logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Satu Buket Bunga

Erin memperhatikan sekeliling dengan pandangan berbinar cerah. Tempat yang mereka datangi begitu jauh dan juga begitu indah. Dia tidak menyangka jika Hansel akan membawanya menuju sebuah danau.
Kini mereka duduk di salah satu meja pelanggan, situasi yang normal di tempat yang jauh. Pesanan makanan datang sesuai keinginan dan mereka menikmati waktu untuk duduk di sana sampai hari beranjak sore.
"Aku terlambat kembali ke kantor," keluh Erin.
Hansel terkekeh. "Saat kita sudah begitu jauh, Kau masih memikirkan tentang pekerjaan. Ke mana lagi aku harus membawamu agar tidak lagi memikirkannya?"
"Kau harus menanggung semua kerugian perusahaanmu karena telah mengizinkan aku untuk berlibur sejenak." Erin menyandarkan punggungnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas, memandangi langit yang mulai berubah kemerahan. "Sangat indah ketika melihat burung di langit itu terbang dengan bebas."
Cukup lama Erin mempertahankan posisinya sebelum kembali duduk dengan normal. Pada saat itu juga dia terkejut mendapati satu buket bunga tergeletak di hadapan.
"Hansel ...." Erin menutup mulutnya, masih dalam keadaan tidak percaya.
Hansel menipiskan bibir dan pandangan matanya menghangat. "Untukmu. Aku harap Kau menyukainya."
Erin meraih buket tersebut dan membaui bunga merah yang tampak segar dengan rasa takjub. Hal yang istimewa dari seseorang yang istimewa, dia selalu menikmati harinya jika sudah bersama Hansel. Pria itu pandai menyenangkan dirinya dengan berbagai macam cara.
"Aku mencintaimu," ucap Erin dengan tulus, menyentuh tangan suaminya di atas meja.
Usai saling memandangi dengan penuh rasa cinta, mereka kembali ke pusat kota. Sampai di apartemen sudah beranjak gelap, waktu di mana orang-orang sibuk menyelesaikan kehidupan hari ini bersama keluarga.
Tidak berbeda dengan pasangan yang memupuk hubungan mereka, memadu kasih sayang menjadi ikatan yang lebih sempurna. Erin dan Hansel masih belum puas tampaknya dengan rencana kabur mereka dari perusahaan untuk melaksanakan kencan romantis mendadak.
Rambut panjang Erin setengah basah ketika berbaring di ranjang, kulitnya lembap karena baru selesai dibasuh air, kedua mata tampak meleleh seperti madu. Hawa di sekitarnya terasa panas, memicu rona kemerahan di wajah. Sementara napasnya tersengal akibat ciuman panas mereka.
Erin tampak malu saat baju tidurnya diturunkan, memperlihatkan kedua bahu. Dia semakin tidak kuasa melihat dada bidang Hansel yang menutupi tubuhnya, ditambah tatapan mata yang begitu teduh saat bersamanya, tetapi begitu tajam jika berhadapan dengan orang lain.
"Kau harus melakukannya dengan lembut, karena aku masih harus bekerja besok," pinta Erin.
Hansel menekuk satu lutut istrinya ke atas dan berkata, "Aku akan melakukannya perlahan. Katakan padaku jika itu menyakitimu."
Erin menganggukkan kepala. Dia meremas bantal dengan kuat, lalu mulai menjerit. Perasaan menyenangkan sekaligus menyakitkan ini selalu membuat dia berada dalam dilema. Di satu sisi ingin menolak, tetapi di sisi lain sangat menginginkannya.
***
Erin membuka kedua mata setelah beberapa saat mengambil waktu untuk beristirahat. Dia memperhatikan jemari yang menggenggam tangannya. Mereka saling bergenggaman, begitu pula dengan cincin pernikahan yang selalu tersemat di jari manis masing-masing.
"Kau sudah tidur?" Erin bertanya karena penasaran.
"Belum. Kau tidak mengantuk?"
"Tidak. Aku memikirkan pekerjaanku."
Hansel yang tadinya memejamkan mata langsung memelotot. "Bahkan aku sudah membawamu pergi begitu jauh malam ini, tapi pekerjaanmu tetap saja menghantui."
Erin tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya. Dia berlindung di pelukan Hansel sambil menatap wajah sang suami yang terlihat jengkel akibat sikapnya.
"Aku hanya memikirkanmu ketika Kau membawaku pergi begitu jauh."
"Entahlah. Aku seharusnya bersaing dengan manusia, bukan dengan pekerjaanmu."
Erin terdiam, tidak menyangka jika suaminya akan berkata demikian. Terang saja seorang pria masa lalunya mencoba untuk mendapatkannya kembali. Dia belum mengatakan apa-apa soal Calvin karena takut akan terjadi masalah besar.
"Hansel, bolehkah aku bertanya?"
"Apa itu?"
"Jika seseorang datang dan menyatakan perasaannya padaku, bagaimana tanggapanmu?"
"Aku akan menganggap mereka sebagai penggemarmu."
"Kenapa begitu?"
"Apa aku harus menjelaskannya lagi?"—Hansel tertawa—"Karena kita saling mencintai, maka keberadaan orang lain tidak akan berpengaruh pada hubungan kita."
"Apa jawabanmu masih sama jika mereka tetap menyukaiku meski aku sendiri sudah bersuami?"
"Ya. Jika mereka tetap menyukaimu meski Kau sendiri sudah bersuami. Karena bagiku, mereka adalah manusia yang memiliki perasaan. Aku cukup senang karena ternyata istriku sangat disukai."
Erin berekspresi muram. Dia tidak mengira jika jawabannya akan sedangkal itu. Bagi Hansel begitu, tetapi baginya justru seperti tidak ada usaha untuk membuat dia tetap tinggal. Suatu saat bisa saja Hansel menginginkan untuk berpisah darinya.
"Tapi jika mereka melakukan sesuatu yang lebih dari menyukai, maka itu tidak akan dimaafkan," ucap Hansel kembali.
"Seperti?"
"Seperti membuat hubungan kita menjadi buruk dengan kehadiran mereka. Bukankah itu disebut sebagai perusak rumah tangga?"
"Tapi Kau tidak menolak jika mereka suka padaku, sedangkan hal buruk seperti keretakan hubungan bisa diatasi dengan mencegah perasaan itu sebelum terlambat." Erin bersungut-sungut, tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.
"Aku tidak tahu kalau pembicaraan kita akan menjadi hal serius untukmu. Maafkan aku. Tapi satu hal yang harus Kau tahu bahwa aku tidak akan membiarkan orang lain merebutmu dariku. Bisakah Kau mengerti?"
"Aku mengerti."
Erin bangkit untuk meraih baju tidur yang teronggok di lantai dan mengenakannya dalam gerakan singkat.
"Ke mana Kau akan pergi?" tanya Hansel, sejak tadi memperhatikan.
"Kamar mandi. Aku ingin buang air kecil." Setelah berkata, Erin melesat dengan cepat.
Tadinya Hansel ingin tidur saja, akan tetapi suara ponsel membuat dia harus mendudukkan diri. Dia melihat sebuah pesan masuk yang dikirim dari nomor yang tidak tersimpan.
"Kenapa di zaman sekarang ada banyak sekali pesan masuk dari nomor tidak dikenal? Apa mereka tidak tahu kalau itu sangat mengganggu?"
Hansel meletakkan ponsel kembali, lalu bergeser ke tempatnya. Pada saat yang sama, Erin keluar pula dari kamar mandi dan naik ke ranjang untuk berbaring di posisi semula. Di sana sang suami sudah menanti agar Erin masuk ke dalam pelukan.
"Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Apa Kau ingat kejadian di dalam lift saat bersama pemagang baru? Dia berbicara akrab padamu saat memberikan anting yang jatuh."
Erin menelan air ludah dengan kasar. "Y—ya. Aku hampir melupakannya."
"Apa Kalian pernah saling mengenal sebelumnya?"
Erin menggeragap, bingung bagaimana dia harus bersikap. Dia takut jikalau nanti Hansel marah karena dia bekerja dengan mantan kekasihnya. Di sisi lain, dia tidak bisa menyembunyikan fakta yang akan tercium juga pada akhirnya.
"Ha—hansel, sebenarnya ... kami—"
Dering ponsel yang begitu panjang membuat Erin segera melihat siapa yang menelepon. Di layar tampak sebuah nomor tidak dikenal dan itu membuat dia ragu untuk menerimanya.
"Siapa?" tanya Hansel.
"Entahlah. Aku tidak tahu siapa."
Hansel melihat nomor yang serupa dengan pengirim pesan tadi. Dia segera meraih ponsel itu dan menerima panggilan telepon.
"Erin! Kenapa sulit sekali menghubungimu? Kau juga mengabaikan pesanku!"

Book Comment (113)

  • avatar
    BilqisAqila

    Hansel tersenyum jahil dan hal itu membuat Erin semakin naik saja hasratnya. senyuman yang selalu menawan hati dan memaksanya untuk merelakan diri tenggelam dalam mata terpejam, melanjutkan ciuman mereka yang sempat berhenti dengan gairah membara.. dari bait inilah saya senyum dan tertawa sendiri saat membaca

    16/07/2022

      0
  • avatar
    16serli

    bagus thor ceritanya sangat menarik

    26/06/2022

      0
  • avatar
    SyifaAskiya

    aplikasinya bagusss banget aku suka semoga barokah bagi ku

    06/04/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters