logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 FLORA POV | RAGU

Flora p.o.v
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Bola mataku memandang langit-langit kamar. Ingin kupejamkan lagi mataku. Tapi tiba-tiba aku tersentak dan duduk di kasur.
Aku menoleh jam yang ada di atas nakas.
"O my God jam tujuh!" pekikku dengan histeris.
Aku terlambat bangun, pasti aku akan diceramahi Mamah dengan kecepatan seratus enam puluh kilometer per jam.
Kami memang selalu dibiasakan bangun tidur pukul 5 pagi, kata Mamah, ‘anak gadis itu gak boleh malas, anak gadis itu harus bangun pagi.’ Itu yang selalu di katakan jika aku telat bangun.
Tanpa pikir panjang aku berlari ke kamar mandi, mencuci muka dan gosok gigi.
Aku menyeka wajahku dengan handuk putih yang tergulung rapi di rak sebelah wastafel.
Aku keluar kamar.
Wah, benar-benar nyaman tempat ini.
Selesai mandi aku keluar dari kamar dan berdiri mematung di depan pintu, menikmati keindahan tempat ini.
"Kamu udah bangun?" aku tersentak kaget, mataku melebar seketika.
Itu suara Mamah. Mampus! Aku akan di omeli selama lima jam ke depan.
Aku menoleh perlahan ke sumber suara Mamah, dan tertawa cengengesan.
"Maaf Mah, abis kasurnya empuk banget, tidur Arin jadi nyenyak,” cicitku dengan pelan, sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Ku pejamkan mataku secara paksa, bersiap mendengar semburan lahar
panas.
Sudah beberapa detik aku memejamkan mata, tapi kok Mamah gak ngeluarin suara. Aku membuka sebelah mataku.
Hah, apa aku sedang bermimpi?
Mamah tersenyum??
"Ya sudah. Lagian Mamah tau kok, kamu pasti kelelahan kan?"
Aku membuka kedua mataku, kupandangi wajah Mamah, apa ini benar-benar Mamahku?
"Ck, sudah. Ayo sarapan. Ayah sudah menunggu kita."
Mamah menarik lenganku, berjalan menuju meja makan. Di sana Ayah sudah duduk manis, menunggu kami berdua.
"Tidur kamu pasti nyenyak ya?"
Pandanganku terarah pada Ayah, pria berkacamata ini tampan sekali. Aku hanya tersenyum lebar, lalu menarik sebuah kursi untuk ku duduki. Di susul oleh Mamah di sebelah Ayah.
Mamah mengolesi roti Ayah dengan selai kacang. Dan aku memakan roti tawar tanpa selai. Aku sendiri memang tidak menyukai selai rasa apapun.
"Tadi malam Tante Ambar pulang jam berapa Mah?" Aku menatap Mamah yang meletakkan roti di atas piring Ayah.
"Sekitar jam sebelas gitu."
"Lama juga ya."
"Iyalah, asal kamu tahu Rin, kalau mereka sudah ketemu, sehari itu berasa satu jam. Mereka selalu aja ngegosip. Taulah ibu-ibu gimana."
"Hahaha." Aku tertawa mendengar pernyataan Ayah, dengan ekspresinya yang sangat lucu itu.
"Apaan sih Yah! Maklumlah udah bertahun-tahun kita gak ketemu, pasti kangenkan." Mamah mendengus kesal lalu memukul kecil lengan Ayah.
"Kamu sih Rin, tidurnya cepat sekali. Tadi malam itu kita ngebahas tentang Axel. "
"Terus?" tanyaku dengan biasa saja, mereka membahas Axel, apa hubungannya denganku.
"Ya, kamu ketinggalan beritalah." Ayah menyipitkan matanya.
Aku hanya menghela nafas, tidak peduli dengan apa yang mereka bahas tadi malam.
"O iya, nanti malam jam tujuh kita ke rumah Ambar. Acara tunangan kamu jam delapan sayang."
Aku menatap Mamah, dengan tangan yang hendak memasukkan roti ke dalam mulutku. Berarti akan ada pesta, pasti banyak orang dong.
Jujur, aku paling benci tempat ramai yang banyak orang.
"Bukan pesta loh ya, hanya ada kita berlima saja." Alisku mendelik ke atas saat mendengar ucapan Ayah, dia memang sangat memahami aku.
"Axel juga sama, gak suka tempat ramai." Aku mengangguk, baguslah! Itu artinya kami memiliki kesamaan kan.
"Gaun dan sepatu ada di kamar kamu. Nanti kamu pakai itu ya."
"Iya Mah,” jawabku dengan simpul.
Eentahlah, rasanya seperti ada gejolak di hatiku. Akh! Sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Semoga Axel masih tetap seperti yang aku kenal dulu.
Selesai sarapan aku langsung ke kamar. Ku lihat gaun berwarna hitam dengan sedikit warna biru di bagian bawahnya. Gaun tanpa lengan, hanya ada satu tali di bagian pundak.
Setelah bangun tidur tadi aku tidak memperhatikannya. Tapi jujur, ini benar-benar indah sekali.
Mataku tidak berkedip melihat gaun itu. Dan sepatu berwarna biru dongker, aku bernafas lega setelah melihat sepatu itu bukan heels, tapi sepatu hak tahu.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Semoga semuanya berjalan dengan baik seperti yang diharapkan oleh Ayah dan Mamah.
Aku menghela nafas lalu memejamkan mata. Mempersiapkan hati, diri, tenaga dan pikiran untuk menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.
___

Book Comment (100)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Siti Mardina Musa

    baru mulai baca udah tertarik 😊

    20h

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters