logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 9 Di Warkop Bersama Bapak

Sekembalinya dari masjid untuk shalat ashar berjamaah, aku duduk di sofa ruang tamu, tanpa mengganti sarung dan baju koko yang kukenakan.
Sebentar lagi Maghrib, sekalian buat sholat Maghrib, begitu batinku. Gantinya nanti saja jika sudah mau tidur, kan usai Maghrib mau sholat Isya' juga.
Di tempatku duduk yang lurus dengan pintu, aku mengamati ponakan-ponakanku sedang bermain di teras rumah.
Mereka anak-anak Mas Fahri, kakak pertamaku, anak sulung Umi.
Usia Mas Fahri yang kini menginjak kepala empat, lebih sedikit dengan lima kepala yang menjadi tanggung jawabnya.
Anak Mas Fahri yang sulung, berusia empat belas tahun, jarang di rumah karena dia di pondokkan di Kediri. Tiga anaknya yang lain masih kecil, yang umurnya hanya terpaut dua tiga tahunan, aku tau istrinya seringkali kesulitan saat mengurus anak-anaknya. Untung saja pekerjaan Mas Fahri yang sebagai mandor perkebunan cengkeh milik Abi, tidak mengharuskan dia untuk meninggalkan anak dan istrinya dalam waktu yang lama, sehingga dia bisa ikut mengurus bontot-bontotnya itu.
"Lagi ngitungin anak gue Dam? Masih segitu kok, mau tambah satu lagi kayaknya, tapi masih gue usahain ini," Mas Fahri datang membuatku terkejut.Dia duduk disebelahku, aku langsung menatapnya, tau bahwa sorot matanya tertuju kepada tiga anaknya yang tengah berebut mainan di sana.
Lalu suara tangis terdengar.
"Loh loh loh, ada apa ini kok nangis...."
Umi dari dalam rumah tergopoh-gopoh menghampiri cucu-cucunya.
"Tokcer juga Mas kamu, anak-anakmu banyak kayak teletubis." kataku,lalu pandanganku kembali ke arah ponakanku, yang kini salah satunya sudah berada di gendongan Umi.
"Ya jelas dong. Bibit unggulnya dari Abi, besok kamu juga tokcer, kan kita satu peranakan,"
Perkataan Mas Fahri membuatku tergelak dan langsung berhenti saat dia kembali bersuara.
"Jadi kapan bisa buktiin omongan gue? Siapa tau lebih tokceran lo,"
Aku memilih menatap mas Fahri, laki-laki ini ternyata juga menatapku. Dari sorot matanya, tersirat bahwa ada kata berarti yang terselip dikalimat guyonannya.
"Cari obyeknya dulu Mas." Sudut bibirku terangkat. Mas Fahri yang masih menatapku ikut menyunggingkan senyum.
"Serah lo deh, gue tau perasaan lo sebagai lelaki. Ya walaupun gue gak pernah jadi joko tuwek kayak lo,"
Mas Fahri menikah diusianya yang kedua puluh lima. Setelah mantap mengikuti tawaran Abi untuk mengelola perkebunan, dia langsung berani melamar Mbak Ayu, istrinya yang baru kenal sebulan, tanpa embel-embel pacaran.
"Mas gak kayak Umi kan, ikut-ikutan nyariin cewek buat aku?" tanyaku lirih sembari melirik Umi yang kini sudah berjalan di halaman. Jika Umi dengar kan bisa bahaya. Dan yang perlu diwas-was sekarang Mas Fahri, bisa juga dibalik obrolannya denganku, diam-diam dia merahasiakan sesuatu.
"Ya enggaklah. Gue serah lo aja, mau nikahin anak orang kapan. Asal jangan lo buntingin baru lo nikahin,"
Aku beristighfar dalam hati. Mas ku ini satu-satunya pewaris keceplas ceplosan Umi. Mbak Ina saja yang wanita, omongannya lemah lembut, seolah ditenggorokannya ada penyaring kata sebelum keluar  menjadi suara. Sama sekali bukan tipe 'mulut tetangga'.
"Em..jadi kesimpulannya?"
Sinar mata Mas Fahri seolah meminta jawaban, alis tebalnya naik turun.
"Kesimpulan?" Yang jelas aku tidak tau maksudnya. Kesimpulan apa? Kami tidak sedang bercerita kisah Nabi lho. Jangan-jangan saking kebiasaannya bercerita kisah Nabi kepada anaknya sebelum tidur, dia kebawa kebiasaannya itu sekarang.
"Cewek yang dicariin Umi, gimana? Jadi lo pertimbangin?"
Oke, jauh dari yang kubayangkan. Mas Fahri masih waras.
"Enggak. Mas tau kan, kalo adikmu ini gak suka sama yang bercadar," Aku menjawab masih dengan melihat Umi. Sangat takut jika Umi tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
Bukan takut karena Umi akan menjewerku seperti dulu saat aku masih kecil, hanya hatiku yang merasa tidak enak. Sedikit merasa bersalah karena menolak perempuan pilihan Umi, dan kebanyakan sedihnya karena tak kunjung menikah.
Disisi lain, aku sedang tidak ingin membicarakan masalah pernikahan lagi dengan Umi. Nanti saja jika aku sudah membawa calonku, aku siap membahas pernikahan.
Mas Fahri tertawa.
"Jadi Umi cariin kamu yang bercadar?" Sembari berucap tangan Mas Fahri bergerak memberi gestur 'bercadar' ala dia.
"Bukan selera lo, apa lo gak mau kalo tuh cewek bakal jadi istri lo, jadi bahan pembicaraan orang sekampung tiap kali dia lewat?" Aku mengerti maksud omongan Mas Fahri. Tidak perlu lama kucerna, karena topik pembicaraannya tak jauh dari pembicaraan Umi kepadaku dulu, saat hanya ada aku di rumah.
"Kasihan ya Le, istrinya Jamal. Cuma karena dia bercadar tiap dia lewat jadi bahan omongan orang-orang, "
Rupanya, isi fikiran Umi sama denganku. Hingga aku berfikir adakah yang salah dengan bercadar? Dia kan bukan teroris, dia menunjukkan keimanannya kepada Allah dengan begitu tidak ada salahnya. Asal tidak mengganggu kehidupan kita, apalagi yang perlu dipermasalahkan.
Kalo kata anak sekarang, "Aku urip ra njaluk pakan koe, opo hakmu ngurusi uripku?"
Jika orang-orang merasa risih, ya jangan dilihat. Daripada menimbulkan gejolak tidak suka yang berakhir dengan berghibah.
"Emang gak selera Mas,"
"Emmm....Umi kok gitu juga nyari calon mantu,"
"Enggak tau juga. Umi mungkin sama khawatirnya kayak kamu Mas,"
"Serah lo deh. Gue ke dapur dulu, lihat masakan Ayu udah mateng apa belum,"
"Hooh mas,"
Sepeninggal Mas Fahri, aku memilih untuk ikut bermain dengan ponakanku. Menjadi kuda-kudaan dadakan, jadi gendong bergantian, dan aku merasakan betapa lelahnya jadi Mas Fahri saat hanya ada dia dan istrinya di rumah.
Mas Fahri sebagai sulung merasa sadar diri, tidak menetap di rumah Abi, dan membangun rumahnya sendiri di desa sebelah. Sebagai kakak, dia mengalah kepada adiknya.
Dia menyuruh Mbak Ina saja yang tinggal dengan Umi dan Abi, setelah menikah. Tapi, Mbak Ina malah menikah dengan laki-laki tunggal yang sudah diwarisi rumah orangtuanya sebelum meninggal.
Lagi-lagi, Mas Fahri yang sering kesini mengunjungi Umi dan Abi, karena Mbak Ani dan keluarganya tinggal jauh dari sini.
Aku juga sempat jadi pilihan, tapi karena aku tidak bisa diandalkan karena pekerjaan, serahkan saja pilihan terakhir kepada Ibra.
Semoga saja Ibra bisa menikah jika sudah waktunya, asal jangan nunggu jadi joko tuwek sepertiku.
Suara mesin motor berhenti di halaman rumah. Aku yang masih menggendong Alia, anak ketiga Mas Fahri yang berusia 3 tahun, langsung mendudukkan batita ini dilantai.
Abi turun dari boncengan Ibra. Kaos pendek dan celana kombrang yang dikenakannya, juga kopyah hitam yang  terlihat kemerahan karena warnanya sudah pudar dikepalanya, membuat tebakanku yakin, jika dia baru saja dari perkebunan.
Perkebunan cengkeh milik Abi, tidak hanya satu disini. Ada beberapa di desa lain, dan yang Abi kelola hanya satu yang disini, yang lainnya dia serahkan kepada Mas Fahri.
Pria yang berusia menginjak angka tujuh puluh, dengan kerutan tanda tua yang kentara sekali di wajahnya.
"Abi mandi dulu, habis itu makan ya. Kayanya Ayu udah beres masaknya,"
Umi berjalan di belakang Abi, masih dengan Raina, anak Mas Fahri yang keempat di gendongannya.
Saat lewat di hadapanku, Abi berhenti, menatapku.
"Habis Maghrib ikut Abi ke rumahnya Pak Slamet ya Dam...."
"Inggih Bi..."
Abi pasti tidak sedang menjodohkanku dengan anaknya Pak Slamet, yang setauku masih sekolah di SMK yang sama dengan Ibra kan.
Kunjungan Abi ke rumah Pak Slamet juga sering dia lakukan, yang merupakan salah satu rekannya saat pengajian.
Apa aku yang terlalu obsesi sama pernikahan. Bisa-bisa jika selalu kufikirkan, mendadak aku masuk ke Karanganyar, salah satu rumah sakit jiwa yang ada di Trenggalek.
====
"Abi mau tambah lagi kopinya?"
"Enggak Dam, nanti gak bisa tidur,"
Saat ini aku sedang berada di warung kopi pinggir jalan. Usai pulang dari rumah Pak Slamet, yang ternyata tidak sama sekali membahas acara perjodohan, aku mengajak Abi mampir ke sebuah warung kopi baru, yang baru kulihat saat aku pulang ini.
Biasanya Abi tidak mau, selalu mengatakan tidak ada gunanya nongkrong-nongkrong tidak jelas, lebih baik pulang dan menggunakan waktu untuk hal yang lebih bermanfaat.
Kali ini Abi mengenyahkan prinsipnya itu, duduk di sebelahku, dan menghabiskan beberapa pisang goreng, jajanan favoritnya.
Mungkin, dia merasa perlu nongki- nongki ala anak muda, untuk menghilangkan kepenatan di usia tuanya.
Apa yang kulakukan di warung kopi seperti ini, jika ketahuan Umi, aku yakin wanita itu akan langsung menyeret kami berdua pulang, dan mengomel-ngomel bahkan saat kami belum berhasil keluar dari warung.
Seperti waktu dulu, saat aku melakukannya bersama Ibra.
"Malam-malam nongkrong disini, cuma buat ngopi. Kalo cuma kopi doang, Umi juga bisa buatin. Mau tambah berapa gelas gratis... Kopi saja pake beli,"
Aku dan Ibra hanya bisa diam, menundukkan kepala malu. Umi mengatakan itu dengan keras, mustahil jika para orang di warung tidak bisa mendengar. Apalagi dengan ekspresi pemilik warung, pasti sudah keluar asap di kedua telinganya yang merah, tanda dia kesal.
Umi memang tidak pernah merasakan nikmatnya segelas kopi buatan warung, yang aku saja bakal sedikit-sedikit menyesap, agar bisa menikmati kenikmatan segelas kopi, yang kata orang banyak di mantra-mantra dukun pilihan.
Percaya atau tidak, nyatanya semua yang dibuat warung tidak senikmat yang kita buat sendiri, indomi misalnya.
"Abi ingin aku nikah secepatnya?"
Obrolan-obrolan yang kulakukan dengan orang rumah, tidak jauh nyerempet dengan pernikahan.
Bukti, bahwa mereka mengkhawatirkan aku yang tetap melajang diusia kepala tiga.
Pertanyaan kutujukan kepada Abi, ingin membicarakan tentang pernikahan dari sudut pandang Abi.
Abi menatapku, lalu tersenyum.
"Nikah itu ibadah. Wajib kalo kamu merasa mampu membangun rumah tangga, dan khawatir kalo terjadi zina. Sunnah kalo kamu mampu berumah tangga, tapi sama sekali tidak khawatir akan terjadi zina, dan haram kalo kamu tidak mampu berumah tangga dan khawatir akan menelantarkan istrimu setelah menikah. Jadi, kamu merasa yang mana?"
Abi itu lemah lembut, berbanding terbalik dengan Umi. Abi tidak pernah menuntut anaknya untuk menjadi seperti yang dia inginkan. Hanya dia bimbing hingga menemukan kebaikan untuk anaknya. Dia luruskan jika anaknya bersalah, memberi pencerahan hingga anaknya sadar bahwa yang dipilih sebuah kesalahan.
Abi jarang marah, jika marah dia hanya diam. Hanya beberapa jam, setelah itu mendekati kami, memberikan nasihat, memberitahu bahwa yang kami lakukan salah, hingga kami berakhir meminta maaf.
"Kayaknya, aku merasa menikah menjadi sebuah kewajiban sekarang, Bi.."
Aku siap lahir batin untuk membangun rumah tangga, siap memenuhi kebutuhan istriku, yang kukhawatirkan untuk sekarang adalah zina.
Menjadi laki-laki lajang normal, nafsu masih menjadi lawan utama yang harus dibinasakan.
Yang sudah menikah saja banyak yang menghamili tetangga, apakabar dengan laki-laki lajang yang normal? Yang memilih melubangi sabun karena ingat dengan Tuhan. Padahal kegiatan non faedah itu juga melanggar aturan Tuhan, setidaknya lebih baik daripada melesakkan ke lubang anak orang, begitu menurut mereka.
"Ya kalo wajib segera lakukan. Nunggu apalagi, lha wong hukumnya sudah jelas,"
Abi mengambil satu pisang goreng yang tersisa. Tidak peduli bahwa hanya Abi seorang yang menghabiskan sepiring pisang goreng yang kupesan, otakku terus berputar, mencerna kata yang pas yang bisa ku lontarkan pada orang yang kuhormati ini.
"Aku sudah ada calon Bi...."
Aku hanya mengatakan ini kepada Abi. Orang pertama yang kupilih untuk mengetahui perempuan yang berhari-hari lalu dengan yakin kujadikan calon istri.
Ingin bercerita kepada Abi, apakah desiran yang selalu muncul ketika aku melihat perempuan itu, dari setan atau memang asli dari Tuhan.
"Ya bagus itu," Abi merespon pendek.
"Tapi hanya Abi yang boleh tau,"
Abi mengangguk tanda setuju.
Aku juga tidak tau kalo mungkin selama ini Abi selalu menjadi korban celotehan Umi tentang aku yang tidak kunjung menikah. Entah itu benar adanya atau tidak, jika iya maka perkiraanku Abi hanya akan menjawab seperlunya.
"Segera ajak Abi menemui dia. Jangan bawa ke rumah, kalo kamu gak mau tetangga kamu ngomongin Abi."
"Abi gak pengen tau wajahnya dia? Cantik seperti Umi atau enggak? Akhlaknya baik atau enggak? Sopan santun, seiman, solehah?" berondongku dengan pertanyaan yang sesuai dengan kriteria mantu Abi.
"Masalah yang tidak bisa dilihat dengan mata, kembali lagi sama kamu. Jika kamu merasa orang baik, kamu pasti mencari perempuan yang baik juga. Bukan menetapkan pilihan sama perempuan rok mini. Kalo sama cantik enggaknya, kembali pada pandanganmu terhadap perempuan, indah dipandanganmu atau enggak. Abi akan memberi jawaban nanti kalo udah ketemu sama dia,"
Aku mengangguk, sudah faham dengan penjelasan Abi. Sudut pandang Abi tentang pernikahan memang beda.
"Jangan lupakan sholat malam,"

Book Comment (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    23d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters