logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 FLORA POV | MENEPATI JANJI

Flora POV
Janji adalah hutang.
Hutang harus dibayar.
Itulah pepatah yang selalu dikatakan Ayah padaku dan saat ini, aku, Ayah dan Mamah sudah tiba di bandara Soekarno Hatta.
Aku harus rela pindah kampus, dan tinggal jauh dari orang-orang yang ku sayangi demi menepati janji yang telah ku setujui dan baru kali ini aku terpisah jauh dari keluargaku.
Tapi mungkin ini juga yang terbaik, agar aku bisa melupakan semua masa lalu yang aku rasa begitu menyakitkan.
Dan aku berharap siapapun yang akan menjadi tunanganku nantinya, semoga dia orang yang baik seperti Ayah.
Kami berjalan keluar bandara, untuk mencari orang yang akan menjemput.
Tepat dihadapan kami seorang pria seumuran Ayah, berdiri dengan kertas yang ditangannya bertuliskan ‘CHRISTIAN’ itu nama Ayahku.
"Maaf, apa Bapak yang di suruh oleh Ambar untuk menjemput kami?" tanya Ayah yang sudah menghampirinya.
"Iya benar Tuan, apa anda yang bernama Tuan Christian?"
"Iya, benar pak."
"Kalau begitu mari Tuan." Pria itu tersenyum dan mepersilahkan kami untuk masuk ke dalam mobil, tepatnya mobil mewah.
Aku masih berdiri di belakang Mamah yang ingin masuk ke kursi penumpang, Sementara Ayah sudah masuk dan duduk di kursi depan.
"Sini Non, saya bawa kopernya. Ini pasti beratkan?" Aku mengalihkan pandanganku padanya dan tersenyum kecil.
"Makasih Pak."
Aku masuk ke dalam mobil menyusul Mamah. Tidak berapa lama, Pak supir sudah masuk ke dalam mobil setelah meletakkan koper ke dalam jok belakang dan duduk di kursi supir.
"Nama Bapak siapa?"
Ku dengar Ayah bertanya pada Pak Supir yang sedang menyalakan mesin dan kemudian melajukan mobil.
"Saya Deni Tuan."
"Jangan panggil saya Tuan, sepertinya kita seumuran. Panggil saya Tian."
"Saya tidak enak Tuan, Tuan tamu Nyonya besarjadi saya harus menghormati Tuan."
"Hm, tidak perlu seperti itu. Kami ini bukan orang besar, kami hanya orang biasa jadi jangan panggil saya Tuan. Kita ini sama bukan?"
"Baiklah, mungkin saya akan panggil Pak Tian saja."
"Begitu lebih baik."
Ayahku memang seperti itu, beliau orang yang rendah hati. Kami selalu di ajarkan untuk selalu sopan dan menghormati orang-orang yang lebih tua dari kami.
Ada beberapa kalimat Ayah yang membuat aku jatuh hati dengan nasihat-nasihatnya ‘semua orang itu sama. Jangan pernah memandang dan menilai orang lain dari jabatan, harta, pangkat, rupa, dan ketenaran. Kita semua itu sama. Sama-sama menumpang di dunia ini.’
Ayahku memang perfect dia yang terbaik bagiku.
"Dan dia istri saya, Margaretta, juga putri saya Flora."
Aku tersenyum pada Pak Deni yang melihat dari kaca depan.
"Panggil saja Retta."
Mamah tersenyum padanya. Dan di balas anggukan dan senyuman tulus dari pak Deni.
Banyak yang mereka bincangkan, tapi aku tidak begitu mempedulikan. Aku memilih menatap keluar jendela dengan tangan yang bersedekap di depan dada.
Menatap keindahan lampu jalanan, yang begitu menarik hatiku. Dan memikirkan hal-hal apa yang akan ku alami nantinya.
Aku tersentak kaget saat menyadari seseorang menepuk pundakku, dan ternyata itu Mamah.
"Arin, kamu kenapa sayang? Kok dari tadi diam terus? Ada apa?"
Arin adalah nama panggilanku khusus untuk keluargaku. Karena nama panjangku adalah Flora Khatarina.
Sebenarnya aku punya banyak nama panggilan.
Orang-orang memanggilku Flo, jaman SMA aku di panggil Ata. Tapi aku benci panggilan itu, siapa saja yang memanggilku dengan sebutan itu akan kupastikan wajahnya rata tidak berbentuk.
"Arin gak apa-apa Mah, aku baik-baik aja kok. Aku cuma takjub melihat pemandangan di luar untuk pertama kalinya."
Ok, aku bilang aku tidak apa-apa. Itu bohong. Karena aku sedang memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupku ke depannya. Aku merasa akan banyak luka dan air mata.
Akh, sudahlah mungkin itu hanya perasaanku saja.
"Pertama kali? Kamu sudah sering datang ke Jakarta. Kamu berbohong." Mataku melebar mendengar ucapan Ayah.
Aduh, bodoh! Memang aku sudah sering datang ke Jakarta, paling tepatnya kalau saat libur, aku ke rumah Tante. Adik kembar Mamah. Jadi tidak mungkin ini pertama kalinya aku melihat pemandangan seperti ini.
"Kalau bohong cari alasan yang tepat. Mamah tahu kamu bohong, mata kamu ga bisa bohongin Mamah."
Dengan susah payah aku menelan salivaku. Mamah tahu sekali kapan aku bohong, kapan aku jujur.
"Ceritakan ada apa? Apa kamu takut? Atau kamu menyesal dengan pertunangan ini?" Aku menatap Ayah, yang menoleh dari kursi depan, dia menatapku dengan ragu.
"Ng-ngak. Gak kok Yah, takut? Menyesal? Untuk apa?" Aku tertawa cengengesan tapi dalam hati sudah ingin pingsan rasanya.
Takut?
Iya benar sekali. Aku takut, dengan apa yang akan terjadi dalam hidupku nantinya.
Aku memandang Ayah dan Mamah secara bergantian, mereka menatapku dengan ekspresi yang sedih.
"Ayah sama Mamah tenang aja, Arin gak takut atau pun menyesal. Arin kan gadis yang kuat. Arin justru bahagia!" ucapku dengan raut wajah bahagia. Tepatnya pura pura bahagia.
Tidak ada jawaban, mereka masih menatapku dengan tatapan yang sama.
"Om Robert dan Tante Ambar kan orangnya baik, pasti anak mereka juga baikkan? Iya kan pak Deni?" tanyaku pada Pak Deni, berusaha untuk mencari celah agar mereka tidak bersedih lagi.
"Iya, benar pak. Tuan muda Axel itu orangnya sangat baik. Saya sudah mengenal dia sejak kecil. Dia sangat menghargai wanita dan sopan terhadap orang tua. Saya yakin Non Flora pasti bahagia nantinya."
Pak Deni tersenyum tulus, dengan pandangan yang masih lurus ke depan. Mendengar itu, Mamah dan Ayah tersenyum bahagia. Raut wajah sedih mereka sudah hilang entah kemana.
Aku bernafas lega, setidaknya mereka tidak khawatir saat sudah meninggalkan aku di sini.
"Syukurlah kalau begitu." Aku menatap Mamah dan Ayah yang sudah duduk dengan posisi yang benar.
"Tuh kan? Ayah dan Mamah jangan sedih, dia orang yang baik pastinya."
Aku tidak yakin. Benar-benar tidak yakin. Semoga saja dia masih tetap seperti dulu.
Perjalanan dari bandara hanya memakan waktu satu jam saja. Itu karena jalanan tidak terlalu padat.
"Baiklah, kita sudah sampai,” ucap Pak Deni saat mobil berhenti dengan perlahan.
"Mari saya aEntar." Pak Deni keluar duluan dari mobil. Di susul dengan Ayah, Mamah dan Aku.
Waw ini indah sekali! Sebuah gedung tinggi, besar, dan mewah dengan cahaya-cahaya lampu yang begitu terang menambah keindahannya. Mataku menjelajahi setiap sudut tempat ini.
Tepat di sebelah kiri gedung terdapat genangan air yang luas, yang aku yakini itu danau kecil, di tengah tengah danau ada tiga buah kata yang berukuran cukup besar dan berkelap-kelip seperti lampu LED. Itu bertuliskan ‘TREE LAKESIDE APARTMENT.’
Wah ini benar-benar indah sekali. Di tambah pepohonan yang rindang dan tidak begitu besar di sekeliling danau.
Sebelah kanan apartemen terdapat taman yang sangat indah. Aku tidak bisa menceritakannya secara detail. Karena ini sangat indah dan menakjubkan. Aku merasa seperti dalam dunia dongeng.
"Hei!"
Aku tersentak kaget karena seseorang menggoyangkan lenganku dan ternyata itu Mamah yang menatapku dengan tatapan bingung.
"Kamu kenapa? Ayah dan Pak Deni sudah masuk duluan. Ayo, kamu mau di sini terus?"
Kulihat Ayah dan Pak Deni yang membawa koper sudah berjalan lumayan jauh dari hadapan kami.
"Ayo Arin." Mamah menarik lenganku.
"Ehh, iya-iya Mah."
Sampai di dalam lift Pak Deni menekan tombol 25, pasti keren memandang dari ketinggian seperti itu.
Hanya ada kami berempat di dalam lift ini,tidak berapa lama lift berhenti dan terdengar bunyi dentingan. Pintu lift terbuka dan kami keluar dari dalam lift.
Tepat di depan lift terdapat pintu kayu berwarna coklat tua dengan ukiran yang sangat indah dan di depan pintu terdapat tulisan Kusuma .
"Nyonya sudah menunggu di dalam."
Pak Deni menekan bel dua kali. Papah berdiri di samping kiri pak Deni Mamah di sebelah kanan. Dan aku berdiri tepat di belakang mereka.
Tidak berapa lama pintu terbuka, aku tidak bisa melihat siapa yang membuka pintu karena dihalangi oleh tubuh mereka bertiga yang cukup besar dan tinggi. Dan aku yang hanya 157 cm tidak bisa berbuat apa-apa.
Nasib, jadi orang pendek.
"Ya Tuhan Retta, aku kangen sekali!"
Ku dengar pekikan kecil seorang wanita. Dan memeluk Mamah, ya seperti ibu-ibu biasanya, cipika cipiki dulu.
"Tian, kamu benar-benar tidak berubah."
Ku lihat dari belakang, Ayah tersenyum dan menyodorkan tangannya. Wanita itu sangat bahagia sekali terdengar dari suaranya yang begitu antusias.
"Loh, dimana Flora?"
Dia mencariku.
Pak Deni menyingkir dari tengah, dan terlihatlah aku yang bertubuh mungil dan pendek.
Tante Ambar tersenyum bahagia melihatku. Dia tetap cantik sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Tidak ada yang berubah.
Aku tersenyum tapi seketika raut wajahnya berubah. Bingung, heran, eentahlah, aku tidak tahu mengartikannya.
Tiba-tiba dia memelukku, meski bingung tapi aku membalas pelukannya.
"Kenapa kamu jadi seperti ini?" Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Ya sudahlah. Ayo masuk. Pak Deni tolong bawa kopernya ke dalam ya."
Pak Deni tersenyum dan menganggukkan kepalanya lalu bergegas masuk membawa koper milikku.
Kami semua masuk ke dalam apartemen dengan tante Ambar yang merangkul pinggul Mamah, Ayah di depankudan aku paling belakang.
Saat tiba di dalam aku terheran-heran. Jujur ini sangat mewah.
Belum sempat aku mengagumi tiap sudut tempat ini, Tante Ambar mengagetkanku dengan suaranya.
Dari tadi aku selalu dikagetkan, untung aku tidak ada riwayat penyakit jantung kalau tidak mungkin dari tadi aku sudah terbujur kaku.
"Nanti setelah tunangan kamu akan tinggal di sini. gak apa-apakan?"
"Gak apa-apa Tante. Dan ini, ya ampun ini benar-benar mewah sekali!" ucapku penuh antusias mereka hanya tertawa kecil menanggapiku yang mugnkin terlalu kampungan.
"Ya sudah, kamu mandi dulu sana.” Aku mengangguk lalu pergi menyusul Pak Deni yang masuk ke dalam sebuah kamar sambil membawa koper milikku. Mungkin itu kamarku.
Aku segera masuk setelah Pak Deni keluar, segera menutup pintu kamar tanpa menguncinya dari dalam.
Tanpa pikir panjang aku langsung ke kamar mandi, karena aku benar-benar merasa gerah.
***

Book Comment (100)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Siti Mardina Musa

    baru mulai baca udah tertarik 😊

    22h

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters