logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 11

ANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU
BAB 11
"Kamu tunggu dulu, ya. Aku mau ganti sekalian siapin barang-barang yang mau dibawa," kataku seraya melangkah masuk ke dalam kamar.
Bisa kudengar kasak-kusuk dari arah luar. Mungkin mereka sedang melalukan perdebatan kecil. Entahlah.
Instingku sebagai istri terbukti tajam, aku bisa tahu dari gelagat Mas Frengky yang tumben-tumbenan pergi ke luar kota pakai nginep segala.
Dengan jurus ninja, tak sampai setengah jam aku sudah berpakaian rapi dan membawa tas ransel yang cukup besar. Berisi baju dan beberapa kebutuhanku.
Mas Frengky terlihat duduk sembari meremas rambutnya, Cahaya masih saja asyik dengan sarapannya. Kelakuan ayahnya sama sekali tak mencuri perhatiannya.
"Loh, Rosa mana, Mas?" tanyaku celingukan karena tak mendapati wanita itu di meja makan. Padahal beberapa menit yang lalu ia sudah kuperingatkan untuk menunggu.
"Dia sudah pergi, ibunya menelfon menyuruhnya cepat berangkat, Bun. Rosa naik ojek di depan sana," kata Mas Frengky sembari mengarahkan dagunya ke depan.
"Kenapa bisa gitu? Biar ku telfon saja, kasihan dia harus pergi sendirian. Wanita yang belum menikah, haram pergi jauh tanpa didampingi mahram," ujarku menasehati.
Mas Frengky hanya mengedikkan bahu.
Aku bergegas memencet kontak Rosa di dalam gawaiku, nomernya tak aktif. Aku mencoba menghubungi lewat sosial medianya, hanya centang satu yang kudapat.
Ah ... aku kehilangan jejak.
"Ya sudah, Bun. Aku mau bersih-bersih dulu, terus berangkat!" kata Mas Frengky seraya berlalu.
Ah ... gagal dong aku mengikuti Rosa mudik ke desa.
Satu ide terlintas di otakku.
"Cahaya, sini, Nak!" panggilku kepada anak semata wayangku.
Cahaya merosot turun dari kursinya, ia menghampiriku.
Aku terduduk, mensejajarkan badanku dengan tubuhnya.
Kubelai lembut rambutnya, "Cahaya ganti baju, yuk. Kita pergi liburan ikut Ayah!"
"Wah, asyik!" sorot mata berbinar tampak jelas di wajah Cahaya.
Kasihan gadis kecilku, ia jarang sekali pergi berlibur bersama orang tuanya.
Setelah selesai mendandani Cahaya, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil Mas Frengky. Cahaya duduk di jok belakang sambil memainkan legonya.
Kupanaskan mobil berwarna putih tersebut sembari menunggu Mas Frengky bersiap.
Karena mendengar deru mobilnya, Mas Frengky sedikit tergopoh menghampiriku.
Wajahnya terlihat penasaran, ia mengerutkan kening sembari menatapku dan Cahaya dengan bingung.
"Loh, Bun ... kalian mau ke mana?" tanyanya.
"Ya ikut Ayah menemui klien, dong, ke kota sebelah. Sekalian kita liburan, udah lama kita nggak berlibur!" ujarku dengan antusias.
Mas Frengky nampak gusar, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ayo, dong, Mas! Keburu terlambat, loh, ntar."
Aku masuk ke dalam mobil, mengambil tempat di samping kemudi.
Mas Frengky hanya menurut, sebelum mengendarai mobilnya, ia tampak bingung mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Ngehubungi siapa, sih, Mas? Kok kusut gitu wajahnya?" tanyaku sembari memasang seat belt.
"Eh, nggak. Ini, temenku nggak bisa deh kayaknya, Bun. Gimana kalo kita main ke rumah Ibu?" tawarnya padaku.
"Ngapain ke sana?" sahutku malas.
Aku memang malas jika harus bertemu mertua saat ini. Bukannya apa-apa, moodku sedang tidak bisa diajak bekerja sama. Aku khawatir akan terjadi sesuatu jika dipaksakan.
"Ya main, kasihan Cahaya mungkin rindu dengan Neneknya," kata Mas Frengky.
"Nggak akan, emang Ibumu menganggap Cahaya cucunya? Dari Cahaya lahir sampai segede sekarang, bisa kuhitung dengan jari berapa kali dia menggendongnya. Ibumu itu paling males kalo diminta tolong jaga Cahaya, mau sih, tapi imbalannya harus sesuai tuh. Entah pengen tas keluaran terbaru, bayarin arisan yang udah kayak gerbong kereta saking panjangnya. Belum lagi uang kebutuhan jajan lainnya. Bukannya aku ngungkit, ya, Mas. Tapi kalau kuhitung-hitung lumayan juga," ketusku tanpa mengalihkan sedikitpun untuk melihatnya.
"Ya sudah, lah, Bun. Jangan dibahas terus, yang lalu biar berlalu. Lagian Bunda 'kan rela dengan ikhlas memberi dan membantu, tidak ada unsur keterpaksaan," kata Mas Frengky tanpa dosa.
Aku tak menanggapi ucapannya lagi, baru saja mendengar namanya sudah mampu membuatku emosi seperti ini.
"Terus kita ke mana, dong?" tanya Mas Frengky mengalihkan pembicaraan.
"Terserah!" jawabku datar.
"Ya udah kita ke Resto sebentar, ya. Habis gitu ke rumah Ibu, nanti pulangnya Mas traktir deh, mau beli apa?" katanya sembari menowel daguku.
"Lagakmu bergaya mau traktir, lah hutangmu kemarin aja belum kamu bayar, Mas!" kataku sinis.
"Iya maaf, bulan depan 'kan, Mas janji bayar semua, Bun!" katanya.
Oh, rupanya dia masih belum sadar jika ATM-nya sudah berhasil kubobol terlebih dahulu.
Biar saja, bagaimana reaksinya nanti ketika tahu saldo di kedua ATM-nya kosong.
Mas Frengky membelokkan mobil ke jalanan menuju Resto, biarlah setidaknya di sini aku bisa bersantai sambil menikmati aneka masakan yang memanjakan lidah. Ia memarkirkan mobilnya ke tempat khusus.
Kami turun dan masuk ke dalam Restoran berlantai dua dengan sentuhan gaya klasik tersebut.
Mas Frengky bergegas menuju ke ruang kerjanya. Sedangkan aku dan Cahaya lebih memilih duduk bersantai sambil melihat ikan berlarian di dalam kolam.
Sudah hampir satu jam Mas Frengky belum juga keluar dari ruang kerjanya.
Aku mengajak Cahaya menepi ke ruang indoor. Gilang memberikan salad buah dan segelas susu cokelat untuk Cahaya, dengan lahap Cahaya memakannya sembari bermain ponsel.
Kebetulan ada Gilang di sini, mumpung Mas Frengky tak ada. Aku bisa bebas mengulik profil dari Rosa.
Tapi ngomong-ngomong, wanita itu belum juga kutemukan kabarnya. Sampai hari terik beginipun pesanku tak kunjung dibalas olehnya.
"Idih, serius banget. Lagi nungguin kabar siapa, sih, Mbak? Bukannya sang pujaan hati juga ada di sini?" tegur Gilang menggodaku.
"Eh, enggak. Ini cuma lagi nunggu kabar dari Rosa, aku sedikit khawatir dia pulang sendiri," kataku.
"Rosa? Karyawan di Resto ini beberapa bulan yang lalu? Masih bekerja jadi asisten Mbak Nayla, ya?" tanya Gilang dengan wajah penasaran.
"Iya, dia ijin pulang ke desa. Katanya Bapaknya sakit, jadi Ibunya menyuruh Rosa untuk segera pulang. Niatnya mau aku antar aja tadi, tapi apalah daya. Rosa keburu kabur naik ojek!" kataku dengan detail.
"Bapaknya? Jadi Rosa hari ini pulang ke desa?" tanya Gilang, wajahnya terlihat bingung.
"Iya! Emang kenapa, sih? Oh, ya. Kamu repot, nggak? Aku ada perlu sih sama kamu, ini sedikit penting. Tapi sifatnya rahasia, loh, ya?" ujarku sembari berbisik.
Aku sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada orang lain yang mendengar.
"Iya, aku nggak repot, kok. Sudah selesai semua, kebetulan Resto juga masih belum ramai. Ada apa sih, Mbak?" tanya Gilang menggeser kursinya sedikit lebih dekat.
Rupanya dia mengerti maksudku.
"Aku mau nanya tentang Rosa, profil atau biodatanya gitu. Statusnya juga, kenapa bisa Mas Frengky memilih Rosa? Kenapa bukan Riska atau Susan gitu yang lebih senior? Mereka 'kan juga single, jadi nggak akan keberatan kalo tinggal di rumah untuk menemaniku," kataku seraya menggebu-gebu.
"Ehm, gimana, ya ... aku serba salah juga, sih, Mbak. Aku juga nggak tahu kebenarannya. Cuma denger slentingan aja, tapi jangan dipercaya dulu! Oh, ya. Tentang biodata, Rosa memang anak perantauan, ke sini untuk mengadu nasib, katanya sih dia ingin membiayai orang tuanya di kampung, semenjak Bapaknya meninggal, ibunya jadi sering ngelamun dan sakit-sakitan. Otomatis juga berdampak dari segi ekonomi. Rosa juga punya satu adik lelaki yang masih sekolah SMP, bahkan adiknya terpaksa berhenti sekolah sementara karena tak ada biaya. Aku jadi bingung, Mbak Nayla bilang Bapaknya sakit, tapi pas interview dia bilang Bapaknya baru aja meninggal, terus yang bener yang mana?" tanya Gilang sembari menggaruk rambutnya.
"Bapaknya udah meninggal? Yang bener kamu, Lang!"
"Iyah, Mbak. Karyawan di sini banyak yang tahu kehidupan dia kok, dia juga anaknya supel, temennya banyak. Jadi hampir semua karyawan di sini tahu banyak tentangnya. Malah ada tuh si Linda, katanya sih temennya satu dusun. Cuma nggak tahu lagi, ya. Linda anaknya pendiem soalnya, kalau menurutnya nggak penting ya dia nggak akan jawab, seringnya bilang nggak tahu. Lebih tepatnya dia nggak suka ghibah, nggak mau ikut campur masalah orang lain," jelas Gilang dengan serius.
"Ehm, ya ... ya. Kenapa Rosa bohong sama aku, ya? Terus ke mana dia pergi, kalau bukan pulang kampung?" lirihku.
Gilang lagi-lagi hanya mengedikkan bahu.
"Eh, Mbak. Maaf nih, ya, sebelumnya. Kalau aku boleh kasih saran, kenapa Mbak nggak nyoba pasang CCTV aja di rumah?" tanya Gilang sambil menyugar rambutnya.
"Kenapa kamu bisa kasih saran kayak gitu?" tanyaku menyelidik.
"Ehm, ya, nggak gitu. Aduh, aku bingung bilangnya."
Gilang tampak salah tingkah, ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Tapi Mbak jangan langsung ambil kesimpulan, ya. Sebagai istri seharusnya Mbak lebih tegas. Bukannya bermaksud mengajari yang buruk, aku juga nggak niat ikut campur. Apalagi aku masih bujang, harusnya aku nggak pantes menasehati Mbak Nayla kayak gini. Tapi, karena Mbak Nayla sudah aku anggap seperti Kakakku sendiri, aku nggak mau Mbak Nayla berharap terlalu lebih ke sesama manusia," kata Gilang semakin membuatku tak mengerti.
"Maksud kamu apa, sih? Tolong jangan bertele-tele, ah!"
"Apa Mbak nggak curiga sama Mas Frengky?" tanya Gilang tepat sasaran.
Aku berusaha menutupi rasa terkejut ku.
Untuk menjaga marwah suamiku, aku pun menggeleng.
"Untuk apa aku harus curiga? Tolong, beritahu aku. Kenapa kamu seakan memberiku teka-teki?" tanyaku.
Gilang menghela napas panjang.
"Mbak sepertinya kebanyakan minum obat Benzodiazepines, deh. Pantes jadi linglung dan bod*h!" Gilang menatapku dengan kesal.
"Maksud kamu? Bisa-bisanya ngatain aku bod*h!" geramku tak terima.
"Memang iya! Sekarang aku tanya, apa Mbak Nayla sering insomnia ketika malam?" tanya Gilang, matanya nyalang menatapku, membuatku sedikit takut.
"Nggak, sih. Malah tidurku pules banget kalo malam. Aku aja jarang mimpi," jawabku jujur.
"Tuh, kan! Sudah kuduga!" celetuk Gilang seraya mengusap dagu.
"Apa, sih? Kenapa kamu bertele-tele seperti ini. Aku jadi makin bingung," ujarku sembari memegang kepala.
"Susah ngejelasin sama orang yang terlalu banyak konsumsi anti depresan!" sahut Gilang tanpa dosa.
"Maksud kamu aku depresi? Aku nggak pernah tuh konsumsi obat-obatan macem itu. Apa jangan-jangan?" tebakku seraya melirik Gilang dengen lekat.
"Jelaskan semua sekarang, sebelum garpu ini aku tancapkan ke mulutmu!" bentakku kesal.
Aku mengambil garpu yang terletak di meja.
Tentu saja hanya untuk bercanda menakut-nakuti Gilang.
"Ish, sadis banget. Iya-iya!" kata Gilang dengan wajah sedikit pucat.
Aku mengangkat garpu agak tinggi, mataku melotot menatapnya.
Seakan mengira aku tak main-main, Gilang menelan salivanya dengan susah payah.
"Jadi gini ... aku sering mergokin Mas Frengky membeli ...." Gilang menggantung kalimatnya, membuatku semakin geram.
"Apa?"
*****
Dibikin santuy aja, ya, Kak. Jangan baper😁
Nikmati aja cerbung gratisan ini, buat temen santuy🤣

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters