logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Ketika itu terjadi

Selamat membaca!!
~~~
Renata masih berdiam diri didalam mobil hitam miliknya. Pa Rahman selaku supir pribadinya, hanya bisa diam menunggu Renata memberikan perintah.
Dia diam sambil memegang ponsel ditangannya dan meremas keras benda itu. Kemudian, pandangannya beralih pada buket bunga yang diberikan kepala sekolah padanya.
Dia membuang nafas pelan sebelum berbicara pada Pa Rahman.
"Antarkan aku kesana." ucapnya pelan.
Pa Rahman mengangguk karena paham dengan maksud ucapan Renata. Dia langsung menyalakan mesin dan pergi meninggalkan parkiran sekolah.
Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai ditempat yang mereka tuju. Sekali lagi Renata membuang nafas pelan dan keluar dari mobil.
Pandangannya beralih pada sebuah plang berwarna putih dengan tulisan ahli Psikoterapi, ini tampaknya bukan sebuah klink ataupun rumah sakit, dia hanya melihat plang itu tertempel di depan rumah besar yang saat ini dia tengah berdiri.
Pa Rahman langsung menekan bel kemudian, tak lama muncul seorang wanita dan dia mempersilahkan untuk masuk.
"Saya akan menjemput anda begitu selesai." ucap Pa Rahman
Renata hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan dari kata yang diucapkan oleh supir pribadinya.
Dia langsung masuk kedalam ditemani oleh wanita yang sebelumnya membukakan pintu. Dia terus berjalan mengikutin wanita tersebut, hingga tibalah dia sebuah ruangan yang terdapat di dalam rumah yang sebelumnya dia masuki.
Dia masih diam berdiri didepan pintu, tak lama seorang wanita paruh baya berbalut stelan jas dokter menghampiri dirinya.
Mungkin usianya hampir sama dengan usia ibuku. Itulah pandangan pertama yang dipikirkan oleh Renata.
"Masuklah, orang tuamu sudah menghubungiku."
Renata hanya mampu diam tanpa bersuara, bahkan tak ada ekspresi apapun yang dia tunjukan pada wanita paruh baya dihadapannya ini.
Dia duduk di satu kursi yang menghadap kearah meja dimana wanita paruh baya itu juga ikut duduk didepannya.
Wanita itu membuka berkas dan membacanya sebentar, kemudian padangannya beralih pada Renata, dia tersenyum saat gadis yang tengah dihadapannya ini hanya menatap dirinya tanpa ekapresi apapun.
"Sebelum masuk kedalam sesi, apa boleh kita berkenalan dulu. Namaku Sopia."
Dia ngangguk singkat. "Renata."
Kemudian Sopia hanya tersenyum dan mengangguk.
"Pengidap dissociative identity disorder (DID)?" tanya Sopia itu masih menatap Renata.
"Ya, Itulah yang sering mereka sebut sebelumnya." jawaban yang singkat namun begitu dingin keluar dari mulut Renata.
Sopia masih menatap Renata lembut, dia berusaha membaca apa saja yang memicu gadis ini menjadi stress dan depresi.
Kemudian Sopia kembali membaca berkas yang berisi informasi tentang Renata yang sudah disiapkan oleh beberapa Psikoterapi sebelumnya.
"Disini, tertulis ada 3 kepribadian yang muncul. Kepribadian yang pertama berusia 7 tahun, dia cenderung lebih menguasai karena penyebab utama muncul-muncul kepribadian yang lain. Bukankah peristiwa itu terjadi ketika kamu umur 7 tahun?" tanya Sopia.
"Ya, kepribadian itu muncul 1 bulan setelah kejadian." Renata menjawab dengan singkat.
Itulah mengapa dirinya sangat tidak menyukai pengobatan seperti ini, dia merasa sangat lelah dan pusing jika sudah ditanya mengenai kejadian itu.
Itu adalah hal pertama yang sangat ingin dia hindari dan lupakan, setiap dia memiliki Psikoterapi baru awal pembicaraannya pasti akan seperti ini. Dia sangat tidak suka.
Bukankah menurutnya menggali apa yang sudah dia kubur akan menambah beban dan traumanya? Itu sangat tidak masuk akal.
Bisa-bisanya dia masih percaya pada orang tuanya, seharusnya tadi dia tidak pergi kesini.
Sopia menyimpulkan bahwa kepribadian ini membawa dampak yang sangat buruk. Kepribadian ini yang membuat Renata terus menerus terjebak dengan situasi seperti ini, karena dia yang paling tau tentang kejadian itu dan membawa trauma pada Renata.
"Untuk kepribadian kedua, berusia sama denganmu, dia seorang pria. Kepribadian ini akan datang saat kamu mulai merasa terancam dan cenderung lebih agresif,"
"Aku sangat membenci dia." Perkataan itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Sopia langsung mengalihkan pandangannya pada Renata. Terlihat sangat jelas jika dia sangat tidak menyukai kepribadian ini.
"Apa penyebab utama kamu membencinya?" tanya Sopia pelan berusaha untuk membuat Renata lebih tenang dan tidak terpancing.
"Karena dia, hidupku selalu seperti di neraka, aku muak harus selalu menahan diri untuk tidak membuatnya keluar saat aku melakukan kesalahan. Dia juga yang membuatku hampir menghajar seseorang hanya karena dia menabrakku. Aku benci."
Sorot mata Renata mulai memerah menahan emosi. Sopia jelas paham betul, dia sudah menangani kasus serupa yang dialami Renata, itu bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi.
Banyak rasa sakit yang harus diterima saat tubuh lain berebut untuk mengambil alih dari tubuh aslinya.
"Tenangkan dirimu, aku sudah paham apa yang kamu rasakan." Sopia mengelus tangan Renata pelan, berusaha membuat gadis ini tenang, sesi konseling masih panjang dan dia tidak ingin semuanya menjadi berantakan.
Setelah beberapa menit Renata mulai bisa mengendalikan emosinya. "Maaf aku terlalu berlebihan."
Sopia terseyum lembut. "Tidak apa-apa itu hal yang wajar, apa bisa kita lanjutkan?"
Renta mengangguk dan membenarkan posisi duduknya.
"Dan ini kepribadian terakhir yang muncul, dia berusia 17 tahun, kepribadian ini muncul saat tubuh kamu merasa tertekan dan depresi, maka kepribadian ini akan mengambil alih untuk melakukan hal diluar nalar seperti bunuh diri." jelasnya.
Renata diam tak bersuara, dia hanya memainkan jari telunjuknya dan menekan kukunya.
Sopia jelas menyadari itu, dia kembali memegang tangan Renata agar dia tidak menekan kukunya.
"Apa kepribadian ini sering muncul?"
"Hampir setiap malam dia muncul, dia membuatku tak bisa tidur, dia selalu membuatku dalam kondisi yang tidak stabil."
Sopia mengelus pergelangan tangan yang masih terbalut dengan perban. Dia tau bahwa ini bekas dari sayatan silet, beberapa pasien sebelumnya sudah sering mengalami ini.
"Jika boleh tau, apa kamu selalu mengingat kejadian yang dilakukan kepribadianmu yang lain?"
Renata langsung menggeleng pelan. "Aku tidak ingat sama sekali yang mereka lakukan saat tubuhku diambil alih, hanya saja ada beberapa fase dimana ingatanku selalu tiba-tiba loncat dari ingatan ini keingatan lain."
"Itu sangat wajar bagi kasus ini, karena tubuh asli pasti akan merespon ingatan-ingatan yang telah dilakukan oleh kepribadian yang lain. Hanya saja ingatan itu pasti tidak akan terasa jelas dan sedikit ambigu." jelasnya.
Sopia kemudian menambahkan beberapa saran untuk Renata agar kepribadian ini tidak sering muncul.
"Hal yang sering aku lakukan pada pasienku adalah kalau kamu sedang berada dalam posisi yang sulit, disosiasi harus dilakukan untuk bisa bertahan hidup. Karena trauma bisa membunuh seseorang, dan karena trauma terjadi berulang kali pasti ada banyak memori-memori kecil yang dapat memicu kamu untuk membunuh diri kamu sendiri."
Renata mengerutkan kening karena tidak mengerti dengan ucapan yang dilontarkan Sopia. "Aku tidak mengerti."
Sopia tersenyum sambil menjawab. "Disosiasi adalah sistem adaptasi yang paling ampuh. Disini kamu bisa menggunakan pikiran kamu untuk mengadaptasi cara berfikir dan berperilaku agar kamu merasa lebih aman. Dan cobalah untuk menghindari beberapa masalah yang memicu munculnya kepribadian lain."
Pada sesi ini Renata sudah mulai paham, artinya dia harus lebih bisa mengendalikan emosi dan pikirannya. Meskipun bayangan masa lalu masih selalu menghantuinya, tapi jika dia berusaha untuk bisa menghadapi maka kepribadiannya tidak akan muncul.
Akar permasalahan kenapa kepribadiannya selalu muncul adalah karena dia selalu berusaha untuk menghindarinya, jadi kepribadian yang ada didalam tubuhnya mengira dia tidak bisa menghadapinya dan mereka tentu akan menggantikan tubuh aslinya.
"Apa sampai sini kamu mengerti? Jika ada yang mau ditanyakan boleh." tanya Sopia
"Tidak, aku sudah paham."
"Baiklah, sesi untuk hari ini kita cukupkan. Mari kita bertemu lagi minggu depan, aku harap kamu sudah bisa mengontrolnya."
Renata mengangguk paham, untuk kali ini dia benar-benar mengerti dan merasa nyaman melakukan Psikoterapi. Mungkin ini langkah yang baik untuk dirinya bisa sembuh.
Dia kemudian berdiri dan membereskan bajunya yang sedikit kusut akibat terlalu lama duduk.
"Ibu, apakah diluar ada-"
Sopia maupun Renata langsung menoleh kearah sumber suara, di depan pintu sudah berdiri seorang Pria yang masih menggunakan seragam sekolahnya.
Dia terlihat sangat terkejut dengan padangannya saat ini. Berbeda dengan Renata, dia hanya menatap datar Pria itu.
"Aku pergi dulu." pamit Renata.
"Ohh iya silahkan."
Setelah mengucapkan itu Renata lantas pergi dan melewati pria yang masih berdiri didepan pintu.
"Ada apa?" tanya Sopia pada anak laki-lakinya yang bernama Anggasta.
"Apa dia Pasien ibu?" tanyanya kaget.
Sopia mengangguk singkat dan tersenyum. "Dia sangat cantik bukan? Tunggu!! seragam yang dia pakai sama sepertimu. Apa kebetulan dia temanmu?" tanya Sopia kaget.
"Bukan. Dia berada dikelas yang berbeda denganku, hanya saja aku mengenalinya. Jika boleh tau apa dia punya penyakit?"
"Ibu tidak bisa memberikan informasi pasien Ibu kepada siapapun termasuk kamu."
Sopia lantas pergi meninggalkan Anggasta yang masih bengong didepan pintu. "Padahal aku sungguh ingin tau."
~~~
Gangguan kepribadian ganda yang kini lebih sering dikenal dissociative identity disorder (DID).
Perubahan nama ini merefleksikan bahwa bukan hanya kepribadian yang berubah. Ingatan, kelakuan, kebiasaan, dan umur identitas.
Syndrome ini disebabkan oleh pengalaman traumatis yang terjadi selama berulang-ulang.
***

Book Comment (138)

  • avatar
    SariLinda

    bagus banget ini

    03/08

      0
  • avatar
    WijayaAngga

    Bagus ka, ada lanjutannya ga? atau cerita yang 11 12 ma ini bagus banget soalnya

    23/07

      0
  • avatar
    Abima aKeynan

    bgs

    11/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters