logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

part 13

Hari ini adalah awal baru bagiku. Di sini lah aku sekarang. Murid smpn 10. Mengenakan seragam biru putih. Aku telah sah sebagai siswa di sini. Aku bersyukur sekali karena Dina pun ternyata satu kelas dengan ku.
Kami berangkat menggunakan sepeda. Mengayuh beriringan karena jalan kampung memang masih sepi dari kendaraan besar. Hanya ada motor, becak dan beberapa mobil yang lalu lalang.
Masuk ke dalam kelas, kini aku dan Dina sebangku lagi. Bedanya teman kami bertambah dua orang. Rana dan Rani. Dua orang kembar yang kebetulan hidup lebih beruntung dari kami karena memiliki keluarga yang berkecukupan. Mereka masuk ke sekolah ini karena memang nun mereka kalah jauh dengan anak lain di smpn mana pun. Ku dengar bisa masuk negeri pun karena orang tuanya membeli kursi di sekolah ini.
Itu memang tindakan tak terpuji. Tapi apalah daya jika uang sudah berkuasa. Dua anak ini sangat cantik sebenarnya. Hanya saja, terlalu malas untuk mengerti dan mengikuti pelajaran.
Mereka lebih suka menari. Ku rasa akan lebih baik jika mereka sekolah di tempat khusus tari saja. Tapi ya entahlah!
Kami berkenalan saat tak sengaja berada satu regu di dalam MOS. Kebetulan, satu regu berjumlah 10 orang. Dan kami adalah bagian dari 10 orang itu.
Anaknya cukup baik. Tidak sombong. Bahkan terkesan cuek dan ceplas-ceplos. Meskipun tak bermulut pedas. Aku dan Dina sangat menikmati pertemanan dengan dua anak kembar ini.
"Tan. Hari ini masih perkenalan sama lingkungan sekolah kan?"tanya Rani padaku.
"Iya. Cuma ganti pembimbing aja. Semoga ngga dapet pembimbing galak aja hari ini"ucapku pada Rani yang langsung di amini nya.
Pengenalan lingkungan sekolah memang cukup melelahkan. Bagaimana tidak. Kami harus melakukan serangkaian kegiatan bersama kakak senior selama seharian penuh. Belum lagi terkadang ada saja ulah kakak senior yang membuat salah satu dari kami semua di hukum.
Bahkan kemarin sampai ada dua siswi yang pingsan saking takutnya pada senior. Untung saja aku tak pernah sampai di hukum. Dan semoga jangan sampai.
Hari-hari pengenalan lingkungan sekolah sangat melelahkan sekali. Terkadang, aku sampai demam karena saking lelahnya. Biasanya aku akan langsung tidur setelah maghrib jika sudah mulai meriang. Dan hanya Sandi yang peduli tentang itu. Sedangkan ibu, akan tetap seperti biasa.
Saat pulang sekolah hari ini, aku melihat pak Dirman di depan gerbang sekolah ku.
"Pak dhe. Ngapain di sini?"tanya ku heran melihat nya.
"Oalah kamu ndok. Ini jemput anak pak dhe. Kamu sekolah disini juga?"tanya pak Dirman heran.
"Iya pak dhe. Alhamdulillah"ucapku di sertai ucapan syukur.
"Tapi kan sini terlalu jauh kalau dari rumah mu ndok"ucap nya lagi.
"Ngga papa pak dhe. Yang penting Tania bisa sekolah"jawabku lagi.
"Iya. Alhamdulillah kalau begitu. Berati ayah mu masih ingin terus memberikan yang terbaik untuk mu ndok"ucap pak Dirman lagi.
Aku hanya mengangguk mendengar ucapan beliau. Tak berapa lama, seorang anak laki-laki keluar dan segera mendekati pak Dirman. Dari pak Dirman lah aku tahi bahwa itu adalah anaknya satu-satu nya yang bernama Akbar. Dia adalah kakak kelas ku.
Akbar anak pak Dirman kelas 8, sedangkan aku kelas 7. Aku berpamitan ketika ku lihat Dina sudah selesai dengan urusan nya di ruang guru tadi.
Di tengah kami sedang mengayuh sepeda, Dina bertanya padaku.
"Tan. Itu tadi bukanya kakak kelas kita ya?"
"Iya. Namanya mas Akbar. Dia anak pak dhe Dirman. Mantan sopir bu Joko yang dulu sering aku ceritakan itu"jelas ku pada Dina.
"Ouw. Ganteng ya anaknya"celetuk Dina kemudian.
"Sekolah yang bener. Baru juga kemarin pake baju smp. Masak udah mau taksir-taksiran"ejek ku pada Dina.
"Ach kamu Tan! Ini bukan taksir-taksiran tahu. Hanya kagum saja. Masak iya ngga boleh!"jawab Dina sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku yang melihat tingkah konyolnya itu hanya mampu tersenyum saja. Memang dasar teman ku yang satu ini. Dia dewasa terlalu cepat.
◇◇◇◇
Aku masuk ke dalam rumah dengan lesu saking panas nya hari ini. Ku lihat ibu sudah berada di dalam kamarnya untuk tidur. Aku masuk ke dalam kamar ku dan segera berganti baju. Setelahnya ku rebahkan tubuh ini di atas dipan reot ku.
Tak berapa lama, ku dengar suara dari luar. Saat ku intip dari balik jendela, ku lihat pak Bambang ayahnya Dina yang datang. Aku langsung menuju kamar ibu.
"Bu. Ada pak Bambang di depan"ucapku pelan membangun kan ibu.
Ibu berdecak kesal namun tetap bangun juga dari pembaringanya. Ku lihat pak Bambang sekilas. Seperti nya beliau sedikit panik.
Ibu menemui pak Bambang di teras depan sementara aku hanya menguping dari balik pintu kamar ku. Ku dengar ibu pun kaget mendengar kabar yang di bawa pak Bambang. Saat ibu masuk, aku segera mendekatinya dengan perlahan.
"Ada apa bu? Kenapa ibu panik"tanya ku pelan takut-takut.
"Ayah mu masuk rumah sakit. Kelelahan bekerja. Ibu mau menjemput ke sana"ucap ibu sambil merapikan baju ke dalam tas nya.
"Apa? Ayah sakit bu!"ucap ku kaget.
Seketika ibu berbalik. Memandang ku penuh kebencian yang tak pernah bisa ku artikan kebencian seperti apa.
"Iya. Dan itu salahmu. Kalau saja kamu tidak minta melanjutkan sekolahmu itu. Ayah mu tidak akan bekerja keras sampai lupa diri nya sendiri. Harusnya kamu sadar itu"ucap ibu ku dan setelahnya melanjutkan kegiatan nya.
Aku sangat terkejut mendengar ucapan ibu tadi. Apakah benar ayah sakit karena aku. Apakah sebenarnya ayah keberatan membiayai sekolah ku. Tapi kenapa ayah tak pernah memberi tahu ku.
"Aku ikut ya bu!"pinta ku pada ibu sedikit takut.
"Ngga. Di rumah kamu sudah banyak merepotkan. Jangan sampai kamu makin buat repot hidupku! Sudah. Kamu di rumah. Urus Sandi. Ayah akan ku bawa pulang kalau sudah keluar dari rumah sakit"ucap ibu tanpa memperhatikan ku.
Aku hanya diam. Tak berani membantah ibu. Ibu langsung berjalan keluar. Pak Bambang sepertinya akan mengantar ibu pada ayah. Aku hanya mampu melihat dari dalam rumah tanpa berani sekedar menemui pak Bambang dan menanyakan kabar ayah.
Air mata sudah ada di pelupuk mata. Hanya menunggu untuk jatuh saja. Ibu dan pak Bambang sudah tak nampak. Ku tutup pintu rumah dan segera berlari ke dalam kamar. Ku habiskan tangis ku di sana.
Aku bingung. Sedih juga kecewa karena tak bisa menemani ayah di sana. Tak berapa lama, ku dengar ucapan salam dari Sandi adik ku. Ku jawab lirih salam nya. Dia terkejut ketika mendapati aku menangis di dalam kamar.
"Mbak kenapa?"tanya nya pada ku.
Terlihat gurat kecemasan di wajahnya. Ah! Andai saja ibu yang cemas melihat ku menangis. Pasti akan sangat membahagia kan sekali.
"Ayah sakit dek. Sekarang ada di rumah sakit. Ibu baru saja berangkat menyusul ke kota"jelas ku pelan pada nya masih sambil menangis sesenggukan.
"Apa? Ayah sakit apa mbak?"tanya Sandi tak kalah kagetnya dengan ku tadi.
"Mbak ngga tahu San. Ibu tadi buru-buru. Mbak mau ikut sama ibu ngga boleh"terang ku.
"Sabar ya mbak. Besok Sandi akan pinjamkan hp Rino untuk cari tahu keadaan ayah. Mbak jangan sedih lagi ya!"ucapnya menenangkan ku.
Aku yang mendengar usaha Sandi untuk ku itu, malah semakin kencang menangis. Sandi menepuk-nepuk bahu ku agar aku tenang. Ya ampun! Begini kah rasanya tak hidup sendirian. Ternyata adik ku sangat memperdulikan aku. Mbak nya.
Aku baru sedikit tenang setelah Sandi memberiku air minum. Setelahnya, kami pun seperti biasa melakukan aktifitas. Karena ibu pergi terburu-buru, sehingga rumah pun belum di bersihkan sore ini. Aku dan Sandi saling bantu membersihkan rumah.
Ketika hari sudah mulai sore, kami bahu-membahu membuat makanan untuk malam hari. Setelahnya mandi bergantian dan segera makan malam.
Saat malam tiba, rumah terasa begitu sunyi. Tanpa omelan ibu, dan juga hardikanya. Sandi tidur di kursi sambil melihat acara tv, sedangkan aku duduk di teras seorang diri.
Aku gelisah. Bagaimana keadaan ayah sekarang. Aku juga terpikirkan perkataan ibu. Benarkah ini semua karena ku. Apakah ayah sebenarnya keberatan dengan sekolah ku. Tapi kenapa ayah tidak berkata apa adanya saja. Toh aku tidak akan menuntut jika ayah berkata tidak sanggup. Dan masih banyak lagi pertanyaan dalam pikiran ku yang ingin ku tanyakan pada ayah.
Ku tatap bulan di hadapan. Ingin ku utarakan saja semua keluh kesah ini semuanya. Tapi aku seperti bicara pada angin kosong saja. Aku baru masuk rumah ketika jalanan sudah mulai lengang. Ku tutup dan ku kunci pintu, dan aku pun menuju pembaringan ketika ku lihat Sandi masih terjaga.
Namun di dalam kamar pun, rasanya sulit sekali mata ini terpejam. Bahkan kepala semakin berat saja ku rasa. Hingga entah bagaimana, aku pun terlelap dan terbuai dalam mimpi.
◇◇◇◇◇
Kumandang adzan subuh ku dengar dengan jelas. Segera aku bangun dan mempersiaplan sarapan pagi untuk aku dan Sandi. Untung ibu selalu menyediakan telur untuk Sandi, meskipun jarang sekali beliau membuatkan nya untuk ku.
Ku masak nasi di kuali seperti yang biasa ibu lakukan. Ku lihat Sandi keluar dari kamarnya dan langsung menuju ke arah ku.
"Mbak sudah bangun! Baru aja mau tak bangunin"ucapnya seraya menguap.
"Mbak sudah bangun. Kamu mau mandi. Itu air mbak masih panas kan"ucapku.
"Aku pakek air dingin aja mbak nanti. Tak ngisi air bak mandi dulu. Mbak masak apa pagi ini?"tanya nya lagi.
"Mbag masak telur ceplok buat sarapan. Buat nanti siang, mbag akan masakan sayuran yang ada saja"jelas ku.
"Ada yang mau ku bantu mbak?"tanya nya celingukan karena memang dia bukan anak yang terbiasa masuk ke dapur untuk bantu-bantu.
"Ngga usah. Kamu isi bak mandi saja. Setelahnya mandilah! Nanti kamu terlambat. Mbak hari ini masuk siang karena hanya perkenalan lingkungan sekolah saja"ucapku kemudian.
Sandi pun mengangguk dan segera mengerjakan yang ku katakan. Sebenarnya, hari ini aku berencana untuk tak masuk sekolah saja. Aku cemas dengan keadaan ayah. Aku ingin ke tempat bik Marti'ah saja untuk meminjam hp nya. Biarlah aku bolos sehari karena memang absensi masih belum terbentuk hingga 2 hari ke depan.
Sandi selesai sarapan dan pamit padaku untuk berangkat. Ku tanya apakah uang sakunya masih ada, lalu ku berikan lembaran uang 5 ribuan seperti yang biasa ibu lakukan. Dia menerima nya dan segera berangkat setelah berterima kasih padaku.
Aku tahu ibu tidak pernah memberikan jatah mingguan untuk Sandi. Ibu akan selalu memberikan kapan pun Sandi butuh. Beda dengan ku yang mendapatkan jatah dari ayah. Itulah kenapa aku lebih senang mengisi liburan ku dengan mencari upah walau hanya sekedarnya saja.
Sepeninggal Sandi pergi sekolah, aku segera pergi ke tukang sayur yang ada di ujung gang. Ibu sepertinya belum belanja sehingga sayurnya pun tak twrsedia. Aku membeli seikat sawi dan sepapan tempe. Ku kira itu akan cukup untuk kami hingga malam.
Aku pulang dan segera memasaknya. Aku sudah biasa memasak karena seringnya membantu ibu di dapur. Aku selalu memperhatikan apapun yang ibu kerjakan saat memasak. Jadilah aku seperti ini. Pandai memasak.
Saat masakan sudah selesai, aku mandi dan hendak pergi ke tempat bik Marti'ah. Namun aku terduduk di kursi ruang tamu.
"Apakah nanti ibu tidak akan marah jika aku menelponya dan bertanya keadaan ayah? Di rumah saja, ibu tak pernah bisa bicara halus padaku. Kalau begitu, biar bik Marti'ah saja yang telpon. Tapi tunggu dulu! Ibu pasti makin marah jika kabar sakitnya ayah bukan dari beliau langsung"dialog ku pada diri ku sendiri.
Akhirnya, ku urungkan niatku untuk mencari tahu kondisi ayah. Biarlah ku tunggu Sandi pulang dan ku tanyakan ucapan nya kemarin.
◇◇◇◇◇
Sandi terlihat dari kejauhan. Aku sudah duduk di teras menunggunya. Seperinya pun dia tahu jika ku tunggu kedatanganya. Karena biasanya jam segini, dia belum juga sampai di rumah.
Sandi memarkirkan sepedanya dan segera duduk di sampingku. Sepertinya dia tahu apa yang ku nantikan dari kehadiran nya.
"Mbak. Ayah kena typus. Jadi mungkin seminggu di rawat di rumah sakit. Tadi ibu juga bilang kalau biaya rumah sakit di tanggung sama pak mandor. Jadi kita tidak repot bayar rumah sakit. Setelahnya ayah akan di beri waktu untuk libur seminggu. Jadi setelah dokter bilang boleh pulang, ibu akan bawa ayah pulang ke rumah"jelas nya padaku.
"Lalu kondisi ayah sekarang gimana dek?"tanya ku yang kurang puas.
"Ayah baik-baik saja. Sekarang dalam perawatan dokter. Ibu tadi bilang jangan khawatir"ucapnya.
Sedikit lega mendengar kabar ayah dari Sandi. Walaupun tak dapat memandang dan menemani nya secara langsung. Paling tidak, alu sudah tahu kondisi ayah yang jauh di sana.
"Sudah mbak jangan terlalu cemas! Ayah pasti segera sehat dan segera pulang. Hari ini mbak bolos kan?"tanya Sandi.
Aku tak mampu menjawab. Hanya mampu menundukan kepala ku karena malu menjadi panutan yang buruk untuk adik ku. Tapi, darimana juga dia tahu?
"Tadi aku ketemu mbak Dina di jalan saat berangkat. Mbak Dina berangkat sekolah pagi. Dan Sandi lihat dia menunggu mbak. Jadi Sandi samperin terus bilang kalau mbak ngga masuk hari ini karena nunggu kabar ayah di rumah sakit di kota. Jadilah tadi aku dan mbak Dina berangkat sama-sama. Sekarang mbak sudah tahu kondisi ayah baik-baik saja. Besok mbak jangan bolos lagi! Kasihan ayah kalau sampek tahu. Sandi mau masuk dulu ganti baju. Abis itu main"ucapnya setelah itu dan berlalu.
Aku hanya mematung mendengar petuah adik ku yang baru kelas 3 SD tapi sudah mampu lebih dewasa. Dan aku hanya mampu menunduk mendengar kan karena kebodohan yang ku buat sendiri karena mengambil keputusan yang salah.
Ku susul Sandi masuk ke dalam rumah dan segera ku siapkan makan siang nya. Setelah makan, dia berlalu untuk bermain dengan teman nya di lapangan.
♤♤♤♤♤♤♤♤

Book Comment (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    16d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters