logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Ibu dan Bapak satu kubu

Aku masih bingung dan kelabakan dengan sifta ibu yang sekarang.
Ibu seperti bunglon.
Saat pertama kesini ibu sangat terlihat bijak dan baik. Makin kesini kok aku makin sanksi dengan ibu.
"Kamu kenapa?"
Mas Dani menghampiri dan bertanya padaku yang sedang duduk di ranjang sendiri setelah menidurkan Dona.
Nampaknya ia melihat lamunanku.
"Enggak, aku hanya sedikit lemas saja," jawabku singkat.
"Oh, mau aku pijat?" tawarnya manis.
Aku hanya tersenyum yang dipaksakan. Menolak halus tawarannya.
"Enggak usah, kamu tahu kan aku geli kalau dipijit."
Aku menjawab sambil tersenyum lalu mengalihkan pikiran dengan mengambil beberapa helai baju untuk dilipat.
Kebetulan ada baju Dona yang belum sempat kulipat tadi.
Mas Dani masih berada di kamar.
"Katanya lemas. Kok malah lipat baju?" ujarnya lembut.
Tubuhku sengaja kulemas-lemaskan.
"Tak apa, ini kan cuma sedikit," jawabku lagi dengan tubuh lemas.
Padahal yang lemas bukan tubuhku, tapi pikiran yang menjadi uneg-uneg di benak ini.
Sengaja aku terus menghindar darinya.
Aku takut dia memancing emosi dengan bicara sesuatu hal yang tak bisa kujawab. Aku masih bingung dengan apa yang dikerjakan mas Dani.
Sempat ingin membuang fikiran buruk, tapi malah tingkah dia dan orangtuanya membuatku curiga kembali.
Tiba-tiba mas Dani keluar kamar.
Ini sudah jam sembilan malam. Biasanya dia sudah tidur kalau tak sedang diluar rumah untuk bisnisnya itu.
Lalu tak lama dia masuk kembali.
"Kamu darimana? Ngambil minum? Kan aku sudah siapkan itu dimeja," ulasku melihat dia yang telah balik kembali ke kamar.
Dia malah tersenyum.
"Enggak, aku cuma mau ngunci pintu. Tapi sudah kamu kunci," jawabnya santai.
"Ya sudah dong Mas, kan ini sudah malam. Ya sudah kita tidur saja yuk, besok kamu kerja kan?" ucapku setelah melipat baju Dona semua dan kemasukan ke lemari kecil khusus untuk pakaian Dona.
Mas Dani pun mengangguk dan segera menuju ranjang.
Sudah tiga malam ini kami tidak bercumbu, biasanya dia mengajakku, tapi sekarang dia tidak mengutarakan kebutuhan birahinya.
Mungkin ia sedang kecapean.
Mas Dani dan aku sudah terbaring.
Kami tak mengobrol. Hanya diam-diam saja bersiap-siap menuju tempat liburan di mimpi malam.
🍭🍭🍭
Tak kusangka aku telah tidur nyenyak.
Spontan aku menguap dan dihalang oleh telapak tangan kiri.
Kulihat jam di dinding dengan mata yang masih belum membuka sempurna karena barusaja terbangun, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ternyata aku baru tertidur selama dua jam.
Namun rasanya nyenyak dan sudah lama sekali.
Tenggorokanku sangat haus dan berniat mengambil air yang sudah disediakan di meja, pinggir ranjang.
Namun seketika aku terperanjat, karena mas Dani tak ada di sampingku. Dia tidak sedang tertidur.
Lalu kemana dia?
Kupikir mungkin ia sedang ke kamar mandi.
Kuraih saja gelas air dan kutuangkan dari teko kecil, air putih sampai memenuhi setengah gelas berukuran tinggi.
Sengaja setiap malam kusediakan air minum di dalam kamar, karena kami sering terbangun karena kehausan. Begitupun dengan Dona.
Kutunggu kembalinya mas Dani dari kamar mandi. Sedikit agak lama, mungkin ia sedang buang air besar.
Lima menit berlalu.
Mas Dani tak juga kembali.
Penasaran, kemana ia pergi malam-malam seperti ini.
Aku jadi penasaran.
Sengaja aku tak memanggil-manggil namanya. Biar kucari saja sendiri ke setiap sudut rumah.
Pertama-tama aku pergi ke kamar mandi dekat dapur, namun ternyata di kamar mandi tak ada siapapun. Begitupun di dapaur.
Melipat kening dan merasa heran.
Kususuri setiap tempat di dalam rumah. Namun sama sekali aku tak melihat mas Dani walau hanya batang hidungnyapun.
Aku terus berjalan perlahan menuju tempat-tempat yang belum kuhampiri. Kamar sebelah dan ruang belakang, namun mas Dani tak terlihat juga.
Kemana dia malam-malam seperti ini?
Aku segera kembali ke ruang tamu.
Kepalaku yang masih pusing ini mencoba membuka-buka mata untuk melihat sekeliling lebih jelas lagi.
Kupastikan semua tempat sudah kuhampiri dan kucari keberadaan mas Dani.
Namun saat mata ini masih sedikit rabun dan berkunang-kunang oleh suasana malam, tiba-tiba aku melihat sesuatu.
Kulihat pintu rumah yang tidak menutup rapat seperti sebelumnya.
Padahal jelas-jelas aku sudah menguncinya tadi, mas Dani pun tadi ia bilang memastikan kalau pintu sudah terkunci.
Aku jadi penasaran dan takut.
Tiba-tiba aku menelan ludah.
Kutarik langkah ini untuk maju sedikit demi sedikit menuju arah pintu keluar yang tak tertutup rapat.
Atau jangan-jangan mas Dani sedang keluar rumah?
Ya, dengan pikiranku demikian langkah kaki ini dengan cepat menuju pintu dan melihat suasana diluar rumah.
Kuharap mas Dani sedang duduk-duduk menghirup udara malam di teras rumah.
Namun setelah kubuka pintu, tak ada mas Dani disana. Dia tidak sedang duduk di teras malam-malam.
Lalu aku makin penasaran.
Tak lama setelah itu, aku melihat cahaya kecil di samping rumah. Namun agak sedikit jauh. Seperti cahaya senter kecil.
Cahaya itu semakin menjauh dan pergi.
Penasaran kudekati cahaya itu perlahan.
Aku tak menggunakan senter sedikitpun. Sengaja ingin kulihat siapa dan apa yang akan dia lakukan malam-malam.
Langkahku makin mendekat. Dan kini cahaya lampu berwarna putih kulihat dengan jelas dari balik pohon jeruk yang merumpun dan pendek hasil cangkok.
Ternyata orang yang berjalan itu adalah suamiku, mas Dani.
Dia berjalan menuju rumah ibu dan bapak. Aku membuntutinya walaupun agak jauh sedikit.
Aneh, kenapa dia tidak bilang padaku. Kenapa juga malam-malam seperti itu.
Aku makin penasaran.
Kini aku melihat mas Dani masuk.
Segera aku meninggalkan pohon jeruk tadi dan menuju lebih dekat ke teras rumah ibu dan bapak.
Gerak gerik yang mencurigakan.
Aku melihat bayangan mereka samar-samar dari kaca yang gordennya sedikit membuka.
Untung saja pintu rumah ibu tidak ditutup rapat, jadi aku pikir pembicaraan mereka akan kudengar jelas.
Aku seperti maling yang mengendap-endap. Untung saja tak ada orang yang lewat ke jalan itu, hingga aku tak disangka maling.
Kening ini kulipat dan telinga ini pula ku dekatkan ke daun pintu.
Lalu apa yang kudengar.
Tiba-tiba ibu dan bapak membentak mas Dani.
Aku benar-benar syok dan kaget.
"Kamu kok jadi enggak becus gitu! Kamu cari dong ibu-ibu kaya di perumahan elit sana yang bisa kamu poroti lagi uangnya. Kalau cuma mengandalkan satu grup arisan, kan pemasukan kita segitu-gitu saja!"
Teg!
Dadaku sesak. Mulutku langsung menganga.
Apa maksud perkataan ibu?
"Arkh, aku itu capek Bu! Harus melayani wanita, tante-tante tua setiap waktu. Menurutku segitu juga cukup."
Suamiku malah menjawab demikian.
Aku makin syok.
Aku masih belum mengerti.
Kepalaku menggeleng-geleng tak mengerti.
"Kamu yang lihei dong. Kamu bisa dapat ratusan juta kalau kamu mau melayani wanita-wanita tua beberapa kali. Kamu kan bisa ngisi hari-hari lain!" kata bapak demikian.
Jelas aku tak salah dengar.
Jadi selama ini suamiku menjadi seorang pelayan tante-tante kaya?
Hah?
Nafasku serasa berhenti.
Tak sanggup mulut ini menutup atas apa yang kudengar barusan.
Astaghfirullah, ini lebih buruk dari yang kuduga.
Jadi itu bisnis suamiku?
Bapak dan ibu juga ... arkh!
Aku tak habis fikir dengan semua ini.
"Arisan brondong tante-tante kaya itu sudah ramai di kota-kota. Selama ini kan mereka banyak uang tapi sering kesepian. Apalagi mereka-mereka yang janda dan tajir. Nah menurut Ibu, kamu bisa nyari lagi grup arisan lain."
Hah!
Aku benar-benar jijik mendengar kalimat yang keluar dari mulut mereka.
Aku segera pergi karena takut Dona terbangun dan mencariku. Tapi terlebih lagi aku tak mau mendengar hal yang membuatku lebih mual lagi.
Tak tahan aku mendengar semua yang mereka katakan. Rasanya perut ini mual sekali mendengar tingkah laku suami dan mertuaku.
Oh, itukah alasan ibu dan bapak pindah rumah dekat dengan kami?
Sungguh itu semua diluar nalarku.
Aku berlari sekencang-kencangnya dan menangis. Walau sebenarnya kaki ini seperti sulit dan gemetar bila harus dilangkahkan.
Rasa lemas dan kaku di kaki tak kuhiraukan karena aku benar-benar tak habis fikir dengan apa yang telah kudengar.
Ingin rasanya mulut ini mengeluarkan suara sekeras mungkin.
Air mataku tak bisa terbendung lagi. Seluruh jiwa ini mendorong air mataku untuk keluar. Membuatku menangis tak tertahankan.
Ya Tuhan, ini benar-benar lebih buruk dari yang kuduga.
Selama ini suamiku ternyata bekerja menemani memuaskan birahi para janda-janda kaya kesepian.
Tidak, aku tidak sanggup dijadikan sebagai istri dari laki-laki busuk seperti Dani.
Tiba-tiba lututku benar-benar lemas dan terjatuh di teras rumah. Benar-benar hati ini sungguh sakit dan terpecah belah menjadi kepingan-kepingan yang tak bisa lagi dirapatkan.
Aku tak bisa menahan tangisan ini setelah mendengar semua percakapan mereka dengan jelas.
Sungguh aku benar-benar jijik pada mereka.
Apa salah dan dosaku pada mereka.
Kenapa suamiku tega melakukan hal seperti itu. Ini sudah bukan lagi sebuah perselingkuhan.

Book Comment (90)

  • avatar
    CirengitKomar

    bagus

    26/07

      0
  • avatar
    MbullGembull

    mantap

    10/06

      0
  • avatar
    rahardiShinta

    mantap

    21/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters