logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Perfect Uncle

Perfect Uncle

Aretha Artha


1. Gara-gara Salah Jalur

Rasanya kepalanya ingin meledak saat seorang remaja berseragam putih abu-abu menarik jasnya. Gadis itu menatapnya galak.
“Eh, Om! Ini motor Eve lecet akibat Om senggol! Ganti rugi!” marahnya dengan mata melotot.
Pria itu mengembuskan napas kasar dan menatap tangan mungil yang tidak mau melepas jasnya.
“Lepaskan tangan kamu. Saya sibuk! Dan, gara-gara kamu saya kehilangan jejak!” bentaknya membuat gadis itu kaget dengan mata berkaca-kaca.
“Huwaaaa, Omnya galak!”
Pria itu langsung kelimpungan saat dia sudah menjadi pusat perhatian. Banyak yang menatapnya menghakimi seolah dia tengah memarahi keponakannya dengan sadis.
“Anjir! Ini Bocah buat aku kehilangan jejak seseorang yang aku cari selama ini. Mana pakai mewek segala,” resahnya dalam hati.
“Iya ... iya, saya ganti rugi,” putusnya. Dia mengeluarkan sepuluh uang merah di dalam dompetnya.
“Wah, uang Om banyak banget. Kalau uang Eve tidak pernah sebanyak itu,” ujar gadis itu polos.
Dia memanjangkan leher untuk mengintip isi dompet pria di sampingnya yang tentunya lebih tinggi darinya. Dia bisa melihat kartu nama pria itu.
Pria itu mendelik dan menutup dompetnya cepat. Dia meraih tangan gadis itu dan meletakkan uang di tangan mungilnya.
“Uang buat ganti rugi motor kamu yang lecet.” Pria itu berbalik badan, tetapi gadis itu buru-buru menghadangnya.
“Om seharunya tanggung jawab! Bantu bawa ke bengkel. Bengkel di sini jauh!” ujarnya cemberut.
Pria itu berdecak frustrasi. Terpaksa dia mendorong motor gadis mungkin umurnya masih delapan atau sembilang belas tahun.
***
Gadis itu tersenyum senang saat lecet depan motornya sudah hilang. Padahal dia yang salah jalur.
“Sekarang sudah selesai, ‘kan?” tanya pria itu.
“Iya, sudah, Om. Hehehe, makasih,” ujarnya cengengesan.
“Hm.”
“Om Jevras mau nebeng sampai ke mobil Om parkir, nggak?”
Jevras kaget saat gadis remaja itu mengetahui namanya. Pasti karena sudah mengintip tadi.
“Baiklah.” Jevras duduk di belakang gadis itu. Dia sebenarnya bisa saja mengganti untuk mengemudi, tetapi dia mau memberi hukuman pada gadis itu.
Saat motor melaju begitu dengan tempo tidak teratur. Pelan dan kadang melaju membuat alis Jevras bertautan.
“Awas! Tiang!” teriak Jevras.
Bruk!
Naasnya mereka berdua jatuh. Tubuhnya ditindih gadis itu. Jevras segera menyingkirkan tubuh gadis yang membuatnya sial.
“Mata kamu berfungsi dengan baik, nggak?! Itu ada tiang di depan bukan menghindar malah nabrak!” bentaknya murka.
Gadis itu bangun dan menahan sakit di kakinya. Dia memilin roknya degan mata memanas.
“Maaf, Om. Eve baru belajar naik motor,” ujar gadis itu polos.
Tubuh Jevras terkulai mendengar pengakuan gadis bernama Eve itu.
Dia tidak habis pikir kenapa gadis itu nekat mengendarai motor jika masih belajar. Yang benar saja!
“Arghhh!” Jevras menahan emosi.
Dia membantu motor Eve berdiri yang kini malah lecet kembali, tetapi itu bukan tanggung jawabnya lagi. Baginya sudah cukup dia ganti rugi.
Dia memutuskan untuk berjalan kaki karena jaraknya sudah lumayan dekat. Dia meninggalkan Eve yang masih berdiri mematung di sana.
Lelehan kristal bening jatuh di pelupuk mata gadis itu. Dia menatap motornya dengan takut.
“Paman, dan Bibi pasti murka,” gumamnya mulai khawatir.
Di kepalanya mulai terbayang bambu rotan yang sering dipakai untuk memukul kaki dan tangannya.
***
Brak!
Draco, dan Axelio yang sedang duduk menatap monitor di depannya kaget mendengar pintu dibanting.
“Ada apa dengan wajah suntuknya?” tanya Axelio kepada Draco.
“Entahlah, dia biasanya tidak seperti itu. Mungkin dia ada masalah,” bisik Draco.
Axelio hanya mengangguk dan kemudian melanjutkan menatap monitor dan menjelaskan kepada Draco tentang kode rahasia wilayah mereka.
Sementara itu Jevras membanting dirinya di atas kasur. Setelah sekian lama dia memikirkan wanita di dalam hatinya. Menyimpannya dengan rapi meski hilang tanpa jejak dan saat menemukannya pertama kali setelah sepuluh tahun hilang. Dia malah kehilangan jejak lagi. Semua karena gadis yang tiba-tiba keluar jalur di jalan.
"Shopia,” lirih Jevras. Dia sungguh merindukan gadis pujaannya itu.
***
Bugh!
Bugh!
“Hiks, ampun, Bibi.”
Eve berteriak kesakitan saat bambu rotan mulai mendarat mulus di kakinya. Dia sudah bersimbah air mata, tetapi belum ada belas kasihan yang ia dapatkan.
“Kau tahu berapa harga motor itu? Kita susah payah membelinya dan kau sebagai anak pungut malah tidak tahu diri membuatnya lecet!” berang Bibi Eloise.
“Ck, dia itu pasti ingin pamer jika memakai motor baru ke sekolah. Bahkan berani ingin pulang tanpa bersamaku, Ma. Dia pasti sengaja ingin meninggalkanku di sekolah,” tambah Bella untuk memanasi ibunya.
Eloise yang mendengar penuturan putrinya melayangkan tamparan keras untuk Eve hingga gadis itu tersungkur. Pipinya lembam membiru.
“Kau hari ini tidak mendapat jatah makan!”
Eve hanya menunduk meringis menahan nyeri tubuhnya. Dia meringkuk ketakutan melihat betapa kejamnya bibinya memperlakukannya.
“Rasain! Makanya jadi anak pungut jangan belagu!” ejek Bella saat ibunya sudah pergi.
Eve hanya diam mendapat ejekan sepupunya. Mau berkata yang sejujurnya kepada bibinya pun tidak akan dipercaya.
Bella yang menyuruhnya pulang dengan membawa motor gadis itu. Walaupun dia sudah menjelaskan kalau dia belum terlalu bisa, tetapi Bella memaksa.
Gadis itu beralasan ingin pulang bersama temannya naik mobil karena matahari terlalu terik.
Akhirnya, dia pasrah dan mencoba mengendarai. Padahal dia baru belajar, itu pun belajarnya saat ayahnya masih hidup. Makanya saat itu dia terpaksa bersikap galak walaupun takut kepada Jevras, karena dia tidak mau mendapat hukuman.
Enam bulan yang lalu, ayahnya menyusul ibunya yang sudah meninggal saat melahirkannya.
Untuk itu, dia tinggal bersama bibinya dan malah mendapat perlakuan tidak baik. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tiada tempat untuk berpulang selain di sini.
“Hiks, Ibu, Ayah,” isaknya.
Dia menyeret tungkainya menuju ke kamar yang tepatnya gudang di dapur. Dia menatap lampu yang nyaris sudah redup di dalam kamarnya.
Dia hanya gadis polos yang mencoba bertahan hidup di saat dunia mulai kejam kepadanya.
“Ah, aku lapar sekali,” lirihnya memegang perutnya.
Dia teringat uang yang diberikan Jevras masih ada sisanya.
“Aku akan membeli makan di luar.”
Dia mengobati lukanya sejenak dan mengganti seragamnya menggunakan celana training dan memakai jaket.
Dia keluar kamar dan ternyata sudah gelap. Ia berjalan ke dapur melihat bibi, paman dan juga Bella sedang menyantap makan malam.
“Bibi, Paman, Eve pamit keluar sebentar,” ujarnya.
“Keluarlah. Awas kalau kamu macam-macam,” ujar Bibi Eloise. Dia mengibaskan tangan.
Bella menatap remeh ke arahnya. “Hus, keluarlah. Kamu pasti lapar, ‘kan? Jam-jam seperti ini banyak sisa makanan di tempat sampah,” ujarnya membuat Eve hanya diam.
Gadis itu keluar dengan memakai topi jaketnya agar lembam di wajahnya tidak dilihat orang.
Cuaca luar terasa dingin. Dia tidak menyadari jika tadi sore gerimis membuat jalanan tampak lenggang. Apalagi dia memang tinggal di lorong-lorong kompleks. Bukan di lorong perumahan elit.
“Eh, Adek mau ke mana?” tanya seorang pria bertubuh kekar menghampiri Eve.
“Mau beli makanan di warung, Om,” jawabnya polos. Dia bahkan tidak curiga dengan pria di depannya kalau memiliki niat terselubung.
“Adek ikut Om saja. Om juga mau beli makanan di warung.”
Eve menurut. Dia mengikuti tanpa curiga sampai tiba di sebuah jalan setapak menuju lorong gelap.
“Masih jauh, ya, Om?” tanya Eve.
“Sedikit lagi.”
Eve menatap beberapa perkumpulan pria di depannya kini menatap lapar seolah dia adalah makanan lezat.
Dia mulai ketakutan. “Om, siapa mereka?” tanya Eve.
“Wah, lumayan malam ini walau dingin, tetapi kali ini kita mendapat yang segar,” ujar pria di sana dengan mengusap wajah menatapnya.
Eve mundur ketakutan. Dia berusaha untuk lari, tetapi kini dicegat.
Bruk!
Tubuhnya di lempar ke rumput liar. Mereka mengelilinginya membuat tubuh Eve bergetar.
“Hiks, tolong! Tolong!” teriak Eve.
“Percuma cantik. Kamu harus bersenang-senang dengan Om. Berikanlah tubuhmu secara suka rela.”
Eve menggelengkan kepalanya. Dia menangis sejadi-jadinya.
Dan, di sana seorang pria yang tidak jauh tengah membuat seorang pria tua tersungkur dengan tubuh gemetar.
Dia baru saja menangkap anak buah tikus-tikus yang mencoba merangkak mengambil keuntungan dari perusahaan Bosnya.
“Hiks, tolong!”
Dia menoleh saat mendengar suara orang minta tolong. Suaranya tidak asing.
“Kalian bawa dia ke penjara bawah tanah sampai dan siksa dia sampai membuka mulut.”
“Baik, Tuan!”
Pria itu mengikuti suara yang di dengarnya dan dia melihat gadis remaja yang membuat dia jatuh tadi siang di sana tengah dikelilingi pria yang mencoba menanggalkan bajunya.
“Kalau kalian masih sayang dengan nyawa kalian maka tinggalkan dia,” ucapnya tenang.
“Siapa kau?! Beraninya mengusik ketenangan kami!” murka salah satu pria di sana yang merupakan pemimpin kelompok mereka.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, tetapi kalau mulutmu masih lancang bertanya ... aku akan dengan senang hati menjelaskannya lewat ini,” balasnya.
Eve menatap pria yang berdiri jauh di depannya. “Om Jevras,” lirihnya tanpa suara.
Jevras bisa membaca pergerakan Eve. Dia maju menipis jarak dengan semua orang di sana.
Jevras mengambil pistol di balik saku jasnya. Dia membuat pria-pria itu ketakutan. Memang hanya pereman jalanan.
“Ayo, kabur!” teriaknya membuat mereka lari terbelit-belit.
Jevras kembali menyimpan pistolnya dan mendekati Eve yang masih menangis.
“Ternyata kamu memang cengeng,” ujar Jevras membuat Eve mengusap air matanya.
Dia tidak mau terlihat lemah di depan Jevras. Dan, rahang Jevras mengeras melihat luka lembam di pipi gadis itu.
“Apa mereka memukul pipimu?” tanyanya menyentuh luka di pipi Eve sampai gadis itu meringis.
“Tidak, Om,” jawab Eve.
“Lalu?”
Eve hanya menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin menceritakan kalau dia habis disiksa habis-habisan karena motornya.
“Baiklah.” Jevras berdiri. “Lalu, ke mana kamu ingin pergi di malam-malam seperti ini?” tanya Jevras.
Eve menceritakan kalau dia ingin membeli makanan warung sampai bertemu dengan pria tadi dan menawarkan untuk mengantarnya membeli makanan, ternyata dia hampir diperkosa.
“Dia bisa galak dalam satu waktu, tetapi polosnya juga kelewatan,” batin Jevras.
“Om, Eve pergi dulu. Perut Eve sangat lapar,” ujarnya.
Jevras sebenarnya harus ke markasnya untuk menemui pria yang disekapnya itu, tetapi entah dia merasa tidak tega meninggalkan Eve di sini.
“Kamu ikut saya.”
Jevras meraih tangan Eve menuju apartemennya.
***
TBC

Book Comment (436)

  • avatar
    SusantoDinar

    pinjam uang dana

    6d

      0
  • avatar
    LawatiSusi

    membaca sekilas sudah seru

    6d

      0
  • avatar
    FirdausMuhammad

    cerita yang sangat menarik dan saya amat menyukainya

    9d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters