logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 10

CELOTEH CAHAYA
BAB 10
Saat azan subuh berkumandang, aku bergegas membangunkan Mas Frengky yang sedang terlelap membelakangiku.
Sudah tepukan kesepuluh, ia tetap tak kunjung bangun.
Ya sudahlah, toh aku juga sudah berusaha. Kalau dia masih mau bergelut dengan mimpinya ya sudah. Aku tak mau ambil pusing lagi.
Segera aku beranjak dari tempat tidur. Mengguyur tubuhku dengan air dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban dua rakaat.
Hingga aku selesai salat pun, Mas Frengky masih saja bergeming. Rupanya tidurnya sungguh pulas kali ini.
Aku melipat mukena dan sajadah, meletakkannya di laci samping tempat tidur.
Saat aku hendak melangkah, benda pipih berukuran 6 inci milik Mas Frengky yang berada di atas laci tersebut bergetar, layarnya menyala kedap-kedip.
Aku bisa melihat ada panggilan suara masuk dari salah satu aplikasi chat berlogo telefon.
Siapa yang menghubungi suamiku di pagi buta begini?
Tanpa pikir panjang, aku bergegas mengambil ponselnya dan melihat nama yang tertera.
Nama 'Ibu' terpampang jelas di sana. Aku sengaja tak mengangkatnya, menunggu ponsel itu berhenti bergetar.
Benar saja, beberapa detik kemudian, ponsel kembali menampilkan layar terkunci dengan potret Cahaya yang sedang tersenyum.
Jiwa kepoku meronta-ronta. Pasti ada sesuatu di antara mereka, aku harap aku bisa menemukan sesuatu dari ponsel dalam genggamanku ini.
Kubuka ponsel Mas Frengky dengan kata sandi yang sudah kuhafal di luar kepala.
Rupanya ia belum sekali pun merubah sandi dari semenjak kita menikah.
Sandi dengan enam angka berkaitan dengan tanggal lahirnya.
Setelah ponsel terbuka, aku bergegas membuka aplikasi hijau berlogo telefon tersebut.
Tampak balok chat bersama ibu ada di urutan nomer satu.
Ku baca satu per satu semua pesannya, selalu saja berhubungan dengan meminta transferan.
Hingga puncaknya kemarin malam, satu kalimat chat dari ibu membuatku membelalakkan mata.
[Cepat transfer ke rekening sekarang, seperti janjimu kemarin 'kan, Ky?]
Pesan itu dikirim kemarin malam sekitar pukul 19.00 WIB.
Terlihat balasan dari Mas Frengky membuatku mengulum senyum.
[Besok saja, Bu. Ini sudah malam, aku sedang pusing, badanku meriang]
[Oke, besok sebelum jam tujuh kamu sudah harus transfer! Ibu nggak mau rumah itu keduluan orang, kamu paham 'kan?]
[Iya]
Dan puncaknya pagi ini, Ibu terlihat tak sabaran hingga berkali-kali menghubungi Mas Frengky.
[Gimana? Apa sudah kamu transfer uangnya? Cepet sedikitlah, Ky!]
[Frengky!]
Setelahnya hanya ada panggilan suara yang tak terjawab sebanyak lima kali.
Aku tersenyum, mungkin Mas Frengky tak punya uang sebanyak itu, sehingga terus mengulur waktu untuk mentransfer ibunda tercinta.
Biasanya jika ia punya uang, tak usah menunggu lama dan ba bi bu pasti akan ditransfer.
Setelah puas membaca chat dari Ibu, jariku dengan lincah memeriksa isi ponsel Mas Frengky. Tak ada yang aneh, semua masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Aku juga membuka chat dari Gilang yang hanya berisi screenshot bukti transfer setoran Resto ke dalam rekening bank milik negara berwarna oren. Bahkan aku pun tak pernah tahu jika Mas Frengky memiliki rekening tersebut. Jumlah yang ditransfer pun tak main-main. Bahkan sehari saja minimal ia mendapatkan omset lebih dari sepuluh juta.
Lalu, ke mana larinya uang-uang tersebut?
Kebodohan dan kesibukan membuatku lengah dan kecolongan hal sebesar ini.
Kini jariku beralih ke menu m-banking. Ada tiga akun m-banking dengan jenis bank yang berbeda-beda.
Mataku menatap satu persatu menu tersebut, berusaha menerka-nerka. Saat itu aku hanya tau kode akses satu bank saja, itu pun rekening pribadinya yang digunakan untuk menyimpan uang nafkah belanja. Ya ... kalian benar, aku hanya mengetahui bahwa Mas Frengky memiliki satu rekening. Untuk yang lain, aku sama sekali tak tahu.
Ah ... siapa tahu ia menggunakan kode akses yang sama untuk semua bank.
Aku mencoba masuk ke dalam akun m-banking bank berwarna biru terlebih dahulu. Dengan membaca bismillah, aku mencoba mengetikkan kode akses yang kutau. Dan tara ....
Berhasil terbuka.
Aku bergegas mengecek saldonya, hanya ada nominal sebesar tiga juta rupiah.
Tanpa pikir panjang, segera saja kutransfer uang tersebut ke nomor rekening milikku yang sudah terdaftar dalam akun m-bankingnya.
Yes, berhasil!
Tiga juta dari satu rekeningnya kini beralih padaku.
Semangatku menjadi bertambah, aku mencoba peruntungan ke akun m-banking milik bank swasta yang kedua dengan logo depan huruf M berwarna biru.
Hampir sama menggunakan cara metode pertama, dan yes ... aku berhasil masuk.
Saldo yang berada di sana lumayan banyak, sekitar sembilan juta rupiah. Dengan cepat aku menuliskan nomor rekeningku ke daftar rekening, karena Mas Frengky belum pernah menyimpannya.
Sekali lagi ... berhasil!
Kini, dua belas juta sudah menangkring dengan aman berpindah ke dalam rekeningku.
Tinggal satu akun lagi, kali ini dari bank berwarna oren dengan semboyan milik negara.
Bismillah, semoga saja kali ini aku berhasil.
Sepertinya di dalam akun ini, jumlah uangnya pasti banyak. Mengingat tadi saat aku membaca bukti transferan dari Gilang yang berisi omset Resto semuanya ditransfer ke bank oren.
Dengan tangan sedikit gemetar, aku membuka m-banking dan memasukkan kode seperti cara tadi.
'kode yang anda masukkan salah'
'kesempatan mencoba 3x lagi'
Si@l!
Kenapa pake salah?
Aku menerka-nerka kembali, mencoba menggabungkan nama Cahaya beserta tanggal lahirnya.
Tetap saja salah!
Kesempatanku hanya tinggal dua kali lagi.
Hendak mencoba namaku dipadu dengan tanggal lahirku, terdengar suara parau Mas Frengky menggumam.
Aku bergegas menyudahi aksiku, tak ingin ketahuan, kukembalikan ponselnya ke tempat semula.
Lihat aja, Mas. Pas kamu bangun nanti pasti kamu akan kaget karena saldomu sebesar dua belas juta sudah berpindah dengan cepat ke dalam rekening milikku.
Aku pun terkekeh dalam hati, lumayan hasil dari menodong hari ini.
Aku beranjak ke luar kamar, menuju ke kamar Cahaya.
Putriku masih terlelap, hari ini aku di rumah saja. Tak ingin pergi ke mana-mana, akhir-akhir ini aku memutuskan untuk memperbanyak waktu mendampingi Cahaya. Bukan apa-apa, aku menyadari jika harta paling berharga yang kupunya ialah Cahaya. Bukan lagi miliaran rupiah, melainkan putri tercinta lah kini satu-satunya yang paling kudamba.
Aku melangkah ke dapur, ingin membuatkan segelas susu untuk Cahaya, tak lupa dengan semangkuk sereal. Rosa belum tampak, mungkin dia masih tidur. Biasanya juga jam segini dia sudah aktif mengolah bahan makanan di dapur.
Mengenal Rosa sejauh ini, sepertinya aku ingin mengetahui lebih banyak tentangnya.
Asal-usulnya, watak dan sifatnya serta semua yang berkaitan dengannya ingin kucari tahu.
Ah ... apa tak sebaiknya aku bertanya pada Gilang?
Bertemu dengannya sepertinya sesuatu yang menyenangkan.
Nanti saja lah biar kuatur pertemuan dengan Gilang, aku ingin mengorek informasi sebanyak-banyaknya tentang Rosa.
Bukankah setiap ada karyawan baru yang masuk, harus melewati Gilang terlebih dahulu mengenai profil pribadi dan skill.
Jadi kemungkinan besar Gilang tahu riwayat hidup Rosa yang dituliskan dalam lamaran kerjanya.
Kenapa juga Mas Frengky memilih membawa Rosa untuk menemaniku dan menjadi asisten di rumah ini. Kenapa bukan Riska yang sudah bekerja di Resto bertahun-tahun dan memiliki predikat karyawan loyal, bahkan berkali-kali ia menduduki bangku sebagai karyawan teladan.
Seharusnya ini menjadi teka-teki untukku, ah ... ternyata kehilangan anak mampu membuatku tampak bodoh. Benar ragaku hidup, tapi jiwaku mati. Makanya Mas Frengky dengan mudah membodohiku.
Aku bergegas membangunkan Cahaya, ku ajak gadis kecilku sarapan bersama di meja makan dengan semangkuk sereal.
Rosa belum juga keluar dari kamar, apa perempuan itu sakit?
Aku sibuk memandangi pintu kamar Rosa hingga pikiranku menerawang.
Apa benar mereka sering melakukannya di balik pintu kamar itu?
Apa benar istanaku ini telah menjadi saksi bisu kepuasan hawa nafsu yang menggebu-nggebu?
Dan apakah benar, putri kecil sekaligus darah dagingku ini tengah menjadi saksi mata perselingkuhan suamiku?
Ya Allah, Ya Tuhanku ....
Kenapa aku harus mengalami semuanya seperti ini?
Apa semua ini salahku, karena beberapa bulan belakangan ini tak memperhatikan suamiku?
Ah ... rasanya tidak!
Aku di sini korban, tidak ada satu pun yang pantas menyalahkanku.
Dan dengan alasan apa pun, perselingkuhan tetaplah salah. Tak ada satu hal pun yang membenarkan salah satu alasan pemicu terjadinya perselingkuhan.
Kriet ....
Pintu kamarku terbuka, Mas Frengky keluar dari kamar dengan wajah bantal khas bangun tidur.
Ia tersenyum ke arahku lalu beralih menatap Cahaya sembari melangkahkan kakinya ke mari.
"Ih, sarapan kok nggak ajak-ajak Ayah," katanya dengan wajah berseri-seri.
Mataku memperhatikan tubuhnya yang masih menggunakan pakaian santai, kaos oblong dan boxer bermotif minion pilihanku.
"Loh, kamu kok belum siap? Nggak ke Resto?" tanyaku.
"Aku hari ini nggak ke Resto, Sayang. Mau ketemuan sama klien yang juga teman sekolahku dulu di kota sebelah," ujarnya datar.
"Kok mendadak? Nginep?" tanyaku menyelidik.
"Harusnya sih Minggu depan, tapi ternyata launching bengkel milik temanku dimajukan. Jadi kerja sama ini harus cepet diselesaikan," jawabnya sembari menyeret kursi.
"Oh, gitu. Tapi apa hubungannya, sih, bengkel sama Resto kamu?" tanyaku sangsi.
"Iya rencananya kami mau kerja sama, setiap orang yang servis motor maupun mobil di bengkel temanku, akan mendapatkan voucher potongan harga untuk makan di Restoku. Lumayan 'kan Restoku bisa nambah pengunjung nantinya," sahutnya sambil memamerkan giginya yang putih.
"Tapi bukannya tadi kamu bilang temanmu dari luar kota? Lantas bengkelnya akan launching di mana? Di kota temenmu? Apa nggak kejauhan orang kota sebelah dikasih voucher Resto kita? Jangan ngadi-ngadi, ah, Mas!" sahutku sembari tersenyum sinis.
"Eh, anu ... gini, loh, Bun. Temenku udah punya bengkel di kotanya. Nah, launchingnya itu cabang baru. Di kota ini juga kok, malah jaraknya hanya beberapa meter dari Resto. Jadi enak 'kan, sembari kendaraannya diservis, konsumen bisa mampir isi perut ke Restoku," ujarnya dengan menopang dagu.
"Oh gitu ... terus ngapain kamu jauh-jauh ke kota sebelah? Kenapa nggak nunggu temanmu balik ke sini aja, 'kan enak deket. Bisa terjun ke lokasi juga. Kok kamu cari ribet, sih, Mas?" tanyaku seraya mengerutkan kening.
Cahaya yang melihat pembicaraanku dan Mas Frengky hanya tertunduk, asyik dengan semangkuk sereal.
"Itung-itung refreshing, lah, Bun. Masak ketemu klien di sekitar sini aja," jawabnya tampak bingung.
"Ya udah, kalau gitu aku sama Cahaya ikut. Sekalian kita jalan-jalan, di sana 'kan ada wisata baru buka, Mas. Khusus untuk keluarga, Cahaya pasti suka," ujarku dengan menampilkan wajah berseri-seri.
Mas Frengky nampak gelagapan, ia bingung hendak menjawab apa.
Ceklek ....
Kriet ....
Suara dari jarak beberapa meter itu membuatku dan Mas Frengky menoleh ke arah sumber suara.
Tampak Rosa keluar dari dalam kamar sembari membawa tas jinjing yang lumayan besar.
Pakaiannya pun tampak lebih rapi, ia mengenakan kemeja dipadu dengan celana jeans panjang dan sepatu putih. Dengan penampilan kasual seperti itu membuatnya semakin manis. Out fit yang dikenakan pun nampak seperti pakaian branded, bukan seperti pakaian yang dijual di pasaran.
Dan tunggu ... apa itu yang ia kenakan?
Kalung berliontin mata air dan gelang rantai yang tersemat di badannya tampak berkilau, bukan sekedar perhiasan biasa. Jika kuhitung dengan kadar terendah pun mungkin harganya sekitar delapan juta.
Wow ... sungguh fantastis, bukan?
Sedangkan untuk pakaian branded yang ia kenakan.
Kutaksir mungkin harganya sekitar satu juta, belum lagi sepatu dengan brand ternama juga, mungkin juga sekitar satu juta. Sedangkan dia hanya mendapatkan gaji dariku sebesar empat juta rupiah sebulan. Kerja tambahan apa lagi dia sehingga bisa membeli itu semua?
Bukannya suudzon, tapi sepertinya jika kutotal dari gaji selama beberapa bulan ia bekerja di sini mungkin tak akan cukup untuknya berbelanja semewah itu.
Rosa terlihat fresh, wajahnya tampak ceria.
"Loh, Rosa .... kamu mau ke mana?" tanyaku sembari memperhatikannya dari atas ke bawah. Sengaja aku melakukan itu untuk membuatnya jengah.
"Maaf, Mbak. Rosa mau pamit dua hari, ijin mau pulang ke desa, Bapak sakit," ujarnya dengan wajah memelas.
"Oh, kok mendadak?"
"Iya, Rosa baru dapat telefon tadi pagi. Boleh, ya, Mbak, Rosa ijin dua hari saja?" tanyanya sembari memohon.
"Oke, emang desamu di mana? Apa di sini kamu nggak punya saudara lain?" tanyaku sembari menatap matanya, mencari kebenaran di sana.
"Nggak ada, Mbak. Rosa merantau sendiri di kota ini. Orang tua dan saudara Rosa semua ada di desa."
"Oke, Mbak antar kamu, ya. Kebetulan Mas Frengky juga mau pergi, dia ada urusan bisnis sama rekannya. Jadi, Mbak sama Cahaya biar antar kamu pulang. Sekalian Mbak pengen silaturahmi dengan sanak keluargamu di sana," ujarku dengan senyuman yang manis.
"Eh, jangan, Mbak!" cegahnya ketakutan.
"Loh, kenapa?" tandasku.
"Ehm ... maksudku kasihan Mbak Nayla nyetir jauh. Nanti capek, jahitan Mbak Nayla bisa kambuh. Aku juga nggak pengen ngerepotin Mbak Nayla," ucapnya dengan nada perhatian.
"Udah nggak papa, kasihan Cahaya nanti nggak ada temennya. Dia kesepian, itung-itung buat liburanku dan Cahaya, nggak papa 'kan? Yuk, berangkat! Mbak siap-siap dulu, ya!" kataku sembari beranjak dari kursi.
Sedangkan Mas Frengky dan Rosa tampak saling berpandangan, menampilkan ekspresi yang entahlah, sulit kuartikan.
Ih ... emang enak?
*****
Jangan lupa follow dulu, ya. Biar aku makin semangat lanjutin!

Book Comment (137)

  • avatar
    NuorthetaAnnissa

    bagus ceritanya ditunggu kelanjutannya ceritanya 🤗

    17/12/2021

      0
  • avatar
    AnaDesy

    baik sekali

    31/07

      0
  • avatar
    ryapantunpakpahan

    baguss bgtttt

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters