logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 16 AXEL POV | RASA BERSALAH

Axel p.o.v
Jujur hari ini aku sangat kesal. Sangat, sangat kesal.
Bagaimana tidak? Aku harus menjemput gadis sialan itu lagi.
Ini semua karena Mamah yang selalu memaksaku.
Entahlah tapi setiap kali aku melihatnya rasa benciku semakin besar.
Dia, gadis itu. Sudah menghancurkan hidupku.
Tanpa kusadari tadi aku melewati jalan Melati Putih, tidak asing lagi jalan itu di takuti banyak orang. Tapi dengan sengaja aku meninggalkan dia di sana.
Aku tidak ingin menyebut namanya itu. Ah, aku ingin memberi dia pelajaran. Biar dia tahu siapa aku.
Aku sampai di kampus tiga puluh menit lebih awal. Entah kenapa perasaanku mendadak tidak enak. Seperti ada yang mengganjal. Tapi aku melanjutkan langkah.
Tiba-tiba Ada yang menepuk pundakku dari belakang.
"Tumben cepat datang. Biasanya masuk dulu baru lu datang. Setan apa yang masuk?" Albert mengagetkanku bersama dengan Alex di sebelahnya.
"Ck, lu berdua ngagetin gua aja! Kalian juga tumben cepat datangnya. Apalagi lu!" Aku menunjuk Albert.
"Ck, kalau gua terpaksa. Karena anak kecebong atu ini!" Albert menunjuk Alex, "datang ke rumah dan narik-narik gua dari tempat tidur. Padahal gua masih mimpiin Taylor swift men!"
Ini nih kelebihan Albert, terlalu dramatis hidupnya.
Aku rasa karena dia terlalu lama jomblo kali ya. Yah, kalian bayangkan saja dia gak pernah pacaran dari jaman sekolah sampai sekarang. Tapi doyan sekali gangguin cewek-cewek cantik.
Plakkk!
"Sakit nyet!" Albert meringis mengusap dahinya yang di geplak Alex.
Kelakuan kedua sahabatku ini memang benar-benar aneh. Menyebalkan, dan rasanya aku ingin sekali meremas kepala mereka.
"Kecebong? Lu apa? Jurik?!” dia mendengus kesal, “mimpiin Pretty Tailor kali!!''
"Siapa tuh?" Kalau sudah urusan wanita, pasti dia nomor satu. Lihatlah, bahkan matanya sudah berbinar-binar.
"Janda anak tiga, tukang jahit langganan nyokap gua!” ucap Alex dengan snatai, diiringi senyum sinis dari bibirnya.
"Kampret lu Lex!" Albert memelototinya.
Aku benar-benar jengah dengan mereka berdua. Dan lebih memilih untuk melangkah meninggalkan mereka. Sampai besok, mereka tidak akan berhenti berdebat. Percaya padaku.
"Eeh, woi tungguin woi!"
Albert ini memang benar-benar paling berisik di aAntara kami. Sudah berisik, rusuh, menyebalkan! Astaga! Aku pusing mendeskripsikan sifat sialannya itu.
Alex dan Albert datang menyeimbangkan langkahnya denganku. Dengan tergesa gesa aku berjalan menuju kantin. Sampai di kantin aku langsung duduk di tempat biasa, pojok kantin.
"Lu kenapa sih? Dari tadi gelisah banget?" Aku menoleh pada Alex yang duduk di hadapanku.
Di aAntara kami, anak ini yang paling paham akan situasi hatiku saat ini.
"Tau nih! Sejak tunangan gua perhatiin lu kalau gak pusing, gelisah. Muka lu yang datar makin datar. Lu kenapa men? Udah mau jadi calon suami orang juga.''
Ck, apa-apaan sih Albert! Aku jijik mendengar kata calon suami orang. Terkesan seperti aku menginginkan pertunangan sialan itu. Tapi nyatanya tidak sama sekali.
"Ck! rese lu Al!” Aku menendang kaki kursi yang dia duduki, “perasaan Gua gak tenang nih!"
Entahlah, aku benar-benar gelisah saat ini. apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu. Dan saat ini yang kulakukan hanyalah mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jariku.
"Cicak juga tau perasaan lu ga! tenang. Makanya kita tanya! Cakep-cakep kok bego sih lu Xel?"
Aku benar-benar ingin menjitak kepalanya Al. Tapi aku lagi tidak mood. Hanya bisa mendesah sabar menghadapi sikap si kampret Albert.
"Lu cerita sama kita. Ada apa? Tante Ambar?"
Aku menggeleng pelan mendengar pertanyaan Alex.
"Shera?"
Aku menggeleng lagi.
"Tukang parkir? Tukang cimol? Tukang cilok? Atau tukang Cendol?"
Kenapa jadi ngaur gini sih.
Plokk
Aku mengetok kepala Albert dengan sendok yang tertata rapi di atas meja. Benar-benar tidak nyambung menurutku.
"Ngaur lu nyet!"
Albert meringis dan mengusap kepalanya yang aku ketok. Dia mengerucutkan bibirnya persis seperti seorang anak kecil.
"Ya habisnya lu geleng-geleng mulu! Langsung to the point aja kenapa?"
"Atau jangan-jangan!" Aku menatap Alex yang menggantungkan ucapannya, kemudian saling pandang dengan Albert.
Mereka berdua ini kenapa? Ada-ada saj tingkah aneh mereka yang tidak dapat kupahami.
"Flo?"
Mereka mengucapkannya bersamaan dan memandangku dengan curiga. Sontak mataku melebar mendengar nama itu. Jantungku berdegup kencang.
Aku hanya mengangguk.
Benar sekali, itu yang aku maksud.
"Kenapa? Lu jatuh cinta ma dia? " Al mendekatkan wajahnya padaku.
"Jauh-jauh lu! Jijik gua!” kataku sambil mendorong wajahnya untuk menjauh dariku.
“Gak akan pernah terjadi kalau gua jatuh cinta sama tu cewek!" sambungku lagi dengan sarkas.
Hah! Itu sangat mustahil terjadi. Jatuh cinta pada gadis jelek seperti dia? Oh astaga! Duniaku akan benar-benar kiamat nanti.
Albert menggerutu tidak jelas, karena aku menahan wajahnya dengan sebelah tanganku. Jangan pernah berharap aku akan jatuh cinta padanya, karena itu tidak akan pernah terjadi.
"Teruss?"
Aku melepaskan tanganku dari wajah Al. Dan duduk menghadap Alex.
Kalau dalam suasana genting seperti ini, lebih baik bercerita pada Alex. Dari pada dengan Al, yang ada suasananya semakin memanas.
"Gua ninggalin dia tadi," ucapku ragu.
"Dimana?" tanya Al dengan santainya, dan mencomot gorengan yang ada di atas meja lalu mengunyahnya.
"Di jalan Melati Pu-tih,” ucapku dengan hati-hati.
"Apa?!"
Suara mereka yang bersamaan dan gorengan yang menyembur keluar dari dalam mulut Al mengenai lenganku.
Beberapa pasang mata yang ada di kantin menatap kami. Karena suara mereka yang cukup kencang.
"Ish! Kampret! Jorok lu!" Aku benar-benar jijik melihat lenganku, dan segera membersihkannya dengan tissue.
"Gila lu Xel!"
"Parah lu men!"
Ucap mereka bersamaan, dan itu membuatku menjadi semakin merasa bersalah.
"Lu tau kan jalanan itu berbahaya? Sebenci-bencinya lu sama dia, tapi gak gini juga men! Kalau dia kenapa-kenapa gimana?" Aku memandang wajah Alex yang terlihat kecewa.
"Masih untung kalau Flo hanya di rampok. Kalau diperkosa, dibunuh, atau dimutilasi gimana? Dia itu cewek polos men, ga! mungkin bisa ngelawan preman!"
Aku meneguk salivaku mendengar ucapan Alex. Sialnya, itu malah semakin membuatku ketakutan. Benar-benar sialan memang.
"Parah! Selain begal, binatang buas juga banyak di sana Bro. Dan dua hari lalu gua baca surat kabar. Di pinggir jalan itu, di temukan mayat wanita. Kayaknya di bunuh."
Mendengar penuturan Al, jantung semakin berdetak cepat. Aku benar-benar khawatir.
"Serius lu. Lu jangan nakut-nakutin gua dong!"
"Ngapain kita nakutin lu. Lu juga taukan. Jalanan itu berbahaya."
"Terus gimana dong?"
Aku benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. Aku memang membencinya.
Tapi ucapanku untuk menyakitinya itu tidak benar akan kulakukan. Aku hanya ingin memberi dia pelajaran itu saja.
Sepertinya tindakanku suda benar-benar keterlaluan padanya. Kalau sampai Mamah tahu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti.
"Kita harus nyusul dia men. Sebelum terlambat!” ucap Alex dengan tergesa-gesa.
"Benar, kita harus nyusul dia sekarang!" sambung Albert.
Menyusulnya? Mungkin memang seharusnya kami menyusul dia.
Saat kami ingin beranjak dari tempat duduk Dave dan Nela datang menghampiri kami.
"Ehh, kalian lihat Flo gak?" tanya Dave yang berdiri di sebelahku.
"Tumben jam segini dia belum datang. Gua hubungi nomornya malah gak aktif."
Mendengar penuturan Nela mataku melebar, bukan hanya aku, Alex dan Al juga sama sepertiku. Jangan-jangan.
Aku segera beranjak dari tempat duduk. Membuat mereka terkejut karena tiba-tiba berdiri.
''Ehh, Xel mau kemana?" Pertanyaan Dave yang tak kuhiraukan.
Aku melangkahkan kakiku. Harus segera sampai di sana, kalau tidak aku tidak akan bisa menebak hal buruk apa yang terjadi nanti. Tapi langkahku terhenti melihat seseorang berjalan ke arah kantin.
Dengan tangan yang di balut kain kasa, dan berjalan terjingkat-jingkat, wajahnya pucat, dan lemas.
Aku terpaku melihatnya. Lega, sekaligus merasa bersalah.
Lega karena dia bisa berada di sini. Merasa bersalah melihat keadaannya seperti itu. Dia memesan sesuatu pada penjaga kantin.
Aku tidak bergerak dari tempatku berdiri, terus menatapnya yang terlihat kesakitan.
"Ya Tuhan, Flo kenapa?" Lamunanku terbuyar mendengar ucapan Nela yang sudah ada di sampingnya.
"Kok, jadi gini! Siapa yang lukain?" ucap Dave dengan ekspresi marah dan emosinya.
Tanpa kusadari Alex dan Al sudah berdiri di sebelahku. Sekilas, gadis itu menatapku dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Apa dia marah?
Tentu saja marah bodoh! Umpat sisi lain dalam diriku.
"Aku gak apa-apa." Suaranya sangat lirih.
Dia membalikkan tubuhnya, untuk pergi meninggalkan kantin. Tapi di tahan oleh Dave.
"Cerita sama kita. Lu kenapa?" ucapnya dengan datar.
"Dalam keadaan seperti ini kamu bilang gak apa-apa? Jangan bohong Flo. Orang buta juga tahu kamu gak baik-baik aja!" sambung Nela. Aku melihat kedua orang sangat peduli Flo. Ah, sial! kenapa aku malah menyebut namanya.
"Ini semua, karena lu men!" Alex berbisik padaku.
"Lu harus tanggung jawab!" sambung Al yang juga berbisik di sebalah kananku.
Mereka berdua seperti iblis dan malaikat yang sedang menghasutku, ralat, iblis dan jin itu lebih tepat menggambarkan mereka berdua.
_______

Book Comment (99)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    3d

      0
  • avatar
    Adamezza

    bagus

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters