logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Mencari

Sinar matahari yang menembus kaca jendela berhasil membangunkan Thalia yang tertidur lelap.
“Hoammm … sudah pagi ternyata,” ujarnya sambil melirik jam di dinding kamar nya.
Thalia segera bergegas untuk bersiap-siap sekolah.
Seragam putih abu melekat di tubuhnya. Sambil bercermin ia berkata ....
“Selamat pagi Thalia, semangat untuk hari ini.”
***
Sembari menunggu waktu masuk, Thalia membaca buku pelajaran miliknya sambil memakan sebuah roti.
Thalia termasuk siswa pandai di kelasnya. Ia selalu mendapat peringkat pertama. Waktu luangnya selalu ia manfaatkan untuk membaca buku.
“Selamat pagi anak-anak.” Seorang guru masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi pak,” Jawab seluruh murid.
***
Proses pembelajaran pun berakhir. Semua murid bergegas pulang, begitu pun dengan Thalia.
Sesampainya di rumah, Thalia menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya. Sambil menatap atap kamarnya.
“Mama, Lia kangen.” Tetes demi tetes air mata berhasil keluar dari pelupuk matanya. Sudah 2 minggu berlalu saat Nadia meninggalkannya.
Ketukan pintu menyadarkan ia dari lamunannya. Ia segera membuka pintu rumahnya.
“Eh Ibu, ada apa ya Bu?”
Ternyata yang datang adalah Bu Tari, pemilik kontrakan.
“Hmmm, gimana ya dek ngomongnya,” ucap Bu Tari.
Thalia menatap bingung Bu Tari.
“Masuk dulu yuk Bu, bicaranya di dalam saja,” ajak Thalia.
“Ehh tidak usah de, disini aja.”
“Gini de, kan waktu kontrakannya sudah habis ya. Jadi, Ade harus cari kontrakan lain,” lanjut Bu Tari.
“Yahh Bu, memangnya tidak bisa di perpanjang ya masa kontrakannya? Saya janji deh bulan depan saya bayar.”
“Maaf de tidak bisa soalnya sudah ada yang mau menempati kontrakan ini.”
“Yaudah deh Bu, besok saya pindah ke tempat lain. Terima kasih ya Bu.” Thalia kecewa sekaligus bingung ia harus bagaimana.
“Iya de sama-sama. Saya permisi dulu ya de.”
“Iya Bu.” Thalia menatap punggung bu Tari yang mulai hilang dari pandangannya.
“Aku harus pergi kemana?” gumamnya.
Seketika ia teringat surat yang di berikan oleh mendiang mamanya. Ia pun bergegas ke dalam kamar, mengambil sebuah foto yang terselip di surat.
“Aku harus cari alamat ini. Semoga papa tidak pindah dari alamat ini.”
Thalia senang karena ia sudah tahu harus pergi kemana. Meskipun ia tidak pernah bertemu dengan papanya, ia berharap papa dapat menerima kehadirannya.
***
Keesokan harinya Thalia bersiap-siap untuk pergi ke alamat yang diberikan mamanya.
“Mama, doain Lia ya semoga Lia bisa ketemu sama papa. Hari ini Lia harus pergi dari rumah ini, rumah yang kita tempati dari waktu Lia kecil. Banyak cerita yang kita buat di rumah ini. Tapi hari ini Lia harus pergi, Lia janji Lia akan buat mama di sana bahagia. Lia sayang sama mama.” Thalia menatap foto mama yang ada di tangannya sambil tersenyum.
Thalia pun pergi dengan penuh harap
***
Di sinilah ia berdiri. Di depan rumah megah bernuansa putih.
“Wahhh, rumahnya besar banget,” ujarnya sambil tak henti menatap takjub bangunan yang ada di depan matanya.
‘Ini bener rumah papa? Salah gak ya?’ monolognya
“Permisi, ada perlu apa ya de?”
‘Ihhhh, ade lagi ade lagi, usia aku udh 17 tahun tau! Emang badan aku sekecil itu ya?’ gerutu nya dalam hati.
Thalia melirik ke arah suara tersebut.
Ternyata seorang pria paruh baya memakai seragam putih hitam sudah ada di sampingnya, yang ia yakini bahwa pria itu adalah penjaga rumah tersebut/satpam.
“Mau tanya Pak, ini rumahnya Pak Ardian Wijaya bukan?” tanya Thalia.
“Iya betul de.”
Thalia tersenyum senang, akhirnya ia sampai di rumah papanya.
“Boleh saya masuk?”
“Apa ade sudah membuat janji dengan Tuan?” tanya satpam itu.
‘Janji? Maksudnya Janji gimana sih?’ “Um ... belum ... Pak,” ucap Thalia terbata-bata, karena ia bingung, apa yang diucapkan oleh satpam tersebut.
“Memangnya, ada perlu apa ya de?”
“Hmmm….” Thalia kebingungan harus menjawab apa.
‘Aduh jawab apa ya…masa harus bilang kalau aku anaknya Pak Ardian, pasti Pak Satpam gak akan percaya sama aku,’ ucapnya dalam hati.
“De ... de ...,” panggil Pak Satpam sambil melambaikan tangan di depan wajah thalia.
“Ehh iya Pak.” Thalia tersadar dari lamunannya.
“Ada perlu apa de?” Tanya Pak Satpam.
“Ehhh itu Pak ... anu ... saya ingin bertemu dengan Pak Ardian!” pinta Thalia.
“Kalau Ade ingin bertemu Tuan sekarang tidak bisa, karena Beliau sedang berada di luar kota.”
“Yahh…,” ucap Thalia dengan nada kecewa.
‘Luar kota? Kayanya papa orang yang sibuk,’
“Pulangnya kapan, Pak?” tanya Thalia.
“Sepertinya, lusa Tuan baru pulang, de.”
“Kalau Ade ingin bertemu bapak, Ade datang lagi aja lusa,” lanjut Pak Satpam.
“Yaudah deh pak nanti saya ke sini lagi.” Thalia pun beranjak pergi.
“De ....” Langkah Thalia terhenti.
“Ada apa, Pak?”
“Nama Ade siapa?” tanya Pak Satpam.
“Thalia, Pak,” jawab Thalia.
“Ada hubugan apa sama Tuan? Kliennya?”
“Kalau Tuan sudah pulang saya akan memberitahunya,” lanjut Pak Satpam.
Tanpa menjawab Thalia pun pamit pergi.
“Permisi, Pak.”
“Anehh ...,” ucap Pak satpam kebingungan.
***
Menyusuri jalanan dengan ditemani teriknya matahari membuat Thalia merasakan haus dan lapar. Thalia pun memutuskan untuk berhenti di depan warung nasi.
“Bu, pesen nasi sama telur ya.”
“Baik, silakan duduk dek!”
‘Ahhh, ade lagi, au ah’
“Iya, terima kasih. Hmm, satu porsinya berapa, Bu?”
“10.000, dek.”
“Ini Bu uangnya.” Sambil memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
“Oke de, tunggu sebentar ya de.”
“Iya Bu.”
“Aku harus kemana dulu, sedangkan besok aku harus sekolah. Uang aku tinggal sedikit, tidak akan cukup kalau buat sewa kost-an,” gumamnya.
Thalia mendesah kecewa.
“Ini de,” ujar ibu warung sambil memberikan sepiring nasi.
“Terima kasih Bu.”
Saat sedang asik makan Thalia dikejutkan oleh kedatangan seorang pemuda yang tak sengaja menyenggolnya.
“Uhukk … uhukkk!” Thalia tersedak.
“Ehh, maaf-maaf.” Pemuda tersebut memberikan secangkir minum kepada Thalia.
“Terima kasih,” ujar Thalia.
“Iya sama-sama, sorry ya tadi aku tidak sengaja.”
‘Dasar nyebein banget, basahkan baju aku,’ decak kesal batinnya.
“Iya tidak apa-apa.” Bohongnya
Thalia pun melanjutkan makannya. Pemuda itu menatap Thalia dan kemudian beralih melihat barang-barang yang dibawa Thalia. Pemuda itu terheran-heran saat melihat banyaknya barang yang dibawa Thalia
“Kamu mau kemana? Kok bawa barang banyak?” tanya pemuda tersebut.
Thalia melirik ke arah pemuda tersebut. “Mau pindah,” jawab Thalia seadanya.
“Pindah kemana? Memangnya rumahmu di mana?” Pemuda itu bertanya lagi.
Thalia melirik dengan malas.
“Kepo,” jawabnya singkat.
Pemuda itu terkekeh pelan mendengar jawaban singkat Thalia.
“Aku kan cuma tanya,” ujar pemuda tersebut.
Thalia tidak menggubris pemuda tersebut.
Selesai makan Thalia pun pergi. Pemuda tersebut melihat Thalia yang mulai beranjak pergi. Kemudian melanjutkan makannya.
“Bu, jadi berapa?”
“15.000, den.”
“Ini Bu.” Sambil memberikan uang kepada ibu warung.
“Terima kasih den,” ujar ibu warung.
“Sama-sama Bu.”
Saat hendak pergi ia tak sengaja melihat sebuah buku di meja. Di ambilnya buku tersebut.
“Thalia 12B,” ujarnya saat melihat nama di sampul buku tersebut
Saat ia tahu siapa pemilik buku tersebut, ia pun lari keluar dari warung makan tersebut.
“Pasti perempuan tadi yang punya buku ini, ternyata dia seumuran denganku.”
‘Badannya mungil amat, kirain masih smp’
Ia pun melirik- lirik jalan di sekitarnya berharap bahwa Thalia belum pergi jauh.
“Kayanya perempuan itu udah pergi jauh deh.” Ia pun duduk di kursi pinggir jalan.
Saat ia melihat ke arah taman, ia melihat seorang perempuan sedang duduk di sana.
“Nahh itu dia.” Ia pun lari ke arah taman.
“Thalia.” Panggilnya dengan keras.
Thalia yang merasa terpanggil, melirik ke arah pemuda yang sedang berlari ke arahnya.
“Ii ... nii.” Sambil memberikan buku milik Thalia.
“Aduhh cape.” Pemuda itu pun mengempaskan tubuhnya di samping Thalia.
“Terima kasih ya, aku kira bukunya hilang ternyata tertinggal di tempat makan tadi,” ujar Thalia sambil tersenyum ke arah pemuda tersebut. Pemuda itu hanya membalas dengan senyuman.
“Eh, kalau boleh tahu, kamu tuh sebenernya mau kemana sih?” tanya pemuda itu penasaran.
“Tidak tahu,” jawab Thalia sambil mengangkat kedua bahunya, Thalia pun tertunduk sedih.
Pemuda tersebut yang melihat ada kesedihan di wajah bertanya.“Kamu kabur dari rumah?”
“Hahh ... ya tidak mungkin lah,” jawab Thalia
Buat apa kabur kalau kita butuh rumah,” gumamnya.
“Maksudnya?” tanya pemuda tersebut heran.
“Aku tidak kabur, tapi disuruh pindah dari rumah ku.”
“Disuruh pindah sama orang tuamu? Kok bisa sih? Kan kamu masih kecil, masih sekolah kan? Kok malah disuruh cari rumah sendiri sih?!” Pemuda itu bertanya dengan nada marah.
‘Ni orang baru pertama kali ketemu malah meledek, anak kecil anak kecil, emang aku sekecil itu apa!’ kesal batinnya.
“Usiaku itu 17 tahun, jadi udah sewajarnya kaya gini, aku itu bukan anak kecil, Cuma badanku aja yang kaya gini,” Thalia terdiam sejenak, lalu menghela napasnya, “Sebenarnya, Ibuku sudah meninggal, aku gak bisa bayar kontrakan jadi pergi dari sana,” ucap Thalia dengan termenung.
Pemuda tersebut sontak terkejut mendengar ucapan Thalia. “Maaf-maaf, aku tidak tahu.” Pemuda tersebut merasa bersalah.
“Tidak apa,” ucap Thalia dengan senyum kecut di wajahnya.
“Kalau boleh tahu ayahmu kemana?” tanya pemuda tersebut dengan hati-hati.
“Aku belum pernah bertemu papa, sejak kecil aku hanya tinggal berdua dengan mama. Sebenernya aku dari rumah papaku, tapi papa lagi tidak ada di rumah.”
“Jadi sekarang kamu belum tahu mau kemana?” tanya pemuda tersebut.
“Iya,” jawab Thalia sambil tertunduk.
Pemuda tersebut merasa kasihan kepada Thalia.
“Mau ikut denganku?” Tanya kembali pemuda tersebut dengan penuh harap.
Thalia menatap pemuda tersebut seakan-akan bertanya, ‘kemana?’.
“Ke rumahku.”
Mata Thalia berubah menjadi selidik, ‘Serius ni orang? Kita kan baru ketemu, jangan jangan aku mau dijual kaya di sinetron gitu’
“Eh eh, aku gak akan ngapa-ngapain kamu kok, Cuma mau bantu,” jelas pemuda tersebut.
“Serius nih, emangnya boleh?” tanya Thalia selidik.
“Boleh kok, nanti aku minta bilang sama Omahku. Omahku baik kok, dia pasti membolehkan kamu tinggal di rumahku.”
“Omah?” Tanya thalia terheran-heran.
“Maksudku nenek. Aku tinggalnya sama nenek.”
“Orang tuamu?”
“Mereka pada sibuk kerja, jadi aku bosan di rumah. Aku punya adik, tapi dia perempuan tidak bisa di ajak main. Jadi aku lebih senang tinggal di rumah nenek soalnya banyak teman yang seumuran denganku.”
“Ohhh begitu.”
“Ya sudah, yuk nanti keburu sore, sini barangnya aku bantu bawa.” Sambil mengambil barang milik Thalia.
‘Ikut atau jangan ya, hmmm. Ya udah deh berfikir positif dulu aja, semoga bener kata mama, walaupun baru kenal semoga dia nolong aku,’ ucap hatinya.
Mereka pun pergi.
***
Sesampainya di rumah.
Wah ... rumahnya besar sekali, ini sama besarnya dengan rumah papa tadi, walaupun agak sedikit kuno, ucap Thalia dalam hati.
“Assalamualaikum Omah,” ujar pemuda tersebut ketika memasuki pekarangan rumah.
“Waalaikumsalam … ehh cucu Omah sudah pulang.”
“iya Omah,” sambil mencium punggung tangan omahnya.
Thalia yang merasa kebingungan pun hanya memilih diam sambil melihat-lihat rumah tersebut.
“Ini siapa? pacarmu?” tanya Omah.
“Ih omah ini, ini temanku namanya Thalia. Thalia ini Omah.”
“Thalia,” Sambil tersenyum.
“Kirain omah ini pacarmu, cantiknya.”
“Omah, Thalia boleh gak tinggal di sini untuk sementara waktu?” tanya pemuda tersebut.
Omah pun langsung heran, “Kamu mau nyembunyiin anak orang? Dasar anak nakal!” pukul omah
“Ih omah bukan kaya gitu! Urgent urgent ini mah Omah,” bela nya
“Yaudah boleh, tapi kalau boleh Omah tahu rumah kamu di mana?” tanya Omah pada Thalia.
“Thalia, udah gak punya rumah omah,” jawab Thalia.
“Lohh, memangnya orang tua kamu kemana?” tanya Omah penasaran.
Pemuda tersebut menghentikan Thalia yang hendak berbicara.
“Udah Udah, nanti saja ceritanya, masuk dulu. Berat nih!” Pemuda tersebut merasa keberatan karena barang yang dibawanya cukup banyak.
Thalia dan omah tertawa melihat pemuda tersebut yang kesulitan membawa barang tersebut saat masuk ke dalam rumah.
“Yuk masuk!” ajak Omah kepada Thalia.
“Iya Omah, terima kasih sebelumny Omah” Thalia pun masuk mengikuti omah.
“Duduk dulu ya di sini, Omah ke belakang dulu sebentar,” pamit Omah.
“Iya Omah,”
Tak lama kemudian.
“Huhh ... cape.” Pemuda tersebut menghempaskan diri ke sofa samping Thalia.
“Terima kasih ya, maaf, jadinya aku ngerepotin kaya gini,” ujar Thalia.
“Iya gak apa-apa, santai saja,” ucap pemuda tersebut sambil tersenyum lebar.
“Ini di minum dulu,” ujar omah sambil memberikan segelas air minum kepada Thalia.
“Terima kasih Omah.”
“Jadi, bagaimana ceritanya?” tanya Omah yang penasaran.
Thalia pun menceritakan semuanya.
“Jadi, Thalia tidak tahu harus kemana lagi, Omah, sedangkan besok Thalia harus sekolah,” ujar Thalia dengan nada sedih.
“Sudah, kamu tinggal di sini dulu saja sampai papa kamu pulang ya,” ujar Omah.
“Tapi Thalia tidak mau jadi beban, Omah,” ucap Thalia.
“Anak manis, kamu jangan berpikiran seperti itu, malah Omah senang kalau ada kamu, jadi, Omah ada temannya. Soalnya dia jarang di rumah sih, kerjaannya main terus,” Omah melirik ke arah pemuda tersebut.
“Hehehe.” Pemuda itu hanya terkekeh.
“Malah ketawa, sudah antarkan Thalia ke kamar tamu.”
“Siap komandan,”-Pemuda itu berlagak hormat bendera-“yuk Thalia!” ajak pemuda tersebut.
“Terima kasih ya Omah, Thalia ke kamar dulu ya,” pamit Thalia.
“Iya, istirahat ya pasti kamu cape.”
“Iya Omah.” Thalia pun mengikuti pemuda tersebut.
“Kamu tidurnya di kamar ini,” ujar pemuda tersebut setelah sampai di sebuah kamar yang cukup luas.
“Iya, terima kasih!”
“Oke, aku ke kamarku dulu.”
Saat hendak pergi Thalia menghentikan pemuda tersebut. “Ehh, tunggu!”
“Ada apa?” tanya pemuda tersebut.
“Kamu kan sudah tahu namaku, masa aku tidak tahu nama kamu sih,” ucap Thalia.
“Oh iya lupa, namaku …."

Book Comment (25)

  • avatar
    Nur jazamalinahNur jazamalinah

    🤍🤍🤍🤍

    02/03/2023

      0
  • avatar
    FernandesAyub

    Sangat mempesona dan menarik ceritanya

    24/01/2023

      0
  • avatar
    AnnaimaAzzahra

    bagus

    22/10/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters