logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 14

ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU
BAB 14
Aku membuka mataku perlahan. Oh, ya ... aku ingat masih di rumah ibu mertua. Aku meraba kasur mencari ponselku.
"Hmm ... sudah pukul 18:00 WIB, kenapa Mas Frengky tak membangunkanku? Aku belum menunaikan tiga rakaat," lirihku sembari mengambil posisi duduk.
Aku menggeliat, meregangkan semua otot-ototku agar lebih fresh.
Ah ... rasanya lama tak tidur layaknya orang normal begini ....
Biasanya aku mampu menghabiskan waktu seharian atau setidaknya 12 jam jika terlelap.
Namun kali ini normal, seperti jadwal tidurku beberapa bulan yang lalu.
Aku menatap ponsel, ada dua panggilan suara tak terjawab dari Gilang.
Wah, pasti hal penting ini. Seakan tak ingin kehilangan kesempatan, aku bergegas menghubungi Gilang.
"Assalamualaikum, maaf baru ngehubungi. Aku sempat tertidur tadi, apa semua sudah beres?" tanyaku ketika panggilan tersambung.
"Waalaikumsalam, iya alhamdulillah sudah terpasang. Tinggal kamu sambungkan melalui ponsel, nanti aku kirim link caranya, ya. Kamu bisa mencoba sendiri. Sudah terpasang dan tertata dengan rapi, bahkan kamu sendiri tak akan menyadari. CCTV ini besarnya hanya selingkaran kamera ponsel. Aku sudah menatanya di enam titik yang menurutku tepat, aku juga menaruhnya di sekitar dapur. Tak lupa lengkap dengan alat pendeteksi dan perekam suara. Canggih bukan?" suara bariton di seberang terdengar terkekeh.
"Bagus, apa sekarang sudah bisa ku pantau?" cecarku tak sabar.
"Kurang lebih setengah jam lagi, aku bersama petugas sedang memastikan sekali lagi agar hasilnya memuaskan. Oh, ya. Untuk total dan rincian sudah aku kirim by WA, ya. Ternyata cukup mahal juga, hampir dua digit loh, gila!" suara Gilang mendecak terdengar jelas dari sini.
"Iya, gampang. Nanti aku transfer. Kurang lebih satu jam lagi aku akan pulang. Apa bisa dipastikan aman?" tanyaku memastikan.
"Siap, Bu Bos. Kabarin aja jika on the way," jawab Gilang.
"Oke, makasih banyak, ya, Gilang. Allah yang akan balas semua kebaikanmu," ujarku tulus.
"Sip!"
"Ya sudah, Assalamualaikum, jangan lupa kirim no rek, ya!"
"Waalaikumsalam, siap!"
Setelah menutup panggilan dari Gilang, aku membuka aplikasi chat. Sudah ada dua chat dari Gilang perihal bukti tagihan dan nomor rekening.
Hmm ... lumayan juga. CCTV ini pasti canggih sekali mengingat harganya yang cukup fantastis, bisa lah untuk membeli motor baru dengan tipe matic.
Senyumku mengembang, rasanya sudah tidak sabar.
Aku bergegas ke luar kamar, terlihat Mas Frengky sedang terlelap sambil memeluk Cahaya.
Tak bisa dipungkiri, kedekatan keduanya memang terbilang kuat.
Entah bagaimana nantinya jika mereka harus terpisah, atau lebih tepatnya dipisahkan.
Aku menepuk pelan pipi Mas Frengky untuk sekadar membangunkannya.
Oh ... ya, aku hampir lupa. Bukankah Rosa juga akan kembali hari ini?
Loh, bagaimana jika dia kembali saat Gilang beserta temannya masih asyik bertugas?
Waduh bisa gawat.
Aku harus memastikan Rosa tak kembali dengan cepat, setidaknya sampai dua jam ke depan.
"Mas, Mas ... bangun!" ujarku sembari masih menepuk pipi Mas Frengky.
"Hmm ... loh, Bun. Sudah bangun?" tanya Mas Frengky terlonjak kaget.
"Hmm ... Rosa jadi kembali?" tanyaku.
"Maksudku jadi pulang cepat hari ini?" ulang ku lebih jelas.
Mas Frengky memeriksa ponselnya, ia hanya mengedikkan bahu.
Waduh gawat!
Aku bergegas pamit untuk mandi, segera ku hubungi Gilang sekali lagi untuk memastikan.
Jangan sampai mereka ketahuan oleh Rosa, bisa sia-sia uang jutaanku melayang.
Syukurlah, ternyata Gilang sudah selesai dan sedang merapikan rumah kembali. Itu artinya tak sampai setengah jam mereka sudah meninggalkan rumahku.
Melihat Mas Frengky yang kaget akan kehadiranku tadi membuatku seketika ingat.
Secangkir teh di kamar belum aku sentuh sama sekali, biar saja, nanti aku buang hingga tandas.
Biar saja dia mengira aku sudah meminumnya sampai habis.
Setelah mandi, aku bergegas mengajak Mas Frengky untuk pulang ke rumah. Rasanya semangat sekali kali ini aku ingin pulang.
"Makan dulu, Bun. Kasihan Ibu sudah nyiapin ini semua buat kamu. Ibu minta maaf katanya, tadi emosi," ujar Mas Frengky sembari menuntunku ke meja makan.
Di sana sudah ada Cahaya yang sedang asyik memegang paha ayam.
"Tambah lagi, Sayang. Gimana, enak?" tanya ibu mertua sembari memandang Cahaya lekat, tangannya tak berhenti mengelus rambut Cahaya.
Cih ... drama baru ....
Tumben-tumbenan baik banget ke Cahaya, dulu aja waktu Pelangi muntah katanya hanya gumoh biasa. Sama sekali Ibu tak tampak khawatir layaknya seorang nenek ke cucunya.
Bahkan dia sempat melarangku untuk membawa Pelangi ke bidan terdekat.
Dasar, kalau yang di pikiran hanya duit, ya, susah. Semua selalu disejajarkan dengan duit.
Ibu tak sengaja menatap ke arahku, ia menyunggingkan senyum terbaiknya.
Aku hanya membalas dengan senyum tipis.
Tidak semudah itu, Romlah!
Hanya dengan kau sunggingkan senyum bisa membuatku terlena. Tidak segampang itu!
Wah, tumben sekali. Banyak makanan di atas meja. Udah seperti prasmanan pesta saja.
Mas Frengky mengambilkan secentong nasi ke dalam piringku, dengan cekatan ia juga menambahkan sayur dan aneka lauk ke dalam piring ku. Sesuatu yang sangat jarang terjadi, nih.
Bisa dikategorikan langka, bahkan dulu saat aku hamil Cahaya yang notabenenya hamil anak pertama pun tak membuat Mas Frengky seperhatian ini.
Apalagi waktu hamil Pelangi, dia malah menyuruhku banyak bergerak dan berolahraga. Agar bisa melahirkan normal katanya, tapi? Takdir Allah berkata lain buktinya.
Tapi, selera makan ku mendadak hilang. Boleh 'kan sesekali aku mengerjai mereka?
"Ehm aku belum lapar, Mas. Bisa minta tolong bikinkan mie instan saja? Kasih potongan sawi dan cabe rawit 3 ya, Mas. Jangan lupa telornya dua!" cengirku sembari menaik turunkan alis.
Ibu melototiku dengan tajam, mungkin dia kesal sudah capek-capek menyiapkan seperti ini, malah tak kumakan.
Kurang lebih seperti itu juga pengorbananku selama ini, ini juga belum seberapa.
Namun dengan cepat, ibu segera mengubah mimik wajahnya menjadi netral.
Ia menghela napas dalam, "Nayla, nggak baik makan mie instan terus. Mending kamu cobain makanan masakan Ibu ini. Mau, ya?"
"Maaf, Bu. Tapi Nayla jarang sekali makan mie, entah kenapa tiba-tiba saja sekarang pengen," sahutku sembari mengedikkan bahu.
"Terserah kamu!" ujar Ibu sembari melengos.
"Sudah-sudah. Biar Mas yang buatkan. Mie goreng dengan potongan sawi dan cabe rawit plus telor dua, ya?" tanya Mas Frengky memastikan.
"Sip!" Aku mengacungkan kedua jempolku seraya tersenyum.
"Oke!"
Mas Frengky pun beranjak dari kursinya, aku mengikuti dari belakang.
"Loh, kamu tunggu di meja aja, Bun. Biar aku yang bikin," katanya sembari menautkan alis.
"Nggak, aku juga pengen lihat proses pembuatan pesanan ku, apakah sudah sesuai dengan seleraku?" cengirku seolah ku buat manja.
"Rasanya jadi ingat dulu, saat pesananmu tak sesuai, kamu komplain ke padaku, 'kan?" goda Mas Frengky seraya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang rapi.
Aku hanya menanggapi dengan senyum kecil, malas rasanya jika harus bernostalgia seperti sekarang.
Setelah aku memastikan sendiri, tidak ada campuran obat apa pun ke dalam masakan Mas Frengky, aku pun dengan lahap memakannya.
Ah ... lama sekali tak makan mie goreng selezat ini.
Oh, ya. Bicara tentang secangkir teh tadi, aku sudah memindahkannya ke dalam gelas bening. Tentu saja kumasukkan ke dalam lemari es milik Ibu.
Daripada dibuang, mubasir.
Sayang gula dan tehnya, 'kan?
Mas Frengky sempat tanya kenapa harus dimasukkan ke lemari es?
Sudah pasti sudah kujawab, aku ingin sensasi dinginnya. Bosen minum teh hangat terus, sesekali es teh gitu.
Mas Frengky juga menyarankan akan menambahkan es batu ke dalam teh ku, tentu saja kutolak dengan alasan aku tak ingin terlalu dingin.
Ah ... suamiku itu rupanya sedang bingung dan kelabakan atas sikapku hari ini.
Biar sajalah, biar dia sibuk dengan menerka-nerka.
Kami asyik makan dengan hening, hingga sebuah suara mampu menghentikan aktivitas kami.
"Assalamualaikum ...." salam seorang lelaki berwajah tak mirip dengan Mas Frengky.
Ya ... Reno memanglah adik Mas Frengky, namun bukan adik kandung. Melainkan adik tiri.
Aku juga baru mengetahui akhir-akhir ini, ketika Mas Frengky bertengkar dengan Ibu dan membahas perihal Reni dan Reno.
Entahlah, aku malas kepo dan ikut campur urusan mereka.
"Waalaikumsalam, baru pulang, Ren?" tanyaku basa-basi.
Sebagai kakak ipar yang baik, aku harus mencoba mendekatkan diri bukan dengan saudara suamiku?
"Ya iyalah, masak mau berangkat! Mbak Nayla nanyanya basa-basi banget!" kata Reno sembari menenteng tas transparan berisi sepatu.
"Yang sopan kalo ngomong sama Mbakmu!" tegas Mas Frengky.
Nah, tumben suamiku bisa menjadi pahlawan untukku di depan saudaranya?
Ah ... rasanya ini terlalu manis.
Memang benar kata pepatah, jika kita diselimuti banyak uang, orang jauh pun mengaku saudara. Seperti semut yang selalu bisa mencium aroma gula.
Reno tak peduli, ia bergegas masuk melewati meja makan dan membuka lemari es.
Mataku masih saja mengekori setiap gerakan yang dilakukannya.
Reno menyapu isi lemari es.
Nah, tap!
Tangannya meraih segelas teh milikku yang sengaja kutaruh di tengah untuk memancing siapa pun yang membuka pintu lemari es.
Dengan hitungan detik, Reno meminum segelas teh milikku hingga hampir tandas.
"Ah ... seger!" ucapnya sembari meletakkan gelas ke wastafel.
"Loh, itu 'kan teh ku?" ujarku dengan wajah memelas.
Aku ingin tau bagaimana reaksi Mas Frengky ?
Yap ... benar saja. Mas Frengky yang sebelumnya hanya menunduk asyik menikmati ayam goreng, kini mengangkat kepalanya tinggi, ia melihat Reno menyiram gelas teh ku di bawah kran wastafel.
"Reno!" bentak Mas Frengky membuat lelaki gondrong itu menoleh.
"Kenapa kamu minum teh Mbakmu?" tanya Mas Frengky dengan mata nyalang.
"Aku nggak sengaja, Mas. Haus, nanti biar aku bikinkan lagi, ya," ujar Reno datar. Ia menata gelas ke dalam lemari penyimpanan.
"Keterlaluan kamu! Lancang! Seharusnya kamu tanya dulu, nggak main serobot gitu aja!" Mas Frengky masih saja tak terima.
"Iya, Mas, maaf. Reno mandi dulu, ya. Habis mandi Reno buatkan lagi, deh!" kata Reno sembari menaiki tangga hendak menuju kamarnya.
"Kurang ajar! Harusnya Ibu ajarin itu anak kesayangan Ibu! Makin lama makin ngelunjak, songong!" teriak Mas Frengky masih marah-marah. Wajahnya terlihat memerah karena emosi.
"Sudah, Mas," ujarku sembari mengelus pelan lengannya.
Aku pun menampilkan ekspresi kecewa dan sedih.
Aslinya di dalam hati? Bersorak lah! Ya kale beneran sedih🤣
"Sudah, lah, Ky. Adikmu nggak sengaja, salah istrimu kenapa nggak langsung diminum," ujar Ibu datar.
Selalu saja menyalahkan ku kan?
Aku diam pun masih aja salah.
"Karena Ibu selalu memanjakannya! Aku nggak suka sikap lancang nya seperti tadi, jangan sampai hal ini terulang loh, ya!" ancam Mas Frengky menatap tajam ke arah Ibu.
Sedangkan Ibu terlihat bingung.
"Astaga, perkara segelas es teh saja bisa membuatmu semarah ini, Ky? Berlebihan banget tau, nggak!" kata Ibu tak kalah tinggi nada bicaranya.
"Emang secangkir tehnya spesial, ya, Mas? Bukannya di rumah aku juga sering meminumnya?" tanyaku sembari menatap lekat manik mata Mas Frengky.
Dengan cepat Mas Frengky membuang pandangannya, tak berani menatapku.
"Bu—bukan gitu, ah udahlah. Ayo kita pulang saja!" ujarnya sembari beranjak.
Bahkan makanannya masih tersentuh setengah.
"Aneh sekali tingkahmu, Mas," gumamku dengan sengaja untuk memancing reaksi Ibu mertua.
Ibu mertua hanya menatapku tak mengerti.
Kami saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Cahaya hanya menatap kami bergantian, dia pun angkat bicara.
Bagaimana reaksi Reno meminum segelas teh yang sudah menjadi dingin?
*****
Semakin banyak yang suka, semakin cepet aku updatenya😁
Yuk follow dan like, dulu🤩
Udah percaya aja, ini cerbung gratis sampai TAMAT.
Asal banyak yang setia untuk tetap pantengin dan klik berlangganan, agar tau jika bab terbarunya tayang dan nggak ketinggalan😋
Salam damai😘

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters