logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 TIDAK USAH MENDORONGKU!!!

“Kalau boleh saya tahu, ade ini siapanya Tuan?” Tanya Pak satpam.
“Sebenarnya saya ....”
“Ada siapa pak?”
Ucapan Thalia terhenti ketika mendengar suara tersebut.
"Ini Nyonya Seli, Ade ini menanyakan Tuan," ucap Pak satpam yang gugup saat mengetahui itu adalah Nyonya.
‘Nyonya Seli? Dia siapa nya papa’ selidik batin Thalia.
Nyonya Seli memperhatikan Thalia dari ujung kepala hingga ujung kaki yang membuat Thalia tidak nyaman dengannya. "Ada keperluan apa anda mencari suami saya?" Tanya nyonya Seli dengan tatapan sinis.
‘Hah? Suami?’ sontak Thalia melamun untuk beberapa saat, ia memperhatikan Nyonya Seli seksama.
‘Ternyata papa memiliki istri lain, apa karena ini mama meninggalkan papa, aku jadi penasaran sebenarnya apa yang terjadi antara papa dan Mama,’ Pikirnya.
"Ehmm ... Itu Bu ... Anu ... ehmm, Saya ingin berbicara dengan Pak Ardian," jawab Thalia dengan pelan.
"Langsung saja ke saya! Saya ini istrinya Ardian!" ketus Nyonya Seli.
Kelu Thalia seketika mendengar suara ketus Nyonya Seli. "Um, bagaimana ya bu,” ‘Ahhhhhh mamaaaa mau pulang aja kekontrakan, jadi serasa maling yang diintrogasi’ teriak hati kecil Thalia. “Saya hanya ingin berbicara langsung dengannya,” sambungnya.
"Sepenting itu kah anda ingin berbicara dengan suami saya, anda itu klien atau ingin melamar pekerjaan di perusahaan suami saya?!"
Thalia dengan cepat menggelengkan kepala. “Eh, bukan bu, bukan.”
"Lalu kamu mau apa datang kemari?! Kamu ingin meminta sumbangan?!" serunya.
"Bukan Bu ... Saya ingin ..."
"Ingin apa, kamu ini membuang waktu saya saja!” seru Seli
Badan Thalia gemetar, entah apa yang harus ia jawab, bingung dan pasrah bercambur jadi satu. “Kalau saya menjelaskan ke Ibu, pasti ibu tidak percaya,” ucapnya.
“Tidak Percaya bagaiman?! Apa suami saya selingkuh dengan anak bau kencur sepertimu dan kamu kemari ingin meminta pertanggung jawaban?! Sudah kamu pergi sana!" Jawab Nyonya Seli dengan nada tinggi, Pak Satpam hanya bisa tertunduk karena ia pun takut dengan majikannya.
"Bukan Bu Anda salah paham, saya kemari hanya ingin memberitahu Pak Ardian bahwa saya ini—," Tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang keluar dari rumah itu dan menghampiri mereka.
"Mami ada apa sih berisik sekali?" tanya anak perempuan itu kepada Nyonya Seli.
"Bukan apa-apa sayang, hanya pengemis yang maksa minta sumbangan," ucap nyonya Seli ke anak perempuan itu. Dia adalah Renata, anak dari nyonya Seli.
Renata memperhatikan Thalia dengan seksama.
"Kamu masih sekolah tapi tidak tau malu! Memaksa orang untuk memberimu sumbangan!" ketus Renata yang merendahkan Thalia.
"Maaf, saya kemari bukan ingin meminta sumbangan," ucap Thalia dengan mendekati mereka, ia tak percaya bahwa Nyonya Seli akan mengatakan hal itu.
"Ih, ngapain kamu kemari! Udah sana kamu pergi! Jangan berani datang kesini lagi!" ucap Renata dengan mempertegas diakhir, lalu mendorong Thalia hingga membuatnya jatuh tergores aspal yang membuat tangannya baret.
Thalia langsung bangkit tanpa memedulikan lukanya, tapi ia tak bisa menahan tangisnya.
‘Sakit’ cairan bening itu menetes dari matanya.
"Kamu tidak mendorong saya pun saya akan pergi! Maaf bila saya kemari mengganggu waktu kalian, dan lagi saya bukan orang yang melakukan hal serendah itu!" Tegas Thalia dengan mengusap air matanya.
"PERMISI!" tegas Thalia, lalu mengambil tasnya yang sempat terjatuh kemudian pergi.
Tanpa ia sadari, tiba-tiba..
BYURRRR
Badan Thalia basah seketika, ia sontak terkejut dan menoleh ingin tau siapa yang telah berbuat seperti itu.
“Sana pergi jangan balik lagi ke sini!”
Thalia pun melotot tak percaya melihat siapa yang membanjurya sampai membuat semuanya basah. ‘Anak itu!’ geram batinnya. ‘Menyebalkan! Basah semua kan baju sama bukuku!’
***
Thalia menyusuri jalan dengan tak tahu arah, hatinya seperti tertusuk pisau tajam yang tak bisa ia lepas, ia sakit hati dan kesal atas penghinaan yang diberikan Nyonya Seli dan anaknya, mereka dengan sangat berani merendahkan sampai berani menyiram orang lain yang bahkan belum mereka kenal.
"Mama sekarang Thalia harus bagaimana ma." Keluhnya.
Thalia duduk termenung di bangku jalan sambil memperhatikan tangan yang terluka, dan bukunya yang basah, ia tak tahu harus berbuat apa, kalau ia tinggal di rumah Omah pasti akan bertemu lagi dengan Gerar, yang pastinya akan menyuruhnya pergi, dan lagi Thalia sudah mengatakan kalau ia akan pulang ke rumah papa.
Tiba-tiba ponsel Thalia berdering.
Drt …
Hati Thalia kembali berseri karena yang menelponnya adalah sahabatnya.
'Elina' dengan mengangkat telpon tersebut.
"THALIA!" seru Elina.
"Kau bisa pelan sedikit gak sih! Telingaku mau copot nih! Aku juga gak tuli, tau!" seru Thalia.
"Hehehe ... Thalia sekarang aku sudah pulang nih, kamu pasti kangen kan sama aku," ucap Elina.
"PD bangettt! Siapa juga yang kangen, kenapa kamu kembali, hah! Ku kira kau tak ingat pulang!"
"Jangan marah dong ta, hehehe ... Aku kelamaan berlibur ya," ucap Elin tanpa dosa.
"Kau kira 1 bulan sebentar HAH! … Sudahlah, kau sekarang ada waktu tidak? Aku lagi Kesal nih!" ucap Thalia kesal.
"Oleh karena itu aku menelponmu, bagaimana kalau aku ke kontrakan mu?" ajak Elin yang belum mengetahui kalau Thalia sudah tidak tinggal di kontrakkan lagi.
Deg!, "Ah, ke tempat biasa saja, Lin!" lirih Thalia.
"Taman Bumiku maksudmu?"
"Iya!"
"Oke, kamu tunggu di sana ya, aku berangkat!"
"Oke!" Thalia kemudian memutuskan panggilan itu, lalu pergi ke Taman, sebelum pergi Thalia membersihkan tangannya yang terluka agar tak terlihat oleh Elin. ‘Baju ku basah lagi, masa harus lari larian dulu biar kering kena angin.’
***
Thalia sudah sampai lebih awal dibanding Elin, dengan napas terengah-engah dan yang pasti bajunya lebih basah dari yang tadi. Ia menunggu Elin di bangku yang biasa mereka tempati, tak lama kemudian ….
"THALIA!" teriak Elin yang mengejutkan Thalia dan memeluknya hingga membuat Thalia kesulitan bernapas.
"Elin—, lepaskan!”
“Kamu ini suka sekali membuat gendang telingaku berdenging!" ucap Thalia dengan mencubit pipi Elin.
"Ah—. Thalia, aku kangen sama kamu," rengek Elin. “Ngomong-ngomong bajumu kenapa basah gitu?” lanjut tanya.
“Oh ini, tadi abis lari, jadi penuh keringat, biasa bakar kalori, yang perutnya buncit ma mana tau, hehe” ujar Thalia dengan terkekeh.
“Kamu ini menyebalkan!” rajuk Elin.
“Oh iya Thalia! Aku lupa, aku membawa oleh-oleh nih, untukmu dan juga Bibi Nadia, setelah ini kita ke kontrakan kamu ya! Sudah lama aku tidak bertemu Bibi.” Elin menyodorkan oleh-oleh yang dibawanya.
Thalia hanya diam tertunduk pada oleh-oleh yang diberikan Elin.
“Thalia, kamu kenapa? Biasanya kamu sangat senang bila aku kasih oleh-oleh ... kamu gak suka ya?” ucap Elin kecewa.
“Bukan.” Thalia menggelengkan kepala.
Wajah hampa Thalia kembali terukir, “Maaf Elin aku gak ngasih kabar ke kamu, sebenarnya mamaku udah meninggal,” lirihnya.
Sontak Elin terkejut dengan perkataan Thalia. “Kenapa kamu gak memberitahuku, Thalia!” serunya.
Thalia berpaling, tak ingin memperlihatkan kesedihan di wajahnya. “Maaf Elin, aku gak mau ganggu waktu kamu sama keluarga kamu, aku juga gak mau kamu khawatir sama keadaan aku di sini.”
“Kamu ini! Kamu anggap aku ini apa sih! Aku itu sahabat kamu lohhhhh Thaliaaaaaaa!” Kesal Elin, ia kemudian menghela napasnya dan memeluk Thalia dengan pilu.
“Lalu bagaimana dengan kontrakanmu?” tanyanya.
“Ya, karena aku gak bisa membayarnya jadi aku pindah,” ucapnya enteng.
“Lalu, kamu sekarang tinggal di mana?”
“Ada seseorang yang baik padaku dan memperbolehkanku menetap sementara waktu di rumahnya,” jawab Thalia.
Elin hanya melongo, mengiya-iyakan ucapan Thalia, ia pun memberikan tawaran pada Thalia untuk tinggal sementara di rumahnya.
“Iya deh aku menginap sebentar di rumahmu, sebelum papaku pulang,” ujar Thalia.
“Hah aku tidak salah dengar, papamu? Bukannya papamu sudah ....”
“Nanti aku ceritakan setelah di rumahmu,” ujar Thalia.
Elin yang dibuat keheranan hanya mengernyitkan alisnya. Lalu Thalia mengajak Elin berkemas dari rumah Omah, dan membuat Elin semakin keheranan.
“Omah?” tanya Elin heran.
“Iya, orang baik yang telah memperbolehkanku tingal.”
“Aku ikut!”
“Okeyyy.”
***
Setibanya di rumah, omah terlihat sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya, Thalia mengangetkan omah dengan memeluknya dari belakang.
“Omahhh!” kejutnya
“Thalia! Kamu mengagetkan Omah! Untung Omah gak jantungan,” ucap Omah dengan memukul pantat Thalia.
Mereka tertawa bersama, Elin iri melihat mereka berdua yang sangat akrab. “Uhuk uhuk!” Elin pura-pura batuk agar tidak diabaikan oleh Thalia.
“Oh iya Omah, kenalkan ini sahabat Thalia namanya Elina, Elin ini Omah.”
"Halo Omah," salam Elin.
“Wah, kamu sepertinya blasteran ya?” tanya Omah penasaran pada Elin.
“Hehehe, iya Omah, Papa asli orang Jepang-Amrik,” jawab Elin dengan menggaruk kepala.
Selepas bercanda Thalia meminta izin kepada omah untuk berkemas karena akan pulang ke rumahnya.
“Loh, kok cepat amat pindahnya, papa kamu sudah pulang?” tanya Omah.
“I ... iya Omah, Elin kemari membantu Thalia membereskan barang,” jawab Thalia dengan gugup.
Elin heran kenapa sahabatnya berbohong seperti itu. ‘Pasti ada sesuatu yang salah, nanti aku harus menanyakannya,’ pikir Elin.
***
Saat masuk ke dalam rumah, hati Thalia sangat lega karena Darel dan Gerar tak terlihat batang hidungnya.
“Sebaiknya aku harus cepat sebelum mereka datang,” gumamnya.
Thalia dan Elin pun memasuki kamar. Setelah selasai membereskan barang, Elin menunggu Thalia yang sedang berganti pakaian di depan rumah dengan ditemani Omah, mereka bersenda gurau bersama.
Saat Elin sudah tidak bersamanya, Thalia mulai memperhatikan lukanya. "Aduh ... lukanya perih bangettt, heee... tapi lebih perih kehidupan ini.”
“Untung lukanya gak ketahuan, harus pake baju panjang nih buat nutupinnya," gumam Thalia dalam kamar.
Thalia telah selesai berganti baju, ia pun keluar dari kamarnya, ia melihat Darel dan Gerar yang sedang main game bersama, Thalia terlihat canggung saat melewatinya. Thalia merasakan firasat yang buruk.
“Thalia!” Panggil Darel yang menghampirinya dengan diikuti Gerar.
“Eh.. Darel,” gugupnya. “Kak,” Thalia memanggut.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Darel.
“Iya Darel, makasih ya! Udah ngizinin aku tinggal di sini, kalau bukan karena kamu, mungkin sekarang aku jadi gelandangan di jalan,” balasnya.
“Sebenarnya kamu tinggal di sini selamanya juga boleh.” Darel melebarkan senyumannya dengan menepuk pundak Thalia, ‘Gak deh!’ Thalia hanya tersenyum dibuatnya.
Di samping Darel ada Gerar yang hanya menatap Thalia dengan wajah acuhnya, mereka pun mengantarkan Thalia ke depan rumah. Terlihat Omah dan Elin yang masih berbincang.
“Elin, ayo kita pulang!” Tangan Thalia menepuk pundak Elin.
Darel dan Gerar baru mengetahui kalau Thalia membawa teman. Elin pun melihat ke arah mereka lalu menunjuknya dan melirik ke arah Thalia seperti sedang bertanya, ‘Siapa mereka?’
“Oh iya Elin, ini Darel, cucu Omah, ini kak Gerar.”
Darel mengulurkan tangan ke Elin. “Darel.”
Elin pun menerimanya dengan baik. Tapi Gerar malah sebaliknya, ia hanya melirik Elin lalu mengacuhkan dan tak peduli. Gerar lebih tertarik menatap Thalia dengan tatapan dinginnya, Thalia dibuat risih dengannya.
“Ta, kayaknya, yang kamu sebut kak Gerar itu, otaknya gak beres yah,” bisik Elin..
Thalia melotot ke arah Elin, ia takut kalau Gerar mendengarnya. “Hus kamu, ngomongnya nanti, gimana kalau dia dengar, kamu mau dijadiin daging cincang di sini olehnya!” bisik Thalia.
Elin langsung terdiam mendengar ucapan Thalia.
Setelah berpamitan dan berterima kasih, Thalia lalu menyium punggung tangan omah.
“Yah, Omah jadi tidak ada teman lagi deh, kamu jangan sungkan ya Thalia, Kalau kamu mau main ke sini ya ke sini saja, kamu harus sering-sering berkunjung loh ya!” ujar Omah.
“Siap Omah, nanti kalau Thalia ada waktu luang Thalia pasti mampir kesini,” ucapnya.
“Thalia ... kita kan sudah kenal, tapi aku belum punya nomormu loh.” Darel menyodorkan ponselnya ke Thalia.
Thalia hanya menggelengkan kepala dengan tersenyum, ia pun memberikan nomornya ke Darel.
“Aku ikut boleh?” canda Darel.
Dengan perlahan ia mengerutkan alisnya. “Kalau kamu ikut, nanti aku disebut penculik oleh penjagamu,” ucap Thalia dengan melirik ke arah Gerar.
Gerar merasa perkataan Thalia itu untuknya, ia pun menatap Thalia dengan tajam, Darel masih mempertanyakan ada apa dengan mereka berdua.
“Kami pamit ya omah,” ucap Thalia.
“Iya hati-hati ya sayang.” Omah melambaikan tangan ke arah Thalia. Darel pun begitu, berbeda dengan Gerar yang segera masuk ke dalam rumah.
***
Rumah Elin.
Mereka menghempaskan diri ke sofa melepas lelah. Elin menatap Thalia dengan pilu, merasa kasihan dengan sahabatnya ini yang sepertinya sangat banyak beban.
“Thalia, kamu kan janji menceritakan semuanya padaku!”

Book Comment (25)

  • avatar
    Nur jazamalinahNur jazamalinah

    🤍🤍🤍🤍

    02/03/2023

      0
  • avatar
    FernandesAyub

    Sangat mempesona dan menarik ceritanya

    24/01/2023

      0
  • avatar
    AnnaimaAzzahra

    bagus

    22/10/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters