logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Sifat Mas Dani sekarang

Tangis pedih dengan tubuh gemetar masih kurasakan sembari menatapi Dona yang masih tertidur pulas.
"Aku akan jelaskan sama Kamu. Aku hanya ingin merubah nasib kita saja!" katanya.
Mulutku mencengkram sambil menggelengkan kepala.
"Oh, jadi benar, kamu telah menjadi seorang laki-laki ... ?"
"Sungguh aku benar-benar tak habis fikir. Otak kamu dimana Mas Dani!" Emosiku kembali meluap.
Menatapi seluruh tubuhnya yang sekarang mulai tak indah lagi karena noda yang telah ia torehkan.
Dan dengan jawabannya tadi membuktikan. Kalau dia benar-benar melakukan apa yang aku tuduhkan padanya.
"Tapi itu semua Aku lakukan demi kita!" ulasnya. Tanpa rasa malu sedikitpun.
Kalimatnya mengundang emosi yang benar-benar menggejolak sejak tadi.
"Astaghfirullah! Apa tidak bisa kamu bekerja semampu Kamu, kerja yang halal dan tekun, Mas! Kamu itu, arkh! Aku benar-benar kecewa berat sama kamu!"
Wajahnya makin dibuat bingung dan serba salah. Dia telah menjadi imam yang buruk. Sungguh tak kusangka sama sekali.
Bisnis yang ia ceritakan hanyalah bohong belaka. Bisnisnya hanya jual beli ... akh.
Dadaku benar-benar sesak dan makin panas saja. Ingin aku menghantamnya sekuat tenagaku.
Ingin kurobek dan kuludahi pula, tapi aku tak sud* lagi jika harus menyentuh tubuh jijiknya.
Kuangkat leher dan kepala ini.
Mencoba tenang dan membuka mulut memberinya kepastian.
Kuatatpi wajahnya yang sedang kalut itu dengan pandangan kekecewaan yang amat sangat.
Telunjuk ini mulai mengarah pada wajah kot*rnya.
Dia menatapku penuh harap.
"Mulai detik ini Aku minta cerai, Mas! Kamu lebih baik hidup sendiri tanpa seorang anak dan istri. Aku jijik sama Kamu!"
Dia menganga mendengar ucapanku.
Dia makin kelabakan.
Untung saja Dona sama sekali tak terbangun oleh teriakanku yang tidak terlalu tinggi itu.
Mas Dani makin kebingungan.
Dia terlihat salah tingkah.
"Ka-Kamu salah paham, Sayang. Kamu salah dengar," kata suami gilaku. Dia terus saja membela diri.
Bukankah tadi ia sudah jujur?
Dadaku sesak kembali menghadapi lelaki macam dirinya.
Tak tahan kedua bola mata ini membendung air mata. Aku lari keluar kamar dan duduk di sofa tengah rumah yang sekaligus adalah ruang tamu di rumah kami.
Aku lari dengan suara terisak ditahan-tahankan.
Walaupun terus berusaha menahan kepedihan, tapi tetap saja benak ini masih terus memikirkan semua yang kudengar tadi.
Makin lama makin membuat emosi saja.
Makin lama makin membuat dada ini sakit dan hati perih.
Kujatuhkan seluruh tubuh ini di sofa. Dengan telapak tangan mnutupi semua bagian mulut karena tak sanggup lagi jika harus menahan air mata yang memaksa menerobos lubang air mata untuk berjatuhan kembali di pipi.
Mulut ini kututup dengan penuh rasa sakit dan gemetar dengan kenyataan yang telah kudengar dan kuketahui.
Sungguh aku masih tak menyangka. Semua uang yang ia dapat dengan instan dan banyak itu hanyalah hasil dari kegiatan gilanya.
"Diandra, A-Aku-." Mas Dani kembali berkata dengan gugup. Menyusulku yang pergi meninggalkannya dari dalam kamar.
Dia seperti berusaha terus beralibi.
Namun segera aku memotong perkataannya.
"Sudah, jangan Kamu berkata apapun lagi. Besok pagi Aku akan segera pergi dari rumah ini. Mulai sekarang aku minta ditalak olehmu!"
"Enggak, Kamu gak boleh pergi dariku apalagi membawa Dona. Kamu harus tetap disini!"
Mas Dani malah membentak dengan keegoisannya.
Aku mulai meringis tak habis fikir.
Beranjak menatap seluruh wajah lonjong yang kini mulai tak merona lagi dengan pancaran sebagai imam suci.
"Hah? Diam disini kata kamu! Kamu mau terus memberi makan aku dan anak kamu dengan uang har*mmu itu! Enggak, Mas Aku enggak sud*!" jawabku penuh emosi.
"Enggak, kamu harus tetap di rumah ini! Aku tak akan membiarkanmu pergi. Karena Aku tak akan pernah menceraikan Kamu!" Dia malah makin membentak menaikan nadanya dari ucapan sebelumnya.
Wajahnya kini tak lagi lugu ataupun merasa malu.
Kini wajah suamiku berubah menjadi menakutkan. Dia bagai ingin menikamku dengan mulutnya.
Deg deg! Kutelan ludah ini karena aku sedikit takut.
Dia mulai mendekatiku dengan bola mata yang makin membulat.
Dia pasti tidak terima atas semua ucapanku.
Kutegar-tegar raut wajah ini. Berusaha siap melawannya walaupun hati kecilku merasa takut jika ia akan ...
"Masuk Kamu, masuk!" gertaknya.
Apa maksudnya?
Kembali diriku angkat bicara.
"Kamu gak bisa menahanku di rumah ini. Aku akan pergi malam ini juga bersama Dona! Kamu jangan pernah menghalangiku!" tungkasku geram.
Tapi apa yang terjadi.
Dia meraih lengan kiriku dan menjiwangnya.
"Sekarang Kamu masuk! Kamu sama sekali tak boleh pergi dari rumah ini! Aku tak akan mengijinkamu pergi!" kekangnya.
Dia malah menyeredku masuk ke dalam kamar dengan kasar.
"Apa-apaan Kamu, Mas! Lepaskan Aku!"
Sebisa mungkin aku memberontak darinya. Mencoba memukul dan mencoba menggigit. Namun apa daya, cengkeramannya kini amat erat sekali.
Begitukah sifat asli suamiku?
Dia amat kasar sambil berusaha menarik-narik tubuhku untuk masuk ke dalam kamar.
Terus saja aku mencoba memberontak dan berteriak sampai akhirnya Dona terbangun.
Anakku terbangun dan menangis. Mungkin dia kaget dan syok karena terbangunkan secara tiba-tiba.
Mendengar teriakan ayahnya yang membabi buta.
"Diam disini! Jangan pernah mencoba kabur!"
Aku benar-benar tak habis fikir.
Kening ini hanya bisa melipat sambil terus menggeleng-geleng heran dan syok. Mendekat ke arah Dona dan mencoba menenangkannya.
Dilihatnya ke arah meja dekat ranjang. Mas Dani seperti mencari sesuatu.
Dia ternyata berniat mengambil gawaiku yang ada di meja.
Apa maksudnya?
"Mas, kembalikan ponselku!" tuturku emosi.
Dia hanya menyeringai saja.
Ya ampun, dia benar-benar keterlaluan.
"Kamu tidak boleh memegang atau menggunakan ponsel ini. Kamu harus diam dan tak boleh pergi kemana-mana!" celkalnya.
Mulutku makin menganga. Menyaksikan sikap dan sifat yang baru kali ini kulihat.
"Kamu gila!" geramku menatap seluruh wajahnya nanar.
Sembari kuraih Dona yang masih menangis. Dia nampak syok dan ketakutan.
"Pokoknya Kamu harus diam disini! Kamu harus tetap menjadi istriku, melayaniku setiap saat. Mengerti!" tungkasnya bernada tinggi.
Aku meringis.
Benar-benar diluar dugaanku lagi.
Kini aku melihat sifat aslinya.
"Enggak! Aku enggak mau tetap bersama laki-laki kotor macam Kamu!"
Namun saat aku berkata demikian.
Plak!
Dia menamparku tiba-tiba dengan kerasnya.
Astaghfirullah aladzim. Kenapa dengan suamiku?
Dona makin menangis dengan kerasnya.
Kususuri pipi ini menggunakan telapak tangan kanan karena tangan kiri sedang menggendong Dona.
Benar-benar itu adalah tamparan kali pertama yang ia layangkan pada diriku.
Kepalaku menggeleng-geleng sembari menempeli pipi dengan telapak tangan yang gemetar.
"Ternyata begini sifat asli Kamu! Laki-laki tak tahu malu!" geramku dengan air mata yang kembali keluar.
Air mata kekecewaan dan kepedihan yang amat mendalam.
Dia makin menjadi-jadi.
"Diam! Jangan coba-coba berani kabur dari rumah ini!"
Blugk!
Dia makin gila dan membiarkanku berada di dalam kamar bersama Dona.
Baru aku lihat lelaki macam dia.
Lelaki yang tega memaki dan berbuat kasar pada istri di depan anaknya.
Terbuat dari apa hatinya?
"Jangan nangis ya, Sayang," upahku pada Dona yang masih menangis. Dia benar-benar ketakutan.
Air mataku juga kembali turun membasahi pipi yang pasti sudah memerah bekas tamparan tadi. Benar-benar dia psikopat.
Kalau tahu sifatnya seperti itu mungkin aku tak akan mau memutuskan untuk hidup bersamanya.
Tapi, selama ini tak pernah sedikitpun dia menyakitiku. Lewat kata-kata apalagi lewat kekerasan fisik.
Dia ... arkh!
Tak ada gunanya aku menyesali apapun yang telah kualami. Itu hanya akan membuat batinku juga batin anakku makin diperbudak oleh kepedihan yang tidak berujung.
Dona masih menangis walau sedikit tertahan.
Ya Tuhan, buah hatiku kini telah menyaksikan kekej*m*n ayah kandungnya sendiri. Ironi sekali nasib anakku.
Bagaimana pikiran suamiku sampai ia tega menyakitiku hingga ia berbuat kasar padaku.
Ini makin membuatku ingin segera pisah dan pergi dari rumah ini.
Bagaimanapun juga aku harus mencari cara untuk segera kabur dari laki-laki macam dia.
Aku takut ia makin berbuat nekad seperti laki-laki di kebanyakan sinetron.
Astaghfirullah, aku makin tersiksa disini.
Yang lebih kutakutkan bila dia menyentuh buah hati kecilku.
Tak akan aku biarkan.
Aku harus segera mencari jalan keluar.

Book Comment (90)

  • avatar
    CirengitKomar

    bagus

    26/07

      0
  • avatar
    MbullGembull

    mantap

    10/06

      0
  • avatar
    rahardiShinta

    mantap

    21/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters