logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Satu Senyuman

Erin tidak menolak ketika mereka berangsur menaiki tangga. Baginya berada di dekat Hansel selalu nyaman, begitu pula dengan perlakuan yang dia terima. Hanya saja, hari ini terasa berbeda untuk dirinya sendiri karena ada sesuatu yang mengganggu pikiran sejak tadi.
Ini mengenai kejadian di dalam bus. Setelah berhadapan dengan Calvin, dia merasa kalau sesuatu yang besar akan terjadi. Sekarang dia terlihat seperti orang yang sedang berselingkuh. Hansel pasti akan sangat marah jika tahu.
Hansel membaringkan istrinya, lalu berguling ke samping sebelum menahan kepala dengan tangan. Dia memandangi wajah manusia yang baru saja pulang bekerja dan hal itu membuat dia mengembuskan napas, tidak tega jika harus berpikir egois untuk menuntaskan hasratnya.
"Apa pekerjaanmu begitu melelahkan?"
"Hm? Tentu saja. Selalu melelahkan. Aku bahkan hampir lupa rasa nyaman ketika berbaring di atas ranjang yang empuk."
Hansel membawa istrinya agar pindah berbaring di atas tubuhnya dengan cepat. Sementara Erin sempat memekik dan kini terbengong lantaran tidak mengerti dengan tindakan yang begitu tiba-tiba.
"Aku tidak ingin jika Kau juga melupakan rasanya ketika berbaring di atas tubuhku."
Erin menipiskan bibir. Sungguh alasan yang sangat menggelikan. Meskipun begitu, dia tidak turun dari sana. Justru membuat kepalanya bersandar di dada yang bidang. Di sana dia dapat mendengar detak jantung Hansel yang begitu cepat.
"Begitu nyaman," ucap Erin, memejamkan mata.
Hansel mengangkat tangannya agar dapat mengusap kepala sang istri. Untuk saat ini, dia tidak ingin membahas tentang keinginannya agar Erin berhenti bekerja dan fokus pada rumah tangga mereka saja, karena dia tahu kalau itu hanya akan membuat situasi menjadi rumit.
"Erin, Kau harus lebih memperhatikan kesehatanmu saat bekerja. Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk dirimu, tapi teruntuk semua karyawan di perusahaanku. Aku tidak akan menoleransi jika ada yang sakit karena kelelahan."
"Jadi, atasanku kini bisa memerintah di luar jam kerja?"
"Kau tahu kalau aku merintis perusahaan karena dirimu. Semua yang aku lakukan adalah untukmu. Jika Kau sakit, maka aku akan sangat khawatir dan juga merasa bersalah."
"Aku mengerti."
Erin mengangkat kepalanya ketika menyadari sesuatu. Dia juga menemukan sang suami yang menatapnya. "Apa karena itu namanya Kya Corporation? Kau mengambil namaku sebagai nama perusahaanmu?"
"Aku rasa, Kau harus menyadarinya lebih cepat."
Erin bergeser hingga wajah mereka menjadi sejajar. Dia duduk sembari memandangi suaminya yang terlihat bersungguh-sungguh saat ini.
Setelah keputusan mengecewakan, dia juga merasa bersalah atas perasaan Hansel. Sejauh ini dia berpikir belum melakukan yang terbaik untuk hubungan mereka, sedangkan Hansel selalu berusaha yang terbaik.
"Hansel, aku sangat mencintai dirimu yang seperti ini. Mudah tersenyum, begitu ramah, jujur, dan juga tulus. Bisakah Kau juga melakukan itu ketika berada di kantor? Para karyawan sangat takut jika melihatmu berjalan melewati lorong dengan raut wajah yang tidak bersahabat."
"Itu hanya akan membuat diriku terlihat mengerikan. Senyuman yang dibuat-buat, aku sungguh tidak bisa melakukannya. Berbeda jika sedang bersamamu, semua terasa sangat mudah."
Erin menarik suaminya untuk duduk bersama, lalu dia tersenyum hangat. "Lakukan seperti yang aku lakukan barusan. Kau pasti bisa!" serunya bersemangat.
"Oh, tidak! Aku tidak akan melakukannya. Wajahku akan terlihat sangat buruk."
Hansel berbaring kembali, meraih selimut untuk menutupi diri agar tidak dipaksa tersenyum. Erin sendiri keras kepala mengajari sang suami dan terus menarik selimut dengan seluruh kekuatannya meski tidak ada tanda-tanda dirinya akan menang.
"Kau hanya perlu mencobanya!"
***
Hasil dari kerja keras Erin tadi malam, suaminya harus tersenyum pada setiap orang. Tidak tahu betapa mengerikannya hari itu untuk penghuni perusahaan. Semua bertanya-tanya kesalahan apa yang telah mereka lakukan hingga harus dilemparkan sebuah senyuman.
Erin menunggu pintu lift tertutup sebelum mendesah panjang. Berdua saja di dalam sana membuat dia dapat berbicara tanpa khawatir dengan Hansel. Hal pertama yang dia lakukan adalah memutar kedua bola matanya ke atas.
"Aku tidak tahu kalau hasilnya akan sangat mengerikan."
Hansel berdeham seraya melonggarkan dasi. "Aku sudah memperingatimu mengenai hal itu."
"Tidak bisakah Kau membayangkan bahwa para karyawan adalah aku?"
Hansel mengernyitkan alis begitu dalam. "Tidak mungkin. Bahkan jika Kau memaksanya untuk menjadi mungkin, aku tetap tidak akan melakukannya. Hanya ada satu Sakya Erina di dunia ini dan tidak ada yang dapat menggantikannya."
Erin tersenyum malu, lalu berkata, "Hanya perumpamaan saja agar Kau dapat tersenyum. Kalau bukan begitu, maka tunjukkan saja gigimu. Mungkin itu akan membantumu untuk terlihat lebih baik."
Hansel begitu enggan sebenarnya untuk meneruskan kegiatan menerbitkan senyuman di wajahnya ini. Meskipun begitu, dia tetap mencoba agar Erin merasa puas.
"Seperti ini?"
Saat Hansel menunjukkan senyuman yang penuh dengan gigi, pintu lift terbuka lebar. Para karyawan termenung di tempat tanpa ada satu pun yang bergerak. Mereka bahkan tidak melanjutkan niat untuk masuk sehingga pintu lift kembali tertutup bersama raut wajah Hansel yang kembali berubah serius.
"Kau dalam masalah besar, Erin. Para karyawan akan menganggap atasan mereka sebagai orang aneh akibat tindakanmu." Hansel berkata dengan geram, lalu menoleh ke belakang.
Di sudut lift, Erin sudah setengah mati menahan tawa. Hanya dia satu-satunya orang yang paham akan situasi, menjadi penonton akan reaksi setiap orang. Begitu menggelikan, daripada mengerikan.
"Berhenti tertawa."
"Su—lit." Erin masih tertawa geli. "Baiklah, aku tidak, tidak akan tertawa," ucapnya, lalu tertawa kembali.
Pintu lift terbuka, memperlihatkan seorang pria yang berhasil membuat tawa Erin lenyap. Calvin memberi hormat pada atasannya sebelum menempatkan diri di sudut lain yang ada di belakang.
Selagi menunggu, perhatian Calvin teralih pada sebuah benda yang ada di lantai. Dia memungutnya, lalu menunjukkannya pada Erin. "Apa anting ini milik Ketua Tim?"
Erin yang tidak berharap ada komunikasi di antara mereka pun harus berbicara juga pada akhirnya, "Oh, sepertinya aku menjatuhkannya. Terima kasih."
Calvin menganggukkan kepala sambil tersenyum. Dia menatap lurus ke depan untuk beberapa saat. Namun, suara gerakan dari arah keberadaan Erin yang terus-menerus membuat dia menolehkan kepala. Wanita itu tampak kepayahan saat mengenakan anting kembali.
"Apa Ketua Tim dapat melakukannya seorang diri?"
"Ah, ya ... jangan pedulikan aku. Aku dapat—"
Sekali lagi anting itu terjatuh, membuat seseorang harus mengambilnya kembali. Namun, Erin tidak dapat melakukannya karena sekarang mengenakan rok sebagai pakaian kerjanya. Dia akan kesulitan ketika berjongkok.
"Biar saya yang mengambilkannya."
Hansel sudah menahan diri sejak tadi hingga dia tidak dapat bersabar lagi dan membalikkan badan. Erin melihat kemarahan dari ekspresi wajah itu. Sementara Calvin yang mengetahui pergerakan pun mendongakkan kepala dan sekarang tubuhnya telah ditutup oleh bayangan atasannya.

Book Comment (113)

  • avatar
    BilqisAqila

    Hansel tersenyum jahil dan hal itu membuat Erin semakin naik saja hasratnya. senyuman yang selalu menawan hati dan memaksanya untuk merelakan diri tenggelam dalam mata terpejam, melanjutkan ciuman mereka yang sempat berhenti dengan gairah membara.. dari bait inilah saya senyum dan tertawa sendiri saat membaca

    16/07/2022

      0
  • avatar
    16serli

    bagus thor ceritanya sangat menarik

    26/06/2022

      0
  • avatar
    SyifaAskiya

    aplikasinya bagusss banget aku suka semoga barokah bagi ku

    06/04/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters