya dia menyuruhku untuk tidur dan beristirahat.
Apa lagi kalau bukan menemui gundik di kamar sebelah?
Aku meraih cangkir teh yang berada dalam tangannya.
Aku mendekatkan cangkir tersebut ke bibirku.
Hanya aroma teh yang berhasil masuk ke indera penciumanku.
Aku tak benar-benar menyesapnya.
Hanya menempelkan sedikit bibirku ke dalam bibir cangkir.
"Ehm ... kenapa tehnya kurang enak, ya? Sepertinya kurang manis. Tumben teh bikinan Rosa rasanya kayak gini!" ujarku mencebik.
"Beda kenapa, Bun? Itu teh kayak biasanya kok. Coba Bunda minum lagi agak banyak!" suruh Mas Frengky sedikit memaksa.
"Nih, cobain kalo Mas nggak percaya!" kataku sembari menyodorkan secangkir teh ke wajahnya.
"Eh, tap—tapi ... Mas 'kan nggak minum teh, Bun?" kata Mas Frengky bergerak sedikit mundur ke belakang.
Ia menjauh saat kusodorkan secangkir teh mendekati wajahnya.
"Loh, cobain dulu. Ini memang rasa tehnya yang nggak enak, atau lidahku yang mati rasa," ujarku sembari berdiri mensejajarkan tubuhku dengan tubuh Mas Frengky.
"U-Udah Bunda aja yang minum!" kata Mas Frengky menutup bibirnya rapat-rapat.
"Coba minum dulu, Mas!" ujarku sedikit lembut. Aku berusaha tampil tenang agar tak membuatnya curiga.
Mas Frengky menyesap sedikit cairan kecokelatan yang mengalir dalam cangkir tersebut, ia menggeleng.
"Rasanya sama kok, Bun. Nggak ada yang beda, Bunda aja kali yang lidahnya bermasalah. Mungkin Bunda panas dalam," kata Mas Frengky kembali menyodorkan teh tersebut untuk menyuruhku minum.
"Coba aja kamu teguk agak banyak, Mas. Aku ngerasa kok kalo rasanya aneh. Mas 'kan cuma menyesap sedikit, coba deh teguk lebih banyak lagi!" ujarku sembari memaksanya.
Mas Frengky menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal.
Ia sepertinya keberatan saat kusuruh meminumnya.
"Kenapa, Mas? Itu teh nggak beracun 'kan? Kok kamu takut gitu sampai wajahmu pucat!" kataku dengan menunjukkan wajah seperti curiga.
"Eh, enggak lah. Nggak ada. Nggak mungkin Rosa ngeracunin kamu, mana berani dia. Lagian apa masalahnya sampai dia kepikiran buat ngeracun kamu?" kata Mas Frengky sambil terkekeh.
"Ya udah cepet minum, dong. Kamu rasakan deh tuh, bener nggak rasa tehnya itu aneh!"
Mas Frengky meminum teh itu hingga hampir tandas.
Sepertinya wajahnya terlihat terpaksa dan sedikit ketakutan.
"Kenapa, Mas? Nggak beracun 'kan? Habiskan dong!" ujarku sedikit menggertak agar dia mau meminumnya hingga tandas.
Glek glek glek ....
"Ah ...," kata Mas Frengky seraya mengelap bibirnya dengan punggung tangan.
"Enak?" tanyaku memastikan.
Mas Frengky hanya mengangguk.
"Ya udah, yuk, tidur. Aku mau cuci muka dulu sekalian taruh ini ke wastafel," pamitku bergegas beranjak.
Kuambil cangkir yang telah kosong dari tangan Mas Frengky.
Aku bergegas melangkah untuk keluar kamar menuju ke dapur.
Sebelum menutup pintu, kulihat Mas Frengky yang terduduk di samping ranjang.
Sepertinya obat itu mulai bekerja, karena tergolong obat keras. Maka obat itu akan bekerja dengan cepat dan maksimal.
Reaksinya mulai nampak mungkin hanya sekitar lima menit dari meminumnya.
Aku berjalan dengan langkah santai dan tanpa beban menuju ke dapur.
Kulihat Rosa sedang bersenandung kecil mengaduk kopi susu di dalam cangkir.
Aroma khas kopi susu menguar ke penjuru dapur.
"Eh, Mbak Nayla. Udah habis Mbak tehnya?" tanya Rosa dengan wajah sumringah.
"Sudah, dong. Teh buatanmu memang TOP. Nggak ada tandingan, bisa membuat tidurku lebih nyenyak dan tanpa beban," ujarku sembari mengangkat jempol ke arahnya.
"Yaiya, dong. Rosa ...," ujarnya sambil tak henti menampilkan senyum indahnya.
"Taruh wastafel aja, Mbak. Biar Rosa nanti yang cuci," kata Rosa saat melihatku hendak mencuci cangkir bekas teh hangat terkutuk tadi.
Aku hanya mengangguk, pandanganku beralih menatap Rosa yang sepertinya baru saja mandi, rambutnya masih basah terlilit handuk. Ia mengenakan kimono sepaha berwarna merah. Terlihat menantang.
"Kamu bikin kopi malam-malam?" tanyaku menatap tangannya yang gemulai sedang mengaduk di dalam cangkir.
"Iya, Mbak. Aku suka banget minum kopi tengah malem sambil bersantai. Ya udah kalo gitu aku permisi, ya, Mbak. Mau istirahat ke kamar," pamit Rosa seraya membawa secangkir kopinya pergi.
Aku hanya tersenyum menatap punggungnya yang mulai menjauhiku.
Rosa .... Rosa .... mari kita saksikan apa yang akan terjadi malam ini.
Akankah sang dewi malam akan berpihak kepadamu?
Aku tersenyum girang dalam hati.
*****
Hayo yang belum klik berlangganan ke ceritaku, bisa klik dulu. Nanti ketinggalan, loh, kalo bab terbarunya tayang😁
Jangan lupa share juga, gih! 😍
pantengin terus ya akak2
besok Mamak mau update 4 bab lagi untuk teman weekend kalian😘😘😘

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters