logo
logo-text

Download this book within the app

Part 4

Arfand panik bukan main ketika mendapatkan pasein yang sudah berlumuran darah disekujur tubuhnya. Lantas ia segera memberikan pertolongan pertama, dibawa ke ruang ICU, dan meminta suster untuk menghubungi pihak keluarga. Via juga melihat pasein saat itu. Karena kebetulan Fandi atau Anita tidak ada, ia mencatat kronologis kejadian tersebut dari saksi mata. Dua orang saksi mata cukup untuk menjadi arsipnya.
Pasein berhasil diselamatkan oleh Arfand dengan sekuat tenaganya. Lalu keluarga pasein datang dan membangunkan dengan paksa, pasein yang bernama Herni tersebut. "Hey wanita gila, jangan berlagak lemah kau. Aku tahu kau berpura-pura." Ujar perempuan yang lebih muda dari si pasein.
"Kau tidak punya nyali untuk menghadapiku Herni. Kau pikir aku tidak tahu maksudmu? Ayo cepat bangun, jangan buang-buang uangku kalau kau ingin hidup." Kata si Pria. Arfand kesal dengan perilaku keluarga si korban.
"Kau tahu, aku menyelamatkannya dengan susah payah. Dia jatuh dari lantai 10 ke lantai 1 dan darahnya hampir habis, lantas dengan mudah kau membangunkan pasein dengan paksa. Kau manusia bukan?" Teriak Arfand.
"Aku suaminya, tahu semua hal tentang dia. Kau tidak berhak berteriak ditelingaku dokter gila." Jawab si suami korban.
"Manusia sedih karena pasangannya kecelakaan, kau, apa kau tak punya hati?"
"Arfand..." Via yang melihat kejadian itu langsung melerai dan mencegah Arfand untuk bertengkar mulut dengan suami si korban. "Biar aku yang selesaikan. Kau panggil Anita untuk mengecek psikologis si pasein." Kata Via.
"Baiklah." Jawab Arfand akhirnya.
Sementara itu Via mencoba untuk berbicara dengan pria tersebut. "Anda suaminya?" Tanya Via. Pria itu mengangguk.
"Ya. Dokter tolong bangunkan dia. Aku tahu dia sedang berpura-pura." Jawabnya. Via mengernyitkan dahinya, entah mengapa pria tersebut bersih keras mengatakan bahwa istrinya sedang berpura-pura.
"Mengapa Anda sangat yakin kalau istri Anda sedang berpura-pura sakit?" Tanya Via.
"Ini bukan yang pertama kalinya dia seperti ini. Dia ini penipu, dia menghabiskan uang dengan cuma-cuma." Jawab si pria.
"Maaf ini diluar konteks pertanyaan. Apa pekerjaan Anda?" Via mencoba untuk mengulik semua data kronologis si pasein sebelum mencoba bunuh diri, yang dimulai mewawancarai suaminya.
"Saya cuma karyawan toko biasa, dok." Jawabnya. Ada yang ganjil dengan kejadian itu.
"Hey Herni, kutunggu kau dirumah. Kalau kau tak bangun-bangun, jangan harap kau bisa pulang ke rumah dengan selamat." Tukas si pria.
Via menggelengkan kepalanya. Sangat aneh. Lantas si suami dan iparnya itu pergi tanpa memberikan informasi yang jelas. Via masih mengecek data pasein. Mengingat-ingat kata demi kata yang dilontarkan si suami. Merekam bahasa tubuh yang ditunjukan si pria tadi. Sambil menunggu pasein siuman, Via duduk dibangku panjang koridor.
"Dokter, ruangan kak Herni dimana?" Seorang wanita yang usianya tak jauh dengan pasein membuyarkan lamunan Via.
"Oh sebelah sini." Jawab Via. Wanita tersebut langsung masuk, Via mengikutinya dari belakang.
"Ya Allah kak. Kakak kenapa? Kenapa bisa seperti ini?" Wanita tersebut menangis dipinggir si pasein.
"Anda keluarganya?" Tanya Via.
"Saya Wulan, tetangganya kak Herni. Bu dokter, saya sudah menganggap kak Herni ini adalah kakak saya. Khasian dia bu, dia selalu disiksa oleh mertua dan suaminya. Dirumahnya ia tak pernah berhenti bekerja. Sudah uangnya diperas, tenaganya juga diperas, ya Allah. Pokoknya tragis bu. Saya tahu batin kak Herni tersiksa. Tapi ia tak pernah mengeluh soal hidup. Ia cuma ingin pergi meninggalkan suami dan keluarganya yang kejam." Jelas wanita yang bernama Wulan tersebut.
Via menemukan titik terang. Sehingga ia dapat melanjutkan observasi ke lokasi pra percobaan bunuh diri tersebut. Bahkan ia ingin mengungkap sisi psikologis si pasein. Via berkutat didepan laptop dan juga bukunya.
"Sudah jam 4, ayo kita pulang." Ajak Tikha.
"Ayo." Balas Anita dan Fandi.
"Via, kau belum mau pulang?" Tanya Anita.
"Duluan saja. Masih banyak kerjaan." Jawab Via. Informasi Wulan tetangganya tersebut cukup kuat. Tadi setelah Herni siuman, Via sempat mengobrol soal keadaan fisiknya. Untung saja percobaan bunuh dirinya gagal, nyawanya masih bisa diselamatkan. Data-data tersebut Via rangkum ke dalam satu file di laptopnya. Pun dengan rekaman hasil wawancara tadi.
"Kau dimana?" Ponsel Via berbunyi, tanda ada pesan masuk. Namun ia hiraukan. Via kembali mendengarkan rekaman dari Herni.
"Saya ingin bercerai, dokter. Saya tidak tahan dengan perilaku suami saya yang semena-mena terhadap saya. Tidak berperikemanusiaan. Sudah 10 tahun saya hidup bagaikan dikandang binatang. Diperlakukan seperti hewan. Awalnya saya tidak berniat untuk bunuh diri, namun saya tidak punya pilihan. Setiap saya ingin pergi ke perlindungan wanita, suami saya sering menyeret saya. Dan seolah-olah membuat semua orang percaya bahwa saya gila." Rekaman itu berhenti disana.
"Kau masih betah?" Seseorang mengagetkan Via. Sontak tubuh Via meloncat.
"Aaaa... Ibuuu... Hah kau mengagetkan saja." Ujar Via.
"Kau tidak membalas pesanku." Kata Arfand.
"Aku sedang sibuk." Jawab Via.
"Sudah hampir jam 5. Kau masih betah?"
"Ada yang harus aku bicarakan padamu." Tukas Via.
Arfand menghampirinya. "Dengar, aku merekam semua percakapan antara aku dengan paseinmu bernama Herni. Aku juga mendapat informan dari Wulan tetangganya. Dan lebih mengejutkan lagi, aku menemukan percakapan antara Wulan dan Herni yang membuatku merasa bahwa wanita ini perlu perlindungan dari perlindungan wanita." Jelas Via. Via memberikan rekaman tersebut kepada Arfand.
7 menit kemudian Arfand melepaskan headsetnya. "Apa ini sudah akurat? Kita bisa melaporkannya ke polisi dan ke komnas HAM." Kata Arfand.
"Ini belum selesai. Besok pagi aku akan ke rumah si korban, aku akan mencoba mengintainya dan mencari bukti lain bahwa suaminya memang melakukan kekerasan pada Herni." Jawab Via.
"Aku akan ikut denganmu."
"Untuk apa?"
"Kau wanita, bagaimana kalau lelaki itu bertindak kasar padamu?"
"Aku bisa menanganinya." Via juga memberikan rekaman cctv saat ia sedang mengobrol dengan suami Herni. "Lihat, bahasa tubuh ini menunjukan bahwa ia sedang berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Lalu ini, dia sedang mengarang cerita." Via berdiri tepat disamping Arfand, rambutnya mengenai pipi Arfand. Arfand mampu mencium harum parfume Via dari dekat. Tapi Arfand serius memperhatikan laptop Via.
"Baiklah, tapi tetap aku akan ikut denganmu." Kata Arfand.
"Yang perlu kau lakukan adalah menangani Herni. Aku menemukan hal lain dari sisi psikologisnya Herni. Ada niat yang tidak bisa kita tahu dari paseinmu. Kau tahu, niat pembunuhan tidak akan muncul jika tidak memiliki rasa sakit hati dan penyiksaan yang mendalam, kecuali orang tersebut mengalami bipolar." Jelas Via.
"Maksudmu, paseinku itu memiliki niat membunuh suaminya?" Tanya Arfand.
"Ini di Indonesia, psikolog tidak banyak. Dan bisa jadi asumsi kami salah kalau pasein yang percobaan bunuh diri tanpa didasari oleh faktor batin itu sembuh total dari keadaan fisiknya. Tapi psikisnya belum tentu, Arfand." Via menjelaskannya. Tapi Arfand tetap bersih keras ingin ikut bersama Via.
"Aku tahu, aku akan menyuruh Fandi dan para suster untuk tetap berjaga di ruangan Herni." Katanya.
"Kau...?"
"Aku sudah bilang, aku ikut denganmu. Aku mengantarmu dan hey, kau psikolog pribadiku jadi aku takut kau kenapa-kenapa." Tukasnya.
"Hey, sejak kapan aku psikolog pribadimu? Aku psikolog umum di rumah sakit ini. Jangan seenaknya." Jawab Via.
"Sejak 1 menit yang lalu. Ayo pulang." Arfand menarik lengan Via.
"Hey sebentar, aku belum merapikan barang-barangku." Jawab Via.
***
Via dan Arfand sampai di sebuah rumah yang sederhana. Seorang wanita paruh baya membuka pintu, mempersilahkan mereka masuk.
"Maaf, rumahnya berantakan. Maklum Herni sedang di rumah sakit, jadi tidak ada yang membersihkannya. Kami semua disini sibuk dengan pekerjaan kami. Saya yang sudah tua tidak bisa bekerja apapun, suka lupa. Ridwan cuma karyawan toko biasa. Dirumah ini ada 6 orang, cuma Herni yang sigap dan giat." Jelas mertua Herni.
"Uhmmm, apa kamar Herni kosong? Bolehkah saya masuk sebentar." Tukas Via.
"Ohhh silahkan. Tapi maaf kamarnya berantakan."
"Tidak apa-apa." Sementara Via ke kamar Herni, Arfand dan mertua Herni mengobrol diruang tamu. Via menemukan beberapa obat-obatan di laci kamar dan menemukan buku harian yang tersembunyi dibawah ranjang kasurnya. Secara tak sengaja Via menyenggol dus yang berisi kosmetik yang sudah kadaluarsa. Beberapa kosmetik jatuh ke lantai, lantas Via menemukan buku tersebut dibawah kolong ranjang. Via langsung memasukannya ke dalam tas begitu pun dengan obat-obatan yang ia temukan di laci. Itu cukup menjadi bukti jika Herni memang korban kekerasan dari suami dan keluarga lainnya.
Via dan Arfand lantas pamit pulang. "Apa yang kau temukan?" Tanya Arfand.
"Buku harian." Jawab Via. Lantas ia membacanya dimobil yang sedang melaju. Hari ini Via tidak membawa mobil. Jam 7 pagi, Via sudah dijemput oleh Arfand.
Sesampainya di rumah sakit, Via menyodorkan obat-obatan kepada Arfand. "Ohya, aku juga menemukan ini dilaci riasnya Herni. Kau bisa mengecek obat apa ini?" Tukas Via.
"Okey baiklah." Jawab Arfand. Via kembali menyelesaikan pekerjaannya. Ada bukti yang menunjukan bahwa Herni memang korban kekerasan dalam rumah tangga. Via membaca setiap lembar buku harian Herni, ia membayangkan kekejaman yang dilakukan seluruh keluarga suaminya terhadapnya.
Tok tok tok, pintu ruangan Via diketuk.
"Selamat siang pak Arfand." Sapa Tikha dan Anita.
"Siang. Kalian belum makan siang? Ini sudah waktunya." Balas Arfand. Via masih berkutat di depan laptopnya setelah selesai membaca buku harian Herni.
"Siang pak Arfand." Sapa Fandi.
"Hai..." Balas Arfand, "Apa diruangan ini ada yang tuli? Atau tidak menyadari bahwa aku sudah mengetuk pintu?" Arfand menyindir Via, tapi yang disindir sibuk dengan dunianya.
"Saya rasa dia sedang sibuk, pak." Jawab Fandi.
"Kurasa juga begitu." Balas Arfand. "Ssst, wanita cantik." Panggil Arfand kepada Via. Via menoleh sebentar.
"Oh hai. Arfand. Syukurlah kau cepat datang. Kau sudah tahu obat apa yang digunakan paseinmu? Aku menemukan sesuatu. Kau tidak akan percaya ini. Aku mencocokan dsm V dengan kepribadian Herni. Aku sudah memberikan tes klinis dan hasilnya cocok dengan hipotesaku." Jelas Via.
Fandi, Anita dan Tikha menoleh ketika Via menyebut nama Arfand dengan sangat santai dan bersahabat.
"Hey rileks. Kau perlu istirahat. Ayo kita makan dulu." Kata Arfand.
"Kau sudah tahu hasilnya belum?" Tanya Via.
"Sudah."
"Mana?"
"Kita makan siang bersama dulu."
"Aku tidak bisa. Aku harus menyelesaikan kasus ini dulu baru aku bisa makan." Tegas Via.
"Ohh ayolah Via."
"20 menit lagi, kalau kau membawa hasilnya. Aku janji setelah itu kita makan siang." Jawab Via.
"Berdua?" Kata Arfand. Tikha, Anita dan Fandi saling memandang. Mereka memperhatikan Arfand dan Via yang begitu akrab.
"Iya Arfand."
"Janji?" Arfand tersenyum, sudah hapal betul desakan itu disaat Via sedang sibuk. Via mendesah pelan lalu menatap Arfand.
"Aku janji Arfand." Jawab Via. Lantas Arfand memberikan hasil pemeriksaabln dari lab obat-obatan. Lalu menjelaskan obat apa saja yang dikonsumsi Herni. Hasilnya positif, Herni adalah korban kekerasan. Via mengajukan surat perihal ke perlindungan wanita untuk melindungi Herni. Surat itu dikirim via email. Setelah terkirim, Via dan Arfand langsung makan siang bersama di kantin.
"Kau hebat." Puji Arfand.
"Apanya?" Tanya Via yang sedang menunggu pesanannya.
"Tidak kusangka secepat itu kau selesaikan kasus Herni." Jawab Arfand.
"Jangan panggil aku Via kalau aku tidak hebat." Ujarnya, membanggakan diri. Arfand menjitak keningnya. Via membalasnya.
"Psikolog pribadiku."
"Siapa?"
"Kau."
"Aku? Kau gila. Aku kan sudah bilang, aku tidak mau."
"Harus." Jawab Arfand.
"Apa tunjangannya kalau aku jadi psikolog pribadimu?" Tanya Via.
"Uhmmm maumu apa?" Arfand balik bertanya, Via mengernyitkan dahinya. Berpikir sejenak.
"Makan siang gratis di kantin." Jawab Via.
"Uhmmm, okey deal." Balas Arfand.
"Serius?" Makanan yang dipesan sudah datang.
"Memangnya aku bercanda."
"Tapi itu terlalu sedikit untuk kudapatkan." Kata Via.
"Lalu kau mau apa lagi?"
"Uhmmm, bagaimana kalau dengan makan malam setiap hari? Dan nonton film setiap malam minggu." Ujar Via bersemangat.
"Kau tidak ingin uang tambahan?" Tanya Arfand.
"Kalau dengan uang segala, aku takut kau jadi bangkrut. Kurasa itu sudah cukup." Jawab Via. Arfand menyendok makanannya, lalu memasukannya ke dalam mulutnya.
"Baiklah. Permintaan diterima." Ujar Arfand.
"Baiklah. Aku setuju."
"Aku punya satu syarat untuk kau patuhi jadi psikolog pribadiku."
"Apa?" Via mengunyah makanannya.
"Setiap apa yang kuperintahkan kau harus menurut, okey?"
"Hanya itu? Ohh tenanglah, kau kan sudah mengenalku cukup lama, jadi aku tidak akan mengecewakanmu dan rumah sakit ini." Jelas Via.
"Deal?"
"Deal." Via dan Arfand menyepakati untuk saling kerjasama.
***

Book Comment (179)

  • avatar
    AmeliarhCahaya

    bagusss

    14d

      0
  • avatar
    AgustiaSELPA

    tolongg jika membaca mendapatkan 500

    20d

      0
  • avatar
    Joni

    cerita nya bagus dan menarik

    21/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters