logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 13 FLORA POV | PERTOLONGAN TERBAIK

Flora p.o.v
Hari ini aku pulang sendiri naik angkutan umum.
Dua minggu ini, setelah aku masuk kuliah mengenal Nela dan Dave, mereka yang bergantian mengantarku pulang.
Sebenarnya aku selalu menolak, toh aku juga bisa pulang sendirikan? Pulang naik angkutan umum itu sudah hal biasa bagiku yang hidup dan di besarkan dalam keluarga yamg sederhana.
Tapi mereka selalu bilang, “sekarang kita menjadi sahabat. Sahabat itu harus saling menolong dan berbagi bukan." Itu yang selalu mereka katakan.
Membuat aku bosan mendengarnya dan sudah menghapal kalimat mereka itu luar kepala.
Sahabat?
Ya, mungkin saja aku sudah menganggap mereka sahabat. Terlebih Nela, aku tidak pernah sedekat ini dengan teman perempuan di sekolah ataupun kampus yang lama.
Dulu waktu SMA aku hanya punya satu sahabat lelaki. Hanya satu, dari SMP kami sudah bersahabat. Tapi sekarang aku sangat membencinya. Aah sudahlah aku tidak ingin mengingat masa lalu.
Sejak saat itu, aku putuskan untuk tidak ingin mengenal namanya sahabat.
Tapi berbeda dengan Dave dan Nela, aku merasakan ketulusan di hati mereka. Aku berharap tidak salah memilih dan mengatakan bahwa mereka sahabatku.
Hari ini mereka tidak bisa mengantarku pulang, karena Dave dan Nela ada urusan penting katanya.
Mengharapkan Axel, hanya ada dalam mimpi kurasa. Yang ada sebelum aku memintanya mengantarku, mungkin sumpah serapahnya yang akan menenggelamkan aku terlebih dahulu.
Tunangan berasa teroris ini namanya. Atau tunangan yang tak dianggap.
Menyakitkan memang.
Kadang aku ingin membatalkan pertunangan ini, karena memang aku juga tidak menginginkannya, apalagi melihat sikap Axel padaku, sakit rasanya.
Tapi hatiku selalu menolak,dan berkeras untuk mempertahankan ini semua. Aku tidak tau kenapa, apa ini ada hubungannya dengan janjiku?
Eentahlah, yang pasti aku akan menjalaninya.
Aku singgah ke minimarket di depan apartemenku eh ralat apartemen Mamah Ambar maksudku.
Karyawan di mini market ini sudah mengenalku. Karena aku sering mampir ke sini, kadang sekali sehari atau sekali dua hari. Aku pelanggan setia mereka.
Saat keluar dari mini market, aku mendengar suara orang banyak berteriak di sudut toko, pojok sana.
"Gebukin aja biar tau rasa!"
"Ayo pukuli saja biar jera!"
"Masih kecil sudah mencuri!"
"Mau jadi apa nanti kalau sudah besar, dasar gembel!"
Aku bergidik ngeri, jangan jangan itu maling yang sudah di gebukin dan banyak darah yang berceceran.
Jujur aku sangat takut dengan darah.
Aku bersiap melanjutkan langkahku meninggalkan tempat itu. Tapi hatiku terasa sakit mendengar ucapan lirih seseorang.
"Ampun, maafkan aku! Hiks hiks maaf. Jangan pukuli aku."
Jantungku berdetak dengan kencang, itu suara anak kecil. Mataku membelalak, kakiku gemetar. Rasanya aku tidak sanggup berdiri.
Tapi aku melawan semua rasa takutku.Saat ku dengar suara
"Ayo kita gebuki saja. Jangan kasih ampun!!"
Tanpa pikir panjang lagi aku berlari menghampiri kerumunan itu.
"Hentikan!!”
Suaraku yang kencang menghentikan mereka lalu menoleh padaku. Aku berjalan menuju kerumunan, seakan mengerti mereka memberi jalan padaku.
Jantungku berdetak tak karuan, nafasku seperti terhenti sesaat, kakiku berasa seperti jely yang akan hancur jika di hentakkan ketika melihat pemandangan di hadapanku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku mematung, dengan tangan yang menutup mulutku.
Seorang anak berusia 8 tahun dengan pakaian lusuh dan sudah koyak, duduk di tanah matanya bengkak dan sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah, tulang pipinya membiru, kurasa itu di pukul atau di tampar.
Yang paling menyakitkan, tangan dan kakinya diikat seperti binatang.
Hatiku sakit dan pilu melihat semua ini. Apa yang sudah mereka lakukan pada anak sekecil ini?
"APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN!!"
Aku berteriak seperti orang kesetanan di hadapan mereka.
Melampiaskan rasa pilu dan amarahku pada orang-orang yang tidak punya hati nurani ini.
"Dia pantas mendapatkan ini! Dia sudah mencuri, seharusnya kami membawa dia ke kantor polisi!" ucap seorang wanita paruh baya.
Aku hanya menggelengkan kepala. Sangat menyayangkan hal ini.
"Apa yang dia curi?!!"
"Dia mencuri dagangan Bapak ini!" ucap seorang lainnya dan menunjuk ke arah pria paruh baya.
"Dia sudah mencuri roti daganganku! Itu!" orang itu menunjuk sebungkus roti yang tergeletak di tanah, sebesar kepalan tangan dan sudah hancur tak berbentuk.
"Aku sudah cukup baik dengan tidak melaporkannya ke kantor polisi!" dengan bangga dia berkata.
Aku tersulut emosi, kurasakan wajahku memanas mungkin sudah memerah seperti tomat.
"Sudah cukup baik katamu? Bangga sekali kau!!"
Aku tidak bisa mengontrol emosiku, aku sangat menghargai orang tua, tapi jika sudah keterlaluan seperti ini, ini tidak benar lagi.
"Apa dengan uang dua ribu kau bisa kenyang?!! Apa dengan uang dua ribu kau bisa kayak?!"
Orang-orang di sana terkejut mendengar ucapanku.
"Kenapa kau membelanya?! Apa kau mengenalnya?!" Suara seorang yang lain, aku tidak peduli lagi siapa yang berbicara.
"Aku tidak tahu dia siapa. Tapi aku mengenal dia sebagai manusia! Dia bukan binatang yang harus kalian ikat seperti ini! Dia manusia sama seperti kalian! Apa kalian tidak punya hati nurani?! Apa kalian tidak punya anak?!"
Mereka semua terdiam. Tak ada yang bisa membalas ucapanku.
"Kalau memang kalian benar-benar tidak pernah melakukan kesalahan, silahkan pukuli dia!"
Tidak ada respon dari mereka.
"Kenapa kalian diam?! Ayo lakukan!!"
Kulihat mereka bungkam dan memasang wajah tidak bersalah.
Cih, apa mereka tidak punya hati nurani? Menganiaya seorang anak kecil hanya karena mencuri sebungkus roti. Dan membiarkan para koruptor memakan uang rakyat, tapi mengabaikannya.
"Tidak ada yang berani?! Sekarang kalian pergi dari sini!! PERGI!!"
Aku berteriak kepada mereka, menumpahkan seluruh rasa kesalku. Perlahan mereka membubarkan diri dan sudah tidak ada di sana lagi.
Hatiku nyeri melihat anak laki-laki yang malang ini. Dia menatapku dengan wajah yang penuh rasa belas kasih.
Ya Tuhan, kenapa mereka tega melakukan ini pada seorang anak kecil?
Perlahan aku mendekati anak itu, dia seperti ketakutan.
"Jangan, jangan pukuli aku! Jangan bawa aku ke kantor polisi, aku mohon!"
Suaranya yang bergetar karena menangis, membuat mataku berkaca-kaca. Sangat menyakitkan kurasa.
"Jangan takut, Kakak gak jahat kok. Aku cuma bantuin kamu."
Aku meraih tangannya, membuka tali yang mengikat tangan dan kakinya. Dia hanya termangu melihatku.
Lalu, dengan tiba-tiba dia merampas bungkus roti yang jatuh di tanah yang sudah hancur dan tidak berbentuk itu.
"Terimakasih kak!" ucapnya, lalu pergi berlari meninggalkanku.
"Dik tunggu! Kamu mau kemana?"
Aku mengejarnya. Kulihat dia memasuki sebuah gang kecil yang kumuh, tepat di sebelah klinik.
Dia kemana? Tanyaku dalam hati.
Tanpa aku sadari aku terus mengikutinya.
Aku masih bisa melihat dia, memasuki sebuah gubuk yang di lapisi dengan karung-karung yang sudah koyak.
Saat aku mendekati gubuk itu, aku mendengar suara tangis dari dalam.
"Ibu, ini Adi bawain makanan buat Ibu. Ibu makan ya."
"Tidak nak, kamu saja yang makan. Kamu pasti laparkan? Bagi dengan adikmu. Ibu bisa tahan lapar."
Kuberanikan diri melihat ke dalam.
Aku menangis melihat apa yang terjadi di dalam.
Silahkan kalian katakan aku cengeng, tapi sungguh aku tidak sanggup melihat hal seperti ini, sangat menyayat hati.
"Ibu! Ibu kenapa? Ibu kenapa Bu?" Tangis anak kecil itu sungguh menyayat hatiku.
"Kak ibu kenapa menggigil seperti ini?" tanya seorang gadis kecil dipojok sebelah ibunya.
Aku terkejut melihat wanita itu menggigil.
"Ibu kamu kenapa?" tanyaku yang langsung masuk ke dalam.
Awalnya mereka terkejut melihatku. Tapi tidak lagi karena aku mendekati mereka.
"Gak tau kak, ibu sakit sudah satu minggu." anak laki laki itu menjawab pertanyaanku dengan tetap menangis.
"Ayo kita bawa berobat!" ucapku.
"Tidak! Saya tidak punya uang,” ucapnya dengan sangat lemah.
"Ibu tidak perlu memikirkan itu, yang penting ibu sehat dulu. Ibu harus memikirkan anak-anak ibu, mereka masih kecil, siapa yang akan menjaga mereka nanti?"
"Tapi-“
"Sudah jangan di pikirkan, mari saya bantu." Aku membantu wanita itu untuk berdiri dan memapahnya. Aku terka, kalau usianya tidak terlalu jauh dariku.
"Kak, kami ikut!" ucap anak laki laki itu.
"Ya udah. Ayo!"
Syukurlah tempat mereka tidak begitu jauh dari klinik di depan apartemenku.
Kami sampai di depan klinik. Aku melangkah dengan pelan untuk memapahnya.
"Dok! Dokter!"
Aku memanggil Dokter, namun tidak ada yang menyahut atau keluar.
Mataku tertuju pada seseorang yang duduk di dalam lingkaran etalase obat.
"Apa dia tidak punya telinga?" tanyaku dalam hati.
Aku menghampirinya dengan ibu yang masih kupapah.
"Mbak, tolong periksa ibu ini. Dia sakit keras."
Ucapanku tidak di gubris sedikitpun. Matanya menilai penampilan wanita ini dengan rasa jijik.
"Apa anda tuli?" kataku yang sudah kesal melihatnya.
"Eh! Mbak! Ini klinik ternama. Klinik ini tidak menerima gembel seperti mereka!" ucapnya menunjuk ibu dan anak-anaknya yang ada di sebelahku.
Kurang asam ini orang, baru jadi perawat sudah sombong.
"Maksud mbak apa? Nanti juga akan di bayarkan?!"
Aku sudah semakin kesal di buat wanita satu ini, di tambah lagi behelku yang sudah longgar. Membuat emosiku semakin meningkat.
"Darimana gembel punya uang! Mencuri?!"
Dia semakin sombong. Ini tidak bisa di diamkan.
Wanita ini sudah semakin kesakitan dan dia masih bermain-main denganku.
Brak!
Aku memukul meja yang ada di hadapannya. Tidak akan peduli jika etalase kaca itu akan pecah.
Dia terlonjak kaget.
"Sombong sekali kamu! Dimana pemilik klinik ini!!"
Mataku melotot, dan itu benar-benar mengundang ketakutan darinya.
"Ada apa ini?"
Suara berat seseorang membuatku menoleh kebelakang, dan terlihat seorang pria berpakaian rapi, memakai kacamata.
"Saya cari pemilik klinik ini!" ucapku padanya.
"Saya pemiliknya, ada apa?" Suara pria itu terdengar sangat halus. Sehalus dan setampan wajahnya.
"Apa klinikmu ini untuk orang-orang kayak saja?" tanyaku dengan wajah yang sudah sangat jengkel.
Pria itu terlihat bingung.
"Tidak, ada ap-“
Perkataannya terhenti ketika ibu yang kupapah tadi meringis kesakitan sambil meremas perutnya.
"A..aaduh!"
"Dia kenapa? Ayo bawa ke dalam!" ucap Dokter itu dengan panik.
Aku memapahnya ke dalam, Dokter itu membuka tirai, dengan perlahan aku membaringkannya di atas brankar.
"Kamu tunggu di luar saja.”
Aku berjalan keluar ruang kamar itu. Kuhampiri wanita sombong tadi.
"Ehh mbak! Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, saya akan tuntut anda!" ucapku dengan sengit.
Mendengar ucapanku dan melihat wajahku yang menyeramkan, membuat dia menunduk ketakutan.
Aku paling tidak suka dengan manusia seperti ini. Sombong sekali dia.
Mataku tertuju pada dua anak kecil yang masih berdiri.
"Kalian berdua, sini!" Panggilku pada mereka dan datang menghampiriku.
Aku membawa mereka duduk diruang tunggu, baru kusadari mereka tidak memakai alas kaki.
Kasihan sekali mereka.
"Kak, ibu baik-baik sajakan?" tanya anak laki-laki itu.
Aku tersenyum sambil mengusap kepala mereka berdua yang duduk di sebelah kiri dan kananku.
"Kalian tenang saja, ibu kalian pasti baik-baik saja kok. Kalian berdoa sama Tuhan, biar ibu kalian bisa cepat sembuh."
Mereka hanya mengangguk dan berdoa.
"Ya Tuhan,semoga ibu baik-baik saja. Amin." Aku tersenyum melihat mereka yang begitu polos.
Apa dulu aku begini juga ya?
Tiba-tiba, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku dari tadi.
"Kalian tunggu disini dulu ya," ucapku pada mereka berdua.
"Kakak kemana? " tanya anak perempuan itu.
"Kakak ke depan sebeEntar, nanti Kakak balik lagi kok." Mereka menganggukan kepalanya, dan kemudian aku melangkah keluar.
Saat tiba diluar,kulihat seseorang sedang membelakangiku.
"Dia masih melihat ke arah sini gak ya?" Aku mendengar dia mengatakan itu.
Aku berdiri tepat di belakangnya. Dia tidak menyadari kehadiranku.
"Berbalik gak ya?" Dia bertanya mungkin pada dirinya sendiri. Tidak mungkin padakukan, dia tidak tau aku di sini.
"Balik, gak! Balik gak! Balik gak! Balik gak!" Entah berapa kali dia mengucapkan itu sambil menghitung jarinya.
"Berbalik aja deh, kalau cewek stres itu ngelihat gua, ya bilang aja gua beli obat." Seketika dia terkekeh.
Apa dia sudah gila ya?
"Hehe, piEntar juga lu Kevin." Dia mengetuk tepat di ujung pelipisnya dengan jari telunjuk.
Oh namanya Kevin?
Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya.
"Ehh, Setann!!!" pekiknya.
Dia terkejut, dan hampir terjungkal ke belakang karena mendapati aku berdiri tepat di belakangnya.
"Kau!" Aku menunjuknya.
Dia pria menyebalkan yang aku temui di lift dan di pinggir jalan kemarin.
"Kamu bilang saya setan?!" Aku memelototi sambil berkacak pinggang dihadapannya.
"Ehh-bukan! Cewek stres!" ucapnya tergugup dan kemudian menutup mulutnya dengan tangan.
"Apa?! Cewek stress. Jadi maksud kamu, saya cewek stres itu? Kamu nguntit saya ya?!"
Aku menatapnya dengan tatapan membunuh. Kenapa hari ini banyak sekali orang yang membuatku marah.
Menyebalkan.
"Bukan, kamu PD banget sih! Aku kesini mau beli obat!" ucapnya lalu melenggang masuk ke dalam klinik.
Mataku mengikuti pergerakannya. Dia menghampiri wanita sombong itu, dia termangu melihat pria menyebalkan itu. Aku akui dia memang tampan. Di tambah dengan kacamatanya itu menambah kadar ketampanannya.
Kudengar dia memesan obat, setelah membayar dia keluar dan melewatiku.
"Kamu jangan terlalu PD ya, saya kesini mau beli obat. Cewek stress!" ucapnya lalu pergi berlari meninggalkanku.
"Awas kamu ya!" Dia hanya terkikik geli melihatku yang setengah berteriak ke arahnya.
Jujur aku ingin sekali mencakar wajahnya itu,
Dasar pria garis-garis.
Iya aku menyebutnya pria garis-garis, karena sudah berapa kali aku bertemu dengannya, pasti dia memakai kemeja garis-garis.
Awas saja kalau ketemu nanti, takkan kulepaskan dia.
••••••

Book Comment (100)

  • avatar
    HutabaratElisawati

    Trimkh,msih ada penulis novel yg mengajak pembcanya utk belajar utk bisa mengampuni masa lalu dan menerima kekurangan org laintanpa kesan mengajari atau panatik dlm suatu agama tertentu,membacanya seperti melihat alur cerita nyata bkn seperti novel2 yg lain yg mengutamakan hayalan tingkat tinggi yg kadang keluar dr fakta kehidupan

    18/01/2022

      0
  • avatar
    Siti Mardina Musa

    baru mulai baca udah tertarik 😊

    4h

      0
  • avatar
    Jaku.Reza

    Mantap

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters