logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 9 Sembilan

“Wahyu, hari ini bisa latihan?” Wahyu menyerngit. Ini hari pertama ujian, apa yang sedang dipikirkan senior yang sedang berdiri di depan nya ini?
“Ada ujian.” Wahyu mengangkat buku nya, dia menatap Rere aneh.
“Terus?”
“Belajar!”
“Latihan 2 jam doang, abis itu bisa belajar lagi.”
Wahyu menggeleng. Dia berdiri, hendak masuk ke kelas. “Nggak, belajar yang utama. Latihan bisa di urus nanti.”
“Latihan yang utama, nanti kalau nggak menang gimana?”
“Kalau nggak menang ya udah, masih ada tahun depan, masih ada turnamen lain. Aku juga butuh belajar, mbak.” Wahyu memasuki kelas. Mengabaikan Rere yang terus memanggil nama nya. Wahyu bergedik, dia tidak pernah sejijik ini terhadap perempuan.
Wahyu tau betul apa yang Rere pikirkan. Dia ingin memasuki rumah Wahyu lagi dengan beralasan latihan, menggoda nya habis-habisan seperti terakhir kali mereka melakukan latihan. Membuat Wahyu risih luar biasa.
Perempuan seperti Rere yang paling tidak dia suka. Sok cantik, selalu memakai pakaian yang ketat dan membiarkan kaum adam membicarakan tentang tubuh nya, tidak memakai jilbab, membiarkan rambut nya yang dia cat warna pirang di ujung rambut terpapar sinar matahari, tidak tau malu, selalu gencar mendekati Wahyu dan berusaha untuk bersentuhan dengan nya.
Murahan. Seperti tidak ada harga nya sama sekali.
Untuk apa berpendidikan tinggi jika sikap dan penampilan nya saja masih seperti itu. Tidak berguna, membuang-buang uang saja.
“Mbak Rere masih di depan tuh.” Arga muncul di depan nya dengan tas yang dia taruh di meja. Dia duduk di kursi sambil menghadap Wahyu. Tatapan penasaran terlihat jelas di mata nya.
“Ngajak latihan lagi. Gila apa, nggak tau aja orang lagi pada sibuk belajar. Nggak ngerti lagi aku, dia mikir enggak gitu loh.” Wahyu mengeluh. Dia membuka lembar buku selanjutnya dengan kasar.
“Nama nya juga cewek caper, banyak banget alesan nya.”
“Tapi aku lebih nggak ngerti sama mbak Rere. Caper nya gitu amat, nggak ngerti lagi aku.” Wahyu mengeluarkan ponsel nya. Membalas pesan keluarga nya yang bertanya bagaimana persiapan ujian nya.
“Kenapa nggak kamu terima aja? Rere cantik kok, pinter lagi.” Doni ikut mendekat. Dia duduk di meja nya Wahyu, menduduki buku yang tadi masih Wahyu baca.
Wahyu terdiam dengan mata yang melototi nya, meminta nya untuk segera menyingkir walau Doni mengabaikan nya. “Buku aku.”
“Nggak baik belajar terus.” Alasan. Kalau tidak belajar bagaimana kamu lulus nanti?
“Badan nya Rere juga bagus, kurus tapi ada yang menonjol di beberapa bagian.”
“Otak kamu kayak nya perlu di cuci.” Wahyu menegur. Dia mendorong tubuh Doni sedikit, menarik buku nya paksa.
“Mbak Rere cuman kegedean busa. Lagian kamu kayak nggak tau gimana selera Wahyu. Yang alim, nggak barbar atau lagi pakai baju kurang bahan kayak gitu. Kalau boleh sebut nama, yang kayak Nameera tuh.” Arga berucap santai, dia membuka buku nya tanpa berniat untuk membaca nya.
Wahyu yang mendengar nya ikut tersenyum. Dia tidak bisa menyangkal nya lagi. Semakin dia mengenal Nameera, dia semakin mengagumi nya. Berharap perempuan itu akan menjadi milik nya atau apapun itu. Kalau berharap jadi pacar terlalu berlebihan, paling tidak Wahyu berharap bisa menjadi teman bagi Nameera.
“Bukan nya Nameera terlalu tinggi level nya? Paling nggak pasangan dia nanti itu seorang muslim yang taat agama. Berpeci nggak bertopi kayak Wahyu. Pakai baju koko sopan bukan nya kaos kayak Wahyu. Shalat 5 waktu nggak kayak Wahyu. Orang yang mapan bukan nya mahasiswa kayak Wahyu.”
“Ngajak gelut kamu?” Wahyu bersuara rendah, dia melirik Doni tajam. Walau di balas tawa keras dari kedua teman dekat nya. “Baru kali ini aku denger kamu bilang ’gelut’, aura jawa kamu sudah menyebar kayak nya.”
“Aku jarang pakai topi kalau nggak masuk kelas siang, aku juga nggak tiap hari pakai kaos, kadang aku pakai kemeja juga. Aku shalat terus ya akhir-akhir ini.” Wahyu memberi alasan. Dia memang selalu shalat jika adzan sudah berkumandang. Selalu shalat si baris paling depan dan keluar dari masjid paling akhir.
“Udah tobat dia, biarin aja.”
“Wahyu aja bisa berubah, siapa tau Rere juga bisa.” Doni selalu menyebut Rere, entah apa yang mereka bahas.
Wahyu menggeleng. “Enggak, nggak bisa.”
“Aku bisa kok kalau itu mau kamu.” Rere menyembulkan kepala nya di balik pintu. Dia berjalan pelan ke arah Wahyu dengan senyuman yang sulit untuk di artikan. Terlihat sekali jika perempuan itu sedang menggoda.
“Aku cantik, iya. Pinter, iya. Baik, iya. Kurang apa lagi?”
Wahyu memutar bola mata nya, dia menatap Rere jengkel. “Kurang waras, iya!”
***
Jam masih menunjukkan pukul 2 siang. Tapi entah kenapa hawa nya sudah semakin dingin, langit terlihat mendung tapi seperti enggan untuk menurunkan tetesan air hujan. Membuat Wahyu menggerutu lagi karena dia tidak membawa jaket hari ini.
Kemeja biru yang Wahyu gunakan sebagai baju luaran dengan kaos pendek polos bewarna putih dia gulung sampai siku nya terlalu tipis untuk menghalau udara dingin yang terus berhembus. Belum lagi baju bagian belakang nya basah karena dia nekat untuk membasahi rambut nya tadi.
“Hachii.” Wahyu bersin ketika keluar dari kelas. Dia menggosok hidung bagian bawah nya yang terasa gatal. Dia paling tidak tahan dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang nya. Wahyu memakai topi nya, paling tidak bisa menghangatkan kepala nya walau pun sedikit.
Wahyu berjalan menuju koridor sepi, dia terus menunduk sambil mengancingkan kemeja nya, mengurai baju yang tergulung di lengan nya. Lalu hidung nya terasa semakin gatal, dia ingin bersin, tapi terlalu susah untuk di lakukan.
Maka nya dia menepi ke pinggir koridor, mendongak mencari sinar matahari, paling tidak dengan begitu dia bisa bersin lebih cepat. Beberapa detik berlalu, Wahyu masih setia mendongak. Mata nya tertutup setengah dengan kedua tangan yang dia tumpukan di pinggang nya.
Wahyu maju selangkah, mencari sinar matahari lebih untuk merangsang nya. Hampir, sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit lagi.
“Hachii.” Wahyu bersin dengan suara keras. Dia menunduk sambil mengucapkan alhamdulillah dan mengerang dengan suara aneh.
Wahyu berbalik, hendak melanjutkan langkah nya. Tapi saat dia mendongak, mata nya bertatapan dengan mat Nameera yang duduk di kursi panjang koridor. Menatap nya dengan mata melotot dan al-Qur’an yang terangkat menutupi wajah nya. Terlihat terkejut.
“Ngagetin ya?” Wahyu mengusap tengkuk nya. Dia menunduk, melirik malu ke arah Nameera.
Nameera menurunkan al-Qur’an nya, menutup nya lalu dia simpan di tas nya. “Mas Wahyu bersin nya kenceng banget.”
“Maaf. Dingin banget, jadi badan pengen nya bersin mulu.” Wahyu mendekat, lalu duduk di lantai di depan Nameera. Jarak yang terlalu dekat mengingat Wahyu selalu menjaga jarak terjauh dari Nameera. Toh Nameera masih kelihatan baik, tidak risih seperti pertama kali Wahyu mendekati nya dulu.
“Dari kemarin hawa nya memang agak dingin, mendung lagi. Kalau hujan juga nggak turun turun.” Nameera tersenyum. Manis sekali.
Wahyu yang merasa tidak nyaman karena jantung nya yang terpacu lebih cepat memilih mengedarkan pandangan nya. Melihat beberapa orang yang berjalan melewati mereka. “Ngapain disini?”
“Nungguin mas Arga, kata nya mau titip oleh-oleh buat bunda.”
Wahyu menyerngit. “dia bilang mau ke kantin tadi.”
“Eh?”
“Mungkin lupa. Biar aku ingetin.” Wahyu mengeluarkan ponsel nya. Mengirim pesan pada Arga lewat aplikasi whatsApp nya. Setelah Wahyu mengirim, terlihat centang 2 yang sudah bewarna biru lalu dia mendapat balasan dari Arga.
“Dia lagi makan. Lupa kata nya, nanti dia kesini kalau sudah selesai makan.” Wahyu memberi tahu. Dia memasukkan ponsel nya kembali di saku celana nya.
Nameera hanya mengangguk mengerti. Wahyu masih bisa melihat guratan kekecewaan dari wajah Nameera, walau perempuan itu sedang menunduk. “Arga emang gitu, gampang banget lupa nya. Kalau kata orang jawa kebanyakan makan brutu.”
Nameera yang mendengar nya tertawa. “Kamu pernah liat mas Arga makan brutu emang?”
“Dia pemuja brutu. Tiap mampir ke rumah mesti bawa nya oseng brutu. Daging berlemak gitu tiap hari dia makan, tetep aja badan nya masih bagus.” Wahyu mengangkat kaki kiri nya, menumpukan tangan nya disana.
“Mas Arga suka olahraga emang, maka nya badan nya nggak berubah.”
“Kamu pernah lihat dia olahraga?”
“Pernah lihat dia sekeluarga lari pagi waktu nginep di rumah eyang dulu.”
“Kamu nggak ikut?”
Nameera menggeleng. “Olahraga? Nggak bisa olahraga aku, mas. Lari 5 menit aja langsung minta istirahat.”
“Lari bagus buat jantung padahal.”
“Heem. Ayah juga sering bilang gitu.”
“Nam?” Wahyu memanggil. Dia memandang Nameera sekilas lalu menatap ke bawah lagi. Menjaga pandangan lebih baik untuk nya.
“Ya?”
“Tipe laki-laki impian kamu yang gimana?”
Beberapa detik. Tidak ada jawaban. Wahyu hampir mendongak sebelum Nameera bersuara. “Muslim yang taat.”
“Cuman itu?”
“Cuman itu.”
“Aku denger banyak muslim yang taat lainnya melamar kamu tapi kamu menolak nya.”
“Ayah selalu suka sama mereka. Tapi ayah tolak lamaran nya karena tau aku nggak cinta sama mereka. Nggak mungkin kan aku menikah kalau aku nya nggak cinta. Pernikahan cuman sekali seumur hidup, aku nggak mau nyia-nyiain hal sepenting ini begitu saja.”
Mereka terdiam lagi. Wahyu iseng memanggil nya. “Nam.”
“Ya?”
“Nameera?”
“Apa, mas?” Wahyu tersenyum tertahan. Cara Nameera memanggil nya memang selalu bisa memporak-porandakan hati nya.
“Nama kamu cuman Nameera?”
“Iya, mbak sama adek aku nama nya juga satu kata aja. Ayah yang namain, kata nya biar praktis.”
“Nam?”
“Ya?”
“Kamu tau perasaan aku gimana ke kamu.” Nameera diam, dia sibuk memilin benang yang ada di ujung jilbab nya.
“Aku nggak minta kamu buat jadi pacar aku atau apapun itu. Aku cuman bilang gimana perasaan aku.” Nameera menghela napas pelan, dia sedikit kecewa dengan apa yang Wahyu katakan.
“Gimana?”
Nameera sedikit mendongak. “Apa?”
“Gimana perasaan kamu ke aku?”
Nameera kelabakan, bibir nya terus bergerak gugup. “Kita baru kenal.”
“Udah 4 bulan. Itu udah lama buat suka sama seseorang.” Wahyu menjawab. Dia sedikit mendesak Nameera tanpa dia sadari. Sudah 4 bulan Wahyu gencar mendekati Nameera, sering berkunjung ke fakultas kedokteran walau pun dia hanya bisa melihat Nameera sekilas, suka mengajak nya bicara walau itu hanya sebentar.
Wahyu juga sudah memperbaiki diri nya walau sedikit. Dia mulai menjalankan shalat sunah, membaca al-Qur’an tiap subuh, berusaha tidak menyentuh perempuan walau pun itu tidak sengaja, selalu menjaga pandangan nya pada perempuan untuk menghormati nya.
Wahyu menjalankan nya dengan perlahan. Dia tidak bisa merubah diri nya dengan drastis, dia harus fokus pada pertandingan besar di Semarang nanti. Belum lagi melatih teman-teman nya untuk turnamen antar universitas.
“Mas Arga masih lama?” Nameera bertanya. Mengalihkan pembicaraan.
“Nam?”
Nameera berdiri, dia menoleh pada Arga yang sedang berjalan santai ke arah nya. “Mas Arga disana, aku samperin dia dulu.”
Nameera menundukkan sedikit badan nya, mohon undur diri. Lalu berjalan setengah berlari menuju Arga.
Wahyu terdiam. Mata nya mengikuti pergerakan Nameera. Lalu tersenyum linglung setelah nya. Nameera baru saja menolak nya?

Book Comment (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters