logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 9 ALBERT POV | DIA TUNANGAN AXEL?

Flora berjalan di koridor kampus menuju kelas, bersama dengan Dekan yang dia temui tadi. Setelah berbincang dengan cukup, akhirnya dia memutuskan untuk membawa Flora ke dalam kelas.
Mereka sampai di depan kelas, mengetuk pintu dan membukanya. Dan keduanya di sambut hangat oleh seorang Dosen di sana, yang ternyata sedang mengajar.
“Ibu Dekan, silahkan masuk.” Dosen pria itu mempersilahkan mereka masuk, sambil mengumbar senyum lebar.
“Iya, terimakasih Pak,” ucap Sheril lalu menatap para mahasiswanya.
"Selamat pagi, hari ini kita kedatangan mahasiswi baru di kelas ini. Silahkan perkenalkan diri kamu," Ucap Dekan tersebut dan mempersilahkan Flora.
"Hai, nama saya Flora Khatarina. Kalian bisa panggil saya Flo." Dia tersenyum lebar, menatap satu per satu orang-orang di dalam kelas itu.
Tidak ada yang melirik Flora sedikitpun, setelah mereka melihat bagaimana penampilan gadis itu. Cupu dan jelek.
“Baik kalau begitu. Silahkan Flora.” Ibu Dekan mempersilahkan Flora untuk duduk di kursi yang kosong.
“Terimakasih Bu Sheril,” jawab Flo, lalu dia berjalan ke arah barisan kursi.
“Silahkan dilanjut Pak, saya permisi ya,” katanya kepada Dosen pria itu. Lalu dia melangkah keluar kelas.
Saat Flora duduk di salah satu kursi yang kosong, seseorang menyapa dan membuat dia menoleh ke asal suara.
"Hai Flo. Kita ketemu lagi." Nela memberikan senyum lebarnya yang duduk tepat di sebelah Flora.
“Hai Nela,” jawab Flo diiringi senyum kecil, lalu dia segera duduk dan fokus ke pada Dosen yang mulai menerangkan mata kuliah.
Tak terasa kelas sudah selesai, dan hanya menyisakan tiga orang yaitu Flora, Nela serta seorang pria bertubuh tinggi dan tampan. Wajahnya terlihat sangat lembut dan teduh.
Saat Flora mengemasi barang-barang, Nela berdiri di sampingnya.
"Flo, kantin yuk." Flora tersentak kaget, dia mendongak dan menatap wajah Nela yang kini tersenyum lebar kepadanya.
"Mm, sebeEntar aku beresin ini dulu,” jawabnya lalu merapikan beberapa barang yang terletak di atas mejanya.
"Oke. O iya kenalin ini sahabat aku." Nela menarik lengan pria yang di sampingnya, meski kebingungan pria itu akhirnya mengulurkan tangan.
"David Pratama. Panggil Dave aja." Senyum mengembang di wajah Dave saat melihat Flora menyambut tangannya dengan hangat. Lalu menganggukkan kepala dan tersenyum.
"Dave tahu gak? Tadi pagi, Flora nolongin gua dari jambret. Mungkin kalau gak ada dia gak tau mau gimana lagi."
Kelopak mata Dave melebar, tepat setelah dia mendengar cerita Nela. Dia tampak syok dan terkejut.
"Hah! Lu di jambret? Dimana?"
"Di perempatan depan."
"Tapi lu gak apa-apakan?" Dave memutar-mutar badan Nela, memastikan apa ada yang terluka.
"Gua gak apa-apa Dave,” ucap Nela dengan jengah, “apa-apaan sih! Gua pusing tahu!” Nela tampak kesal.
Mendengar jawaban Nela, detik itu Dave akhirnya bernafas dengan lega.
"Gua khawatir Ne,” katanya sambil menatap Nela yang memijat kening. “by the way thanks Flo udah nolongin Nela. Tapi gimana caranya lu nolongin Nela."
Flora tersenyum kecil, dia berdiri dan membawa tasnya.
"Sama-sama. Selagi bisa, pasti aku tolongin. Dan itu hanya kebetulan aja. Oke, aku udah selesai, ke kantin yuk," ajaknya dengan senyum lebar.
Nela segera menarik tangannya untuk berjalan dengan cepat dan meninggalkan Dave.
"Buruan, gua udah laper."
"Iya-iya!" ucap Flora yang di tarik-tarik oleh Nela.
"Ehh, tungguin gua." Dave berlari kecil menyusul Nela dan Flora yang sudah berada di depan pintu kelas.
Albert POV
Seperti biasa kalau istirahat seperti ini kami bertiga pasti akan nongkrong di pojok kantin.
Ini tempat biasa kami. Dan tidak ada yang berani duduk di sini selain kami bertiga. Kalaupun ada orang lain yang duduk, itu karena kami mengijinkannya. Atau mungkin dia kenal dekat dengan kami.
Axel duduk dihadapanku dan Alex, seperti biasa, wajahnya selalu datar tanpa ekspresi.
Padahal dulu dia tidak seperti ini.
"Axel, ini makanan buat kamu dimakan ya."
Suara seseorang mengagetkan kami bertiga. Salah satu mahasiswi kampus ini yang menjadi pengagum Axel berdiri tepat di sampingnya.
"Makasih."
Meskipun cuma satu kata yang keluar dari mulutnya, itu sudah membuat mahasiswi itu pergi dengan wajah yang kegirangan.
Ini salah satu sifat Axel yang kami suka. Walau dia putra pemilik yayasan kampus ini, anak seorang pengusaha ternama, dan tampangnya yang ganteng dan di puja oleh banyak wanita, itu tidak membuat dia sombong.
Tapi omong-omong, aku juga tidak kalah ganteng dari dia.
Axel tidak pernah membangga-banggakan apa yang dia punya. Dia tetap menghargai orang yang bersikap baik padanya. Meski hanya memberikan ekspresi datarnya itu.
Banyak yang mengaguminya, tapi ada seorang cewek yang aku sebut getah nangka sebutan itu cocok untuk dia, karena dia selalu nempel dengan Axel.
Aku bingung. Dari jaman SMA gadis itu gak pernah bosan untuk ngejar Axel, biarpun selalu di tolak tapi dia gak pernah nyerah sampai sekarang.
Benar-benar pejuang sejati.
Tapi sayangnya, Axel tidak pernah mempedulikan dia. Pernah sekali aku tanya Axel kenapa tidak memberi dia kesempatan.
Jawabannya selalu sama, ‘gua gak suka cewek agresif.’
Aneh, kenapa gak suka coba? Kan, bisa-
Ok, aku tidak akan melanjutkan ucapanku, ini mengarah ke hal-hal yang sedikit tabu tapi menyenangkan.
Tapi jangan salah sangka loh ya, biarpun kami di sebut bad boy kami tidak pernah mempermainkan perasaan wanita. Mungkin, ketampanan kami yang membuat orang-orang menyebut kami seperti itu.
Sebenarnya kami bukan bad boy. Hanya saja, penampilan kami yang sedikit urakan.
Kami itu orang yang setia. Hanya setia pada satu wanita.
Contohnya aku. Sejak SMA sampai sekarang aku hanya setia pada satu wanita.
Memang bukan pacar. Aku ini jomblo akut, itu yang dikatakan Alex. Tapi apa bedanya dengan dia.
Silahkan katakan aku pecundang karena sampai sekarang aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku.
Itu karena dia, pernah menjadi kekasih sahabatku.
Dan setiap kali aku melihatnya, atau dia berada dekat, jantungku rasanya ingin keluar saja. Makanya setiap berdekatan dengannya aku selalu beradu mulut untuk menutupi kegugupanku ini.
Jika aku mengungkapkan perasaanku, aku pasti sudah terbujur kaku karena jantung lepas dari tubuhku.
Seperti saat ini, aku melihat dia. Dari jauh saja jantungku sudah lari di tempat.
Oh Tuhan, aku sungguh mencintainya.
Tapi dia bersama seorang gadis dan Dave. Dave itu sepupuku. Dan cewek itu siapa, aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.
Ya Tuhan aku sesak nafas, dia datang menghampiri kami.
O tidak!!
‘Tenang Al, jangan gugup, jangan sampai salah tingkah,’ bisikku dalam hati.
Ya Tuhan, sungguh indah ciptaanmu!
Aku memandangi dia, dan tiba-tiba ada sesuatu yang melayang tepat di wajahku. Dia melemparku dengan tissue.
"Ngapain lihat-lihat gua! Entar jatuh cinta tau rasa lu!"
‘Iya, gua udah lama jatuh cinta sama lu, gua cinta sama lu!’ tapi sayangnya kata-kata itu hanya terucap dalam hatiku.
Benar benar pengecutkan.
"Cih, PD banget lu!" Hanya itu yang bisa aku ucapkan, untuk menutupi kecanggunganku.
"Dia siapa Ne?"
Bukan aku, tapi Alex yang bertanya. Menunjuk gadis yang ada di sebelah Nela.
"Ini Flora, sahabat baru gua sama Dave."
Kami terkejut mendengar ucapan Nela. Tapi selama kami kenal Nela, belum pernah dia berteman dengan perempuan, apalagi menjadi sahabat. Hanya Dave yang selalu mengekorinya kemana-mana.
Ini aneh. Benar-benar aneh.
"Flora. Panggil Flo aja." Dia mengulurkan tangannya, dan aku sambut dengan ramah.
"Albert," ucapaku dan tersenyum. Lalu dia beralih pada Alex.
"Alexander." Dia tersenyum pada Alex, dan beralih pada Axel.
Flo mengulurkan tangannya pada Axel, tapi tiba-tiba saat Axel melihat Flo, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras seperti sedang menahan emosi. Flo juga terlihat terkejut.
Mereka kenapa sih?
Aku dan Alex hanya saling memandang. Tidak paham, dan sama sekali tidak mengerti.
Axel berdiri, dan mengepalkan tangannya lalu pergi meninggalkan kami.
"Dia kenapa?" tanya Dave.
Aku mengedikkan bahuku tanda tidak tahu.
"PMS kali!" ucapku, lalu berdiri dan menyusul Axel, “gua duluan ya,” sambungku dan berjalan meninggalkan mereka.
"Eh! Curut tungguin gua." Alex mengejarku dari belakang.
Aku dan Alex menyusul Axel, dia pergi ke arah belakang gudang kampus. Tidak banyak yang tahu tempat ini.
Kami berdua mengernyit saat melihat apa yang dilakukan Axel.
Dia menendang-nendang pohon yang ada dihadapannya sambil berteriak frustasi.
"Bro, jangan gila dulu dong. Itu pohon kasihan Entar, luka-luka gimana?'' gerakan Axel berhenti setelah menyadari kehadiran kami. Dia yang tampak marah, menatap aku dan Alex.
"Lu kenapa men? Duduk dulu dah." Alex menarik tangannya, untuk duduk di kursi panjang di bawah pohon.
"Nih pohon pasti kesakitan men,” kataku sambil mengelus-ngelus pohon itu.
Mendengar ucapanku dan melihat apa yang aku lakukan, Alex hanya berdecak dan menggelengkan kepalanya.
Aku memang seperti ini. Seperti kata Alex kalau aku agak miring. Dia fikir garis apa? Miring segala.
Aku hanya tidak ingin suasana menjadi kaku. Tapi aku ini orang yang peduli terhadap sesama. Memuji diri sesekali tidak apa-apakan?
"Kenapa pergi tiba-tiba gitu?"
"Gua males lihat cewek kampung sialan itu." Aku dan Alex mengernyit bersamaan.
"Flora maksud lu?" Alex menegakkan tubuhnya menghadap Axel.
"Iya. Cewek kampungan yang udah ngancurin hidup gua."
"Jadi itu tunangan lu?!" Kami berdua berucap bersamaan dan tersentak kaget mendengar ucapan Axel.
Yang benar saja.
Cewek itu jauh dari tipe Axel.
Bukannya bodyshaming, tapi penampilan cewek itu lucu. Rambut sebahu yang hitam pekat. Dan memakai behel berwarna biru. Dan setahuku Axel paling tidak suka dengan cewek yang pakai behel.
Pantas saja dia marah seperti ini.
"Tapi kayakknya dia cewek baik-baik Xel."
"Baik baik apanya Lex! Gua yakin dia bukan cewek baik-baik. Pasti dia punya maksud tertentu masuk dalam kehidupan keluarga gua."
"Lu tau darimana? Jangan asal nuduh." Kali ini aku yang bertanya.
"Ya kalian lihat aja. Gua samadia gak saling kenal. Apa segampang itu dia nerima pertunangan ini tanpa menolak lebih dulu?"
"Lu yakin?"
"Gua yakin Al. Dia pasti manfaatin kebaikan nyokap gua untuk tujuannya itu. Dan gua gak akan ngebiarin itu terjadi."
"Terus, rencana lu apa?" Axel berdiri dan berjalan ke depan.
"Gua akan buat dia menderita. Dan memaksa dia untuk mengatakan apa tujuan dia sebenarnya."
"Ok. Kalau lu butuh bantuan, ada kita berdua yang bersedia bantuin lu men." Dia tidak menjawab, hanya diam dan berusaha menahan emosinya.
"Tapi pesan gua cuma satu men, jangan sampai lu nyakitin dia, dia itu perempuan." Kali ini Alex menghampiri dan menepuk pundaknya.
"Lu berdua tau kan. Kalau gua paling gak suka ketenangan gua diganggu. Dia udah ganggu ketenangan hidup gua! Jadi untuk membuat dia menderita gua pasti akan nyakitin dia."
Kami berdua hanya mematung mendengar ucapan Axel. Detik itu dia berlalu meninggalkan kami.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini.
Axel yang dulu dan yang sekarang benar-benar berbeda.
•••

Book Comment (100)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Siti Mardina Musa

    baru mulai baca udah tertarik 😊

    12h

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters