logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 ALEX POV | KABAR MENGEJUTKAN

Alex POV
Gak seperti biasanya Axel seperti ini.
Kalau aku dan Albert mencibirnya pasti dia akan melemparkan sesuatu atau berdebat dengan kami. Tapi ini tidak, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Sebenarnya dingin, dan datar bukan sifat asli Axel, dia orang yang ceria dan jahil, lebih jahil dari Albert.
Tapi kejadian-kejadian menyakitkan yang mengubah dia menjadi seperti ini.
Kami sudah bersahabat sejak SMP jadi aku pasti sudah tau seperti apa sifat yang sebenarnya. Apapun yang dia alami pasti akan diceritakan padaku dan Albert. Kami bahkan sudah seperti saudara.
Aku kembali menatap wajahnya, yang seakan memiliki beban yang sangat berat. Kepalanya mendongak kelangit-langit kantin dengan mata yang terpejam.
"Kenapa, ada masalah?” tanyaku dan berharap dia merespon.
Axel membuka mata, menatap aku dan Albert yang siap mendengarkan ceritanya. Aku tahu, sepertinya dia sedang menghadapi masalah.
"Gua lagi pusing."
"Pusing kenapa? Berasa kayakk punya istri dan anak tiga aja lu!” ucap Albert, dia memang seperti itu ceplas ceplos, kadang-kadang aku ingin mencakar wajah menyebalkannya itu.
Tapi apa yang di ucapkan Albert itu memang benar, bukan Axel yang akan berkata pusing jika, hanya tidak menyelesaikan tugas atau mendapat hadiah hadiah dari pengagumnya.
Dia sering mendapat hadiah dari mahasiswi-mahasiswi pengagumnya di kampus ini, hampir semua loh. Bahkan aku dan Albert kadang sampai iri, tapi ujung-ujungnya hadiah-hadiah itu akan sampai ke tangan kami juga.
"Cerita aja," ucapku dan menyandarkan punggung di sanderan kursi dengan tangan yang terlipat di depan dada.
Dia menghela nafas, panjang. Sangat panjang malah. Sampai-sampai Albert mengikuti helaan nafasnya. Memang sahabatku yang satu ini rada-rada gila. Jadi tolong di maklumi.
"Helaan nafas lu panjang amat! Mau latihan yoga?" kan bener yang aku katakan, Albert memang rada gila.
Kalau bukan sahabat, udah aku tenggelamin di kali Ciliwung serius!
"Lusa, gua bakal tunangan."
Apa?
Tunangan?
Axel?
Lusa?
Hening, aku dan Albert berusaha mencerna ucapan Axel. Dan sedetik kemudian kami berdua tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha!"
Suara tawa kami berdua benar-benar membahana di kantin ini. Sampai-sampai beberapa pasang mata langsung mengarah pada kamu.
Axel tidak pernah bercanda, sekalinya bercanda malah membuat lelucon aneh. Apa dia sedang belajar Stand Up Comedy?
Tiba-tiba tawa kami terhenti, bukan karena hal lain, tapi mulutku seperti tersumpal sesuatu dan terasa penuh.
Ku alihkan pandanganku pada Albert dan kami saling memandang.
Sialan. Axel memasukkan gorengan yang selalu di sediakan ibu kantin di atas meja ke dalam mulutku dan Al.
"Lu berdua berisik tau gak!" ketusnya dengan wajah kesal.
Aku berusaha mengunyah dengan susah payah gorengan yang ada di mulutku, kalau di buangkan sayang, tidak baik membuang-buang makanan. Lain halnya dengan Albert yang mengoceh tidak jelas.
"Huu aha ahaan hih, heh muhu hua hehuh hih.”
Sumpah, demi apapun aku benar-benar tidak mengerti apa yang dikatan oleh Albert, entah bahasa planet mana yang dia gunakan aku tidak tau.
Tapi jujur, kalau saat ini ada Nela pasti dia akan tertawa bahagia melihat Albert seperti orang idiot ini.
Syukurlah, gorengan itu kukunyah habis meski mulutku terasa seperti terkoyak.
"Parah lu men, kira-kira dong kalau mau traktir kita. Jangan paksa gini, mulut gua pegel tau. Kalau Albert sekilo juga muat di mulutnya." Aku menggerak-gerakan mulutku yang terasa pegal.
"Hamfet hu hek."
Kan, aku benar-benar tidak mengerti apa yang di katakannya.
"Hah, apaan? Gua gak ngerti?"
Ku rasa wajahku seperti orang bego kaerna tidak paham apa yang dikatakan dia.
"Hamfet, hua huhah homoh."
"Hah! Lu homo Al?"
Aku bener-bener kaget dengan apa yang di katakan Albert, dia homo? Bukan cuma aku, tapi Axel juga sama sama kaget sepertiku.
Sahabat kami ini homo?
Ya Tuhan? Apa karena dia terlalu lama menjomblo?
Wajah Albert memerah padam, entah marah atau apa kami tidak tahu.
"Huhan heho, ihi hohean helhahu haya!"
"Lu ngomong apaan sih?!"
Axel menanyakan apa yang ingin ku tanyakan, aku yakin lima detik lagi Albert seperti ini pasti dia kan mengetuk kepalanya.
"Hahik! Hahik!" dia menggerakkan tangan sambil menunjuk-nunjuk mulutnya.
"Lu kenapa, mau apa?" Axel mencondongkan wajahnya ke hadapan Albert, dia sama bingungnya seperti aku.
"Hua huhah homoh hahik uhu."
"Apa?!"
Demi apapun aku dan Axel benar-benar kaget, bahkan aku sampai memukul meja.
"Lu homo sama Hahik?"
Suara kami berdua seperti paduan suara, benar-benar membuat semua pandangan ke arah kami.
Yang benar saja Albert homo dengan Hahik? Pria sangar itu? Oh My God! Sungguh, dunia sudah mendekati hari kiamat.
"Hamfet, hahik hahik!" dia menunjuk-nunjuk mulutnya.
"Lu kok bisa gini sih Al, gua tau lu jomblo akut. Tapi gak harus gini jalan ngilangin rasa sepi yang lu rasa, tobat men!! Jalan lu ini salah!"
Aku memukul punggung Albert, semoga dengan apa yang kulakukan dapat menyadarkan dia, kalau jalannya ini salah.
Bugh!
Uhukk!
Suara gebukan di punggung Albert bersamaan dengan gorengan yang keluar dari mulutnya.
Plak!
Plak!
Dia menepuk jidat kami berdua.
"Kampret lu pada! Gua udah mau mati! Kalian pada masih asyik-asyik bengong!” Albret memonyong-monyongkan mulutnya.
Aku tahu, itu pasti pegal sekali dan pasti mulutnya sudah makin melebar.
"Sialan lu Xel! Kira-kira dong! Tu gorengan dua gede-gede lagi. Mulut gua bisa nyampe telinga Entar.'' Dia mengomel dengan sendirinya.
Kami tidak merespon apa yang di katakan oleh Albert. Aku dan Axel menatapnya dengan penuh intimidasi. Masih curiga dengan pengakuannya tadi.
Merasa di intimidasi, membuat Albert menatap kami.
"Kenapa!"
Pertanyaan seperti pernyataan, aku tahu dia masih kesal dengan kejadian tadi.
"Lu beneran homo sama Hahik?" Axel menyuarakan pertanyaanku dengan sedikit berbisik, jangan sampai ada yang mendengar. Kalau tidak, musnahlah sudah reputasi kami.
Plookk!
Plookk!
"Kampret, sakit!"
Suaraku dan Axel bersamaan, mengusap kening kami masing masing karena di sentil sama dia.
"Gila lu pada! Gua masih normal ya! Tadi tu gua bilang tarik ,bukan Hahik, lu berdua praktekin aja gimana rasanya ngomong dengan mulut yang tersumpal." Dia terus mengoceh dengan wajahnya yang memerah, jujur dari a\Antara kami bertiga hanya dia yang memiliki sifat persis seperti seorang perempuan. Bawel!
Aku dan Axel mengelus dada, cukup lega mendengar jawabannya itu. Ternyata sahabat kami ini masih lurus.
"Emang lu di tunangin sama siapa sih? Pacar aja gak punya!"
Albert membuka pertanyaan pada topik yang sebenarnya. Ini adalah kelebihannya, dia selalu mengingat hal-hal yang kadang kita sudah lupa. Selebihnya, dia sangat menyusahkan.
"Gua gak kenal itu cewek, tapi gua terpaksa demi Mamah," ucap Axel dengan lesu.
"Kok bisa terpaksa? Kan lu bisa nolak men." Aku mengernyitkan dahiku. Karena yang aku tahu, Axel bukan tipe orang yang mau di paksa.
"Kata Mamah Ini permintaan terakhir Papah. Tadi malam gua coba nolak. Gak sadar suara gua meninggi. Mamah ngerasa gua ngebentak dia. Lu berdua tau gua paling gak bisa ngelihat Mamah nangis. Apapun gua lakuin biar Mamah bisa maafin gua."
Mendengar itu aku dan Albert hanya menganggukkan kepala. Itu benar, Axel sangat menyayangi Tante Ambar. Karena Cuma dia keluarga yang dimilikinya saat ini.
"Terus, Tante Ambar kenal itu cewek darimana?" Albert menegakkan tubuhnya yang tadi sedikit membungkuk di depan meja.
Wajah penasarannya itu benar-benar membuat aku ingin mencakarnya. Astaga, ayolah Lex ini bukan saatnya untuk mencari gara-gara dengannya.
"Kata Mamah, putri dari sahabat baiknya Papah."
"Sekarang dia dimana?"
"Gua gak tau, males gua nanya nanya tentang dia, gak peduli dia dimana dan darimana asalnya."
"Lah, kalau dari hutan gimana dong?"
Kalian pasti tau kalau pertanyaan seperti ini berasal dari siapa. Albert pastinya.
"Lu kata monyet dari hutan?" Aku memandang Albert dengan heran, ada-ada saja jawaban menyebalkan yang dia berikan.
"Kampret! jadi maksud lu gua nikah sama monyet gitu!"
"Bukan gitu maksud gua bro, tadikan lu bilang gak peduli dimana dan darimana itu cewek, ya kali aja dia dari hutan."
Lihat, wajah tanpa dosa itu. Siapa coba yang tahan dengan sikap menyebalkan pria ini. Pantas saja dia jomblo dari tahun ke tahun.
Mendengar itu Axel hanya berdecak kesal, aku tahu dia pasti sudah malas menanggapinya.
"Gue rasa otak lu perlu dicuci dah men. Udah kebanyakan karat kayakknya."
"Apaan. Lu kata otak gua besi, karatan segala. Otak Albert Einsten nih."
"Prettt! Albert Es teller iye!" Aku mencibirnya.
Jengah dengan perdebatan kami, Axel beranjak dari duduknya.
"Ck, lu berdua masih mau berdebat atau masuk kelas." Axel berjalan meninggalkan kami.
"Eh eh tungguin Xel!"
Albert menyusul Axel dan kemudian aku mengikuti dari belakang.
Tunangan?
Yah, aku setuju-setuju saja.
Agar dia tidak terlalu berharap dengan orang yang sudah meninggalkannya begitu saja.
Semoga ini yang membawa Axel yang dulu kembali lagi.
•••

Book Comment (100)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Siti Mardina Musa

    baru mulai baca udah tertarik 😊

    1d

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters