logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 13

ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU
BAB 13
Sesampainya di rumah Bu Romlah, alias ibu mertuaku. Mas Frengky bergegas memarkirkan mobil ke carport.
Aku dan Cahaya masuk terlebih dahulu ke dalam.
"Assalamualaikum ...." salamku ketika masuk ke ruang tamu.
Rumah Ibu tampak sepi, mungkin Reni dan Reno sedang kuliah, sedangkan Ibu? Entahlah di mana.
Aku bergegas duduk di sofa sembari memainkan ponsel, menunggu kabar dari Gilang tentunya. Pesanku pada Rosa pun belum ada balasan, padahal status wa nya online beberapa menit yang lalu.
Rupanya dia sengaja ingin menghindariku.
"Masuk rumah bukannya salam, malah udah selonjoran. Dari mana?" ujar ibu mertua tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan wajah pias.
"Lah, Nayla tadi udah salam, kok. Ibu aja yang nggak denger, mungkin faktor usia. Jadi maklum, deh," ujarku santai.
"Apa tadi kamu bilang?" tanyanya sembari mendekat ke arahku.
"Oh ... nggak, bukan apa-apa," jawabku masih dengan kaki selonjoran. Biarlah aku bersantai sejenak, badanku memang pegal butuh sandaran.
"Frengky mana?" tanya ibu sambil melirik ke arah pintu.
Panjang umur juga rupanya anak lanang.
"Assalamualaikum," kata Mas Frengky sembari mencium tangan ibu dan mengambil tempat duduk di sebelahku.
Sedangkan Cahaya? Sudah goleran di karpet.
"Waalaikumsalam. Ibu perlu ngomong sama kamu!" kata Ibu dengan wajah kesal.
"Baru juga sampai, nggak ditawarin es teh dulu, nih?" tanya Mas Frengky sembari menggaruk tengkuk.
"Nggak ada es teh! Ibu kesel banget sama kamu!" kata Ibu menatap Mas Frengky tajam.
"Apa, sih, Bu? Aku baru aja datang, masak udah dimarah-marahi?" kata Mas Frengky terlihat pasrah.
"Kamu itu keterlaluan! Janjimu mau transfer uang mana? Gara-gara kamu nggak respon wa ibu, ibu jadi dimaki-maki sama Umik Nur. Ibu dibilang modal omong doang, gara-gara kamu juga ibu jadi malu. Sekarang rumahnya udah laku tuh dibeli janda bodong. Kesel banget ibu! Kamu nggak tau diuntung banget, anak lelaki satu-satunya kok nggak tau diuntung!" maki ibu setengah berteriak.
Aku pura-pura sibuk bermain ponsel, terlihat tak peduli pada ibu dan anak yang sedang berargumen di depanku.
"Maaf, Bu. Aku 'kan sudah bilang, nggak punya uang segitu. Kenapa ibu maksa? Pakai janji segala ke Umik Nur mau ngebeli tuh rumah!" kata Mas Frengky berbalik menyalahkan ibunya.
"Lah kamu ini gobl*k nggak ketulungan! Itu rumah juga bisa jadi investasi ke depannya! Pokoknya ibu nggak mau tau, ya. Gara-gara kamu kerutan ibu nambah karena marah-marah. Sekarang ibu minta ganti rugi!" kata ibu sembari mengibaskan tangannya.
Aku yang mendengar alasan tak masuk akalnya, keceplosan terbahak.
"Heh, ngapain kamu ketawa? Ada yang lucu?" ujarnya sembari melotot ke arahku.
Aku mengalihkan tatapan dari ponselku, melirik sekilas ke arah ibu.
"Hah kenapa, Bu? Aku loh ketawa sama hape, emang ada yang salah?" kataku sembari menautkan alis.
Tentu saja itu hanya berpura-pura, aslinya ya ngetawain dia, lah!
"Dasar nggak jelas!" racaunya masih dengan mata melotot.
Apa nggak takut copot tuh bola mata dibuat melotot terus menerus.
"Ayo, Ky. Mana!" cecar ibu sembari menepuk pundak Mas Frengky.
Terlihat Mas Frengky mendesah, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Itu ponsel yang kapan lalu aku mainkan m-bankingnya. Apa Mas Frengky belum sadar jika saldonya dari beberapa ATM berhasil aku kuras?
"Berapa?" tanya Mas Frengky sembari memainkan jarinya di atas keypad.
"Tiga juta aja buat ke salon. Kalau kurang besok kamu transfer aja lagi!" jawab ibu mertua dengan wajah berbinar.
Huh ... kalo denger uang aja mata langsung bening!
Mas Frengky masih sibuk memainkan jarinya di atas ponsel.
"Loh ... kok saldoku nggak cukup?" katanya sedikit berteriak.
"Nggak cukup gimana? Nggak usah banyak alesan deh, Ky!" sergah ibu mertua.
"Bentar!" kata Mas Frengky masih mencoba memainkan jarinya di atas keypad.
"Loh, kok yang ini juga?" katanya kali ini dengan teriakan yang sedikit nyaring.
"Apa, sih, Ky? Bisa jebol kupingku kalo kamu teriak-teriak terus!" kata ibu mertua sembari melongokkan kepalanya mengintip layar ponsel Mas Frengky.
"Bentar, deh, Bu. Ini loh, saldoku dua-duanya kosong. Ke mana, ya?" kata Mas Frengky sembari menggaruk tengkuknya.
Ia mencoba kembali, mungkin sedang mengecek laporan mutasinya. Setelah ia tahu pasti akan menegurku.
Dan ... satu ... dua ... tiga ....
"Loh, Bun. Kamu mainan ponselku, ya? Kenapa laporannya ini masuk ke rekening kamu?" tanya Mas Frengky sambil menatapku.
"Iya, keuangan butik lagi nggak bagus. Jadi aku minta nafkah untuk kebutuhan rumah tangga, bayar sekolah Cahaya juga," sahutku enteng.
"Lancang kamu! Berapa uang anakku yang sudah kamu ambil diam-diam?" kali ini ibu mertua ikut menatapku.
"Lah, itu hakku. Di dalam uang suami ada hak istri dan anak. Ibu jangan lupa, setelah akad dan ijab qobul sah, anak lelaki ibu ini wajib memberiku nafkah dengan layak. Janjinya langsung sama sang Pencipta, loh, ini. Nggak main-main!" ujarku sembari menatap mereka bergantian.
"Kamu 'kan sudah dikasih nafkah sama Frengky, lagian juga kamu punya usaha. Kamu sengaja morotin anakku 'kan? Kamu sengaja membuatnya durhaka padaku? Dosa besar kamu, Nyala!" bentak ibu mertua.
"Dikasih nafkah atau cuma titip nafkah? Tuh, tanya orangnya. Mumpung di sini. Jangan ibu kira Mas Frengky memberiku uang lebih banyak dari yang ibu dapatkan. Bahkan jatah untukku dan Cahaya tak ada sepuluh persennya dari jatah ibu yang diberikan Mas Frengky setiap bulannya. Belum lagi tiap seminggu sekali hutang uang bisnisku dengan alasan untuk modal lah, untuk menggaji karyawan lah, dan lah lah lainnya. Ibu harusnya bersyukur! Nggak makin ngelunjak kayak gini. Aku jadi sangsi, sebenernya tujuan ibu punya anak untuk apa, sih? Sekedar untuk investasi hari tua, ya?" tebakku dengan sinis.
Ibu dan Mas Frengky menatapku seolah tak percaya. Mungkin saja mereka kaget melihatku bisa berubah bak singa betina, mengingat sebelumnya hanyalah kelinci kecil yang mungil dan penurut.
"Kenapa? Nggak bisa jawab?" tanyaku angkuh.
"Dan untuk kamu, Mas. Jangan lupa bayar semua hutangmu! Mulai sekarang aku nggak mau tahu lagi tentang kebutuhan ibumu, entah untuk biaya kuliah, biaya makan atau apapun biaya lainnya. Jika kamu berkenan aku akan memberikan sesuka dan semampuku. Tapi jangan mentarget harus nominal sekian, namanya juga memberi, sesuai keinginan, dong. Untuk rumah juga semua aku pasrahkan padamu. Aku sudah lelah jadi sapi perah kalian, nggak ada gunanya. Sapi aja masih dikasih makan layak, dimandikan dan diberi istirahat yang cukup. Sedangkan aku? mencari makan aja harus mengeluarkan uang dulu, rasanya setelah menjadi istrimu tak ada bedanya dengan kehidupanku saat lajang dulu. Malah ini semakin parah, pengeluaranku setelah menikah menjadi berkali kali lipat dari sebelum menikah," jelas ku panjang lebar.
"Bun, udah, ya. Sepertinya kamu sedang lelah. Yuk, istirahat, dulu!" ajak Mas Frengky sembari menghampiriku.
"Nggak, aku nggak lelah. Bahkan aku masih semangat, aku juga nggak ngantuk. Entah kenapa seharian ini tubuhku sangat fresh, tidak seperti jika berada di rumah, jadi sering ngantuk. Tidur pun udah layaknya orang mati, apa memang hawa di rumah seperti itu, ya?" sindirku sembari menatap lekat manik mata Mas Frengky.
"Udahlah, kamu kecapekan. Ayo kita istirahat dulu di kamar belakang!" Mas Frengky menuntunku melewati ibu yang sedang memijit pelan pelipisnya.
Aku tertawa dalam hati, selamat datang kerutan baru.
Puyeng deh kalian, sumber mata uang kini tengah memberontak.
Mas Frengky membantu merebahkan tubuhku ke atas ranjang. Ia memijit pelan kakiku.
"Lupakan soal semua tadi, ya, Bun. Beneran deh, aku nggak marah kok Bunda mau ambil uangku sebanyak apa pun. Serius, deh. Bunda jangan bilang seperti itu lagi, ya. Kita berumah tangga bersama, saling berbagi. Jangan ungkit-ungkitan seperti itu, Mas janji nggak akan mengungkit soal uang tadi. Mas hanya tanya, apa benar Bunda yang melakukan, setelah tau, ya udah, nggak papa. Mas ikhlas kok, Bunda jangan marah lagi, ya," kata Mas Frengky sedikit memohon.
Aku hanya membisu, enak saja! Tetap pada keputusan final. Aku sudah tak mau menanggung biaya hidup keluargamu, Mas!
"Ya sudah, Bunda istirahat aja dulu di sini. Mas bikinin teh hangat, ya, Sayang. Tunggu, Mas ke dapur dulu!" Mas Frengky beranjak dari tempatnya. Ia ke luar, mungkin saja ke dapur seperti katanya.
Ah ... tidak. Mulai sekarang aku tidak akan mau minum atau makan olahan dari Mas Frengky maupun Rosa. Mengingat tadi kata Gilang, bahwa Mas Frengky sengaja memberiku obat anti depresan yang membuatku terlelap dan linglung ketika bangun. Bahkan ia rela merogoh kocek untuk membeli banyak obat itu untukku.
Bisa semakin bodoh aku jika dicekoki dengan obat itu terus-menerus.
Samar bisa kudengar dengan jelas Mas Frengky sedang berdebat dengan ibunya. Mungkin wanita setengah baya itu masih saja meminta uang untuk ke perawatan ke salon.
Sekilas, aku hanya mendengar suara Mas Frengky yang bernada sedikit tinggi.
"Sudahlah, Bu. Terima saja untuk saat ini, Frengky mohon. Jangan bebankan semua pada Frengky, lama-lama aku lelah, Bu. Kasihan Nayla juga, Ibu tak seharusnya membentaknya seperti itu tadi. Aku hanya khawatir Nayla beneran serius dengan ucapannya tadi, bisa hancur kita semua!"
Oh ... rupanya mereka masih saja menganggap omonganku hanya gertakan semata?
Oke, kita buktikan saja di hari berikutnya.
Terdengar langkah seseorang menuju ke mari. Rupanya Mas Frengky dengan membawa secangkir teh yang masih mengepul asapnya.
"Nih, diminum dulu, Sayang. Biar kamu lebih fresh aja, relaks. Aku temenin sambil kupijit?" tawar Mas Frengky sembari mengambil duduk di sisi ranjang.
"Nggak usah, Mas. Taruh situ dulu aja, ya. Aku pengen tidur sebentar aja, setidaknya biarkan pikiranku tenang dulu," ujarku sedikit memohon.
"Yakin nggak mau minum sedikit dulu, Sayang, itu tehnya?" tunjuk Mas Frengky ke arah nakas.
"Iya, nanti aku minum. Sekarang aku bener-bener pengen sendiri, istirahat. Sebentar aja, Mas," ujarku terdengar mengusir.
Mas Frengky mendesah, ia hanya mengangguk dan beranjak meninggalkanku sendirian.
Ku usap layar ponselku untuk membuka kunci.
Sudah pukul 16:40 WIB, tapi tak kunjung ada kabar dari Gilang.
Ah ... sebaiknya aku tidur sebentar, satu jam mungkin cukup untuk merefresh sedikit otakku yang mulai lelah.
Kupandangi cangkir berisi teh yang asapnya masih mengepul.
Oh ... jadi dengan minuman itu, Mas, kamu sanggup menaklukan?
Jika minuman itu kubuang, masih sanggupkah kamu menaklukan diriku ini, Mas?
Aku bertanya tanya dalam hati.
*****
Semakin banyak yang like dan follow cerita ini, semakin cepat pula, nih, diriku update😁
Follow juga akunku, akan ku gratis kan cerbung ini untukmu. Hingga TAMAT!
LOVE KALIAN SEMUA BANYAK-BANYAK KARENA UDAH MENGIKUTI CERITAKU SAMPAI DI BAB INI🥰

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters