logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Kato Ami #02

"Okaerinasai, Ojousama[*]!"
Ami melihat seorang pelayan menyapanya setelah membukakan pintu untuk majikan kecilnya. Ia tersenyum sangat hangat.
Ami mendesah pelan, "Tadaima," jawabnya dengan nada malas.
Seorang pelayan wanita menghampirinya dan langsung meletakkan sandal rumah di depan Ami. Ami kembali menghela napas panjang.
"Sudah kubilang, kalian tidak perlu melayaniku," sambil melepaskan sepatunya dan memakai sandalnya, Ami memperingatkan para pelayannya, "Kalian kembalilah bekerja, tidak usah pedulikan aku. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Tapi, Ojousama..."
Ami mengeluarkan jurusnya yang jarang dia gunakan semenjak di Jepang yaitu, senyum manisnya, "Kalian urusan saja keperluan rumah, aku sudah diajarkan mandiri oleh kakakku dulu. Jadi, tidak perlu repot mengurusiku."
Para pelayannya terpana. Untuk beberapa saat, mereka masih terpaku melihat majikan kecil mereka tersenyum. Ini pertama kalinya mereka menyaksikan itu setelah beberapa tahun gadis itu tinggal disini.
"K-kalau begitu, panggil kami kalau Ojousama membutuhkan sesuatu," Masih dengan senyum Ami mengangguk, "Permisi,"
Setelah pelayannya pergi, barulah Ami bisa bernapas lega.
Sebagai anak dari pemilik sebuah perusahaan, tinggal di rumah besar tidak mengherankan. Sebuah rumah yang terletak di Setagaya, salah satu kawasan elit di Tokyo. Di rumah yang besar dan luas itu ada beberapa pelayan yang akan mengurus rumah itu. Apalagi pemilik rumah selalu pergi kerja pagi hari dan pulang larut malam, kesempatan untuk mengurus rumah sama sekali tidak ada. Begitu juga waktu untuk mengurus anak.
Gadis itu memandang sebuah pigura yang tergantung di dinding ruang utama, satu-satunya pigura terbesar di sana. Foto itu akan menyambut tamu yang masuk untuk pertama kalinya, barulah beberapa lukisan di dinding lain.
Di dalamnya terdapat foto empat orang yang dia kenali sebagai ayah, ibu, kakak laki-laki, dan juga dirinya. Tiga di antaranya tersenyum bahagia, hanya gadis itu yang tidak tersenyum. Ia sudah kehilangan keceriaannya semenjak pindah ke Jepang.
Beberapa saat pindah ke Tokyo, gadis itu masih tetap sama seperti saat ia tinggal di Boston. Gadis yang selalu menyebar senyumnya, banyak bertanya, dan hal-hal riang lainnya yang biasanya dimiliki anak usia sepuluh tahun. Namun, karena reaksi teman-temannya di sekolah yang bertolak belakang dengan apa yang dia bayangkan, ia mulai menjauh.
Diejek berkali-kali karena bahasa Jepangnya yang jelek, logatnya yang aneh, dan tidak bisa membaca kanji dasar. Itulah alasan teman-temannya menjelekkannya. Tidak adanya tempat mengadu, membuat Ami harus berusaha keras sendiri. Ia mulai menyalahkan dirinya kenapa tidak mendengarkan perkataan kakaknya dulu, untungnya dia bisa bangkit sendiri dan mulai untuk belajar lebih keras lagi.
Ami kemudian melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Melempar tasnya ke atas tempat tidur, lalu mengganti pakaiannya dan berias. Sebagai anak perempuan Kato, sudah peraturannya untuk tetap terlihat dalam kondisi baik walaupun hanya di rumah. Bagi Ami hal itu merepotkan, tapi gadis itu tidak mau para pelayannya datang dan mendandaninya karena malas untuk memoleskan bedak ke wajahnya.
Baru saja selesai menata rambutnya, pintu kamarnya di ketok pelan, "Ami..."
Tanpa melihat cermin lagi, gadis itu dengan kekuatan secepatnya kilat langsung menuju pintu dan membukanya. Senyumnya merekah lebar melihat sosok yang ada di depan pintu.
"Eiji!!" panggilnya. Orang ada di depannya berkacak pinggang, alisnya diangkat tinggi-tinggi, dan bibirnya dilipat ke dalam seperti sedang marah, "Hahaha... Oniichan tidak perlu marah begitu,"
Meski ia sulit untuk ceria lagi di hadapan orang lain, hanya di depan Eiji, kakaknya, Ami bisa tersenyum seperti biasa yang ia lakukan.
Eiji menghela napas, "Kau ini! Kebiasaan sekali. Kalau kau keceplosan saat acara keluarga, bagaimana? Kau bisa dicap sebagai gadis yang tidak sopan!"
"Itu tidak akan pernah terjadi, percayalah! Ngomong-ngomong, kenapa Oniichan ada disini? Bukannya hari ini kau kerja?"
Pemuda itu memegang kepala adiknya dengan kedua tangannya, "Mau mengajak adikku yang manja ke suatu tempat~" Eiji mengacak-acak rambut Ami dengan gemas.
"Yamete kudasai[*]! Rambutku jadi rusak!" marah gadis itu, tangannya menangkap kedua lengan kakaknya.
Ami sedikit mengembungkan pipinya, menatap kesal Eiji yang tertawa geli di depannya.
"Sudah, jangan banyak tanya lagi. Ikut aku."
Eiji pergi meninggalkan Ami yang masih memperbaiki rambutnya. Dengan gusar, gadis itu mengekori kakaknya sampai ke mobil.
Pemuda itu hanya tersenyum saat adiknya terus menerus bertanya kemana tujuan mereka saat ini. Ami mulai kesal dan memilih untuk diam dan melihat ke kaca di sebelahnya, melihat bangunan-bangunan dan orang-orang yang mereka lewati.
Mobil melaju ke sebuah daerah yang ramai dengan orang berlalu lalang dan juga pertokoan, ke daerah bernama Harajuku. Tiba-tiba berhenti di sebuah kafe yang penuh dengan anak-anak muda. Tampaknya kafe itu baru saja melangsungkan grandopening-nya.
"Aku pikir tujuan kita akan jauh. Ternyata masih disekitar daerah Tokyo," ucap Ami saat Eiji berjalan ke arahnya.
Eiji tertawa geli, "Berharap pergi sampai ke Hokkaido? Dengan mobil?"
Ami tidak menjawab kakaknya, ia hanya melihat pemuda itu dengan wajah kesal.
Eiji mengambil inisiatif untuk masuk terlebih dahulu, membuat Ami kembali mengekorinya. Mereka langsung disambut pelayan kafe, di antar ke meja yang kosong, dan memesan menu.
"Keadaan sekolah masih seperti itu?"
"Maksud Oniichan?"
Tiba-tiba Eiji bertanya seperti itu, tentu saja membuat Ami bingung. Gadis itu sejak awal sudah merasa aneh dengan tingkah kakaknya, membolos dari tempat kerja untuk hal yang tidak penting seperti sekarang ini benar-benar tidak masuk akal.
"Apa kau masih tidak punya teman? Sudah mau lulus, buatlah kenangan di SMP."
Ami menggelengkan kepalanya cepat, "Tidak mau. Mereka terus saja mengejek bahasa Jepang-ku yang jelek padahal sudah tidak lagi."
Eiji tersenyum geli melihat adiknya itu, "Oh iya, sudah tau kemana tujuan SMA nanti?"
"Belum, tapi Okaasan mengotot untuk masuk ke Kaishisen."
"Kaishisen? Hm... Begitu rupanya. Itu memang salah satu SMA terbaik," Eiji tersenyum kemudian menepuk pelan kepala adiknya yang ada di depan,"Masih ingat dengan tradisi keluarga kita kan?"
"Yang mana? Terlalu banyak tradisi di keluarga kita. Apa yang ini, kita harus terlihat sebagai orang yang bersikap? Paham tentang tata krama?"
Eiji menggeleng, "Bukan. Anak dari keluarga Kato harus menikah diusia 25 tahun."
Bagaikan di sambar petir, tubuh Ami kaku. Tersadar akan usia kakaknya yang akan menginjak umur 25 beberapa bulan lagi.
"K-kenapa memangnya?" tanya gadis itu sedikit takut.
"Ayah sepertinya sudah mulai mencarikanku jodoh,"jawab Eiji, sesuai perkiraan Ami, "Tapi tenang saja, Ami. Aku tidak akan meninggalkanmu seperti waktu itu. Aku akan meminta pada Otousan untuk menikahkanku setelah kau lulus, bagaimana?"
Eiji merasa bertanggung jawab karena Ami berubah menjadi sosok yang tertutup, gadis itu juga berusaha untuk menjauh dari orangtua dan tidak mau berkomunikasi. Berbeda dengan Ami yang dulu dikenal sebagai anak yang aktif dan cerewet. Makanya, pemuda itu tidak mau kesalahan yang sama terjadi lagi.
"Kalau aku lulus... Berarti Oniichan melanggar tradisi?"
"Tidak, umurku masih 25 sebelum tanggal ulang tahunku kan?" ucap Eiji lembut berusaha menenangkan adiknya yang pasti ingin menyalahkan dirinya sendiri.
Ami mulai menyalahkan takdirnya yang terlahir di keluarga yang penuh dengan aturan dan harus patuh, lahir dengan perbedaan umur yang terpaut jauh dengan Eiji. Kalau saja dia terlahir beberapa tahun setelah Eiji, dia tidak akan merasa sangat kehilangan.
"Dan kau juga harus berubah, Ami. Setidaknya mengobrol dengan Otousan dan Okaasan. Mereka sudah lama menunggu untuk berbagi cerita dengan anak perempuannya tapi kau malah menjauh. Jangan salahkan apapun dan siapapun, karena anak dari keluarga Kato harus siap menghadapi apapun yang terjadi nantinya. Ingat itu, Ami."
=*=
Terlihat keramaian di sebuah aula hotel yang besar, beberapa pot bunga dengan mawar putih menghiasi jalan menuju aula. Di sudut depan aula, terdapat sepasang sejoli memakai baju berwarna senada yang menjadi pusat perhatian semua tamu undangan. Kue tart yang disusun tinggi dan lapisan krim putih berada tidak jauh dari mereka. Mereka baru saja sah menjadi suami-istri dan malam itu akan ada pesta pernikahan yang mewah.
Ada ayah dan ibu kedua mempelai disana, tampak begitu bahagia seperti para pengantin. Juga, keluarga besar lainnya, seperti kakek dan nenek, sanak saudara yang dekat dan sudah jauh menurut silsilah tapi masih berhubungan baik. Tamu lainnya dari orang-orang di perusahaan dan para kenalan.
Ami duduk agak jauh dari mereka, sengaja mencari tempat yang agak sepi. Melihat kakaknya dengan tatapan tidak rela, tapi ia tidak bisa bersikap memberontak karena masih dianggap anak-anak. Ia menatap gelas berisi jus yang ada di tangannya sebentar, kemudian meminumnya sedikit.
"Anda pasti adiknya Eiji-san, aku benar kan?"
Ami tersadar dari lamunannya, dengan linglung melihat sosok yang berbicara padanya sudah ada di depannya sambil tersenyum. Ami menyatukan alisnya, ia tidak kenal dengan orang tersebut.
Seorang pemuda dengan setelan jas berwarna navyblue dan dasi maroon, terlihat mencolok karena warna dasi itu. Seingat Ami, tamu undangan pernikahan di Jepang seharusnya memakai jas hitam, tapi pemuda ini terlihat seenak hatinya dalam pemilihan pakaian. Meski Ami juga tidak begitu peduli dengan itu, yang penting tetap sopan dan terlihat formal.
Dan memanggil kakaknya sebagai Eiji-san, bukan dengan embel-embel kehormatan lainnya.
"Ah, aku salah satu karyawan dari Kadou corp, dia itu atasanku." jelasnya. Ami mengangguk paham. Ami tidak terkejut, orang-orang bisa dengan mudah mengenali keluarga Kato karena warna pakaian mereka dengan sengaja dibuat sama. "Katanya Anda lulus ujian masuk ke SMA Kaishisen? Hebat! Selamat ya!" katanya lagi.
Ami mengedipkan matanya beberapa kali, heran. Untuk pertama kalinya orang yang tidak ia kenal mengucapkan selamat padanya. Ia melihat orang itu dengan sedikit rasa takut, "K-kau tau dari mana? Tidak perlu begitu formal denganku."
"Kakakmu yang menceritakannya. Dia akan mengajakku makan siang bersama dan terus saja menceritakanmu dengan semangat, kadang aku sendiri bingung harus merespon bagaimana." jawabnya, tidak formal lagi.
"Eh?"
Ami tidak ingin percaya dengan yang dikatakan pemuda itu, tapi apa untungnya baginya untuk berbohong apa Ami? Gadis itu melirik kakaknya melalui ekor matanya, kemudian sebuah senyum tipis terkembang di bibirnya. Akhirnya yakin kalau kakaknya memang selalu mengkhawatirkannya, tidak seperti pemikiran negatifnya beberapa hari ini.
"Kalau begitu, aku permisi dulu. Mau menyapa para pengantin,"
"Tunggu sebentar," Ami menghentikan gerakan pemuda itu yang baru saja membungkukkan tubuhnya, "Siapa namamu?"
Pemuda itu terdiam sejenak lalu tertawa, "Astaga! Maaf, aku lupa untuk memperkenalkan diri." katanya, "Namaku-"
"Ojousama, Nyonya menyuruh saya untuk mengantarkan Ojousama pulang karena sudah larut malam."
Entah sejak kapan seorang pelayan sudah berdiri di sampingnya, Ami menoleh ke arah pelayan itu sebentar. Kemudian ia kembali melihat pemuda yang berbicara dengan tadi, tapi pemuda itu sudah ditarik oleh pemuda lain yang sepertinya teman kerjanya menuju ke arah pengantin.
Ami menghela napas lalu mengangguk, "Baiklah, apa ada pesan yang lain?"
"Tidak, Ojousama. Nyonya hanya bilang Ojousama langsung pulang saja, tidak perlu berpamitan."
"Baiklah, antarkan aku ke mobil sekarang."
"Baik, Ojousama,"
Ia menyuruh pelayan itu berjalan lebih dulu, gadis itu memandang pemuda itu yang sedang bercanda gurau bersama kakaknya. Ami tersenyum kecil saat kakaknya tertawa puas di depan sana. Gadis itu pun melangkahkan kakinya mengikuti jejak pelayannya tadi dan meninggalkan pesta.
[*]Ojousama- panggilan untuk nona
[*]Yamete kudasai - mohon berhenti

Book Comment (22)

  • avatar

    saja

    27d

      0
  • avatar
    AwaliaArdina

    saya beruntung

    02/07

      0
  • avatar
    KurniawatiIndah

    bagus

    05/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters