logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Secuil Kisah Tentang Ibra

"Kamu darimana aja? Perasaan jamaah udah selesai dari tadi," Perhatian dari piring yang kucuci teralihkan saat menyadari kedatangan Ibra.
Aku tadi berangkat ke masjid berdua dengan Ibra untuk sholat subuh, sekalian mengenalkan area kompleks.
"Mas kok ninggalin aku? Jadi nyasar tadi."
Adikku ini memasang ekspresi kesal. Aku tergelak. Bagaimana bisa nyasar, sementara letak masjid hanya melewati dua gang saja.
Tindakan untuk meninggalkan Ibra usai imam melantunkan doa, tidak pernah melintaskan kemungkinan terburuk yang akan terjadi dengan anak itu.
Aku juga malas untuk menunggunya, yang tadi saat lewat disampingnya, posisi anak itu dalam keadaan bersila dengan menundukkan kepala. Aku menyangka jika dia sedang berdzikir khusuk-khusyuknya. Tak taunya, malah tidur.
"Untung ada bapak -bapak yang ngasih tau jalan ke rumah ini,"
"Makanya, tidur itu tau tempat."
"Ya harusnya Mas nggak usah ngajak aku ke masjid." Usai menyelesaikan bilasan piring terakhir, mengelap tangan dengan kain bersih, aku berbalik. Menghadap Ibra yang masih setia dengan tampang kesalnya.
"Menurut kamu, tanpa ada Abi disini, kamu bisa seenaknya ninggalin jamaah? Terus, tujuan Umi nitipin kamu ke Mas buat apa? Kamu anggap Mas kamu ini juga apa?" Anak ABG macam Ibra ini perlu ditegaskan beberapa hal.
"Iya-iya, aku salah...."
"Alhamdulillah kalo kamu nyadar. Kamu disini jadi tanggung jawab Mas, jadi turutin perintah Mas. Ambilin gelas yang di depan. Bawa kesini."
Aku tau Ibra dengan tidak ikhlas menuruti perintahku. Cara berjalannya yang ogah-ogahan membuktikan persepsiku itu.
"Mas kalo nggak sayang sama kamu, mana peduli? Mana mau Mas bangunin kamu yang tidurnya macam kebo, " ujarku lagi saat Ibra datang dengan beberapa gelas kotor.
Gelas bekas kopiku dan Ardan tadi malam. Rekan kerjaku itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang.
Membawa dua kotak martabak telur, dan sebagai pendampingnya aku membuat kopi.
Niatan Ardan datang ke rumah ternyata hanya untuk mengajakku mabar, dan kami akhirnya terjaga sepanjang malam gara-gara Ardan yang berkali-kali mengajak mengulang permainan, karena dia tidak terima aku yang menang.
Aku hanya tidur dua jam, terbangun saat adzan subuh, dan Ardan langsung pulang saat itu juga. Katanya dia ada janji untuk mengantar ibunya ke pasar. Padahal jika tidak ada, pasti laki-laki itu akan tidur disini hingga siang. Mengingat bahwa jadwal kerjanya nanti sore.
Usai meletakkan gelas kopi di wastafel, mataku mengekori Ibra yang masuk ke kamarnya. Kamar yang sebelumnya kujadikan gudang, yang langsung terpaksa kubereskan semenjak Umi menyatakan jika Ibra akan tinggal disini.
"Mau tidur lagi kamu?" tebakku langsung.
Ibra berbalik, menunjukkan cengiran andalannya. Sebenarnya cengiran Ibra itu jika ditunjukkan ke perempuan seusianya, akan menarik. Adikku itu memiliki gigi yang tumbuh diatas gigi.
Eh gimana sih.
Gigi yang tumbuhnya tidak berjejer rapi, gingsul lah bahasanya. Dan Ibra memiliki itu dikedua sisi gigi deretan atas. Dimana gigi yang ternyata tumbuhnya tidak diinginkan itu menjadi terlihat seperti taring.
Tapi tidak seperti taring macan juga.
Keberadaan giginya itu yang membuat cengirannya terlihat mempesona hanya dihadapan lawan jenis, tapi tidak dihadapanku.
Apalagi jika cengirannya selebar kulkas dua pintu, gigi gingsulnya akan menekan bagian dalam pipi, hingga menciptakan lubang pipi, seperti milik Afgan.
Bisa dibayangkan betapa gantengnya adikku ini.
"Siapa yang ngajarin kamu tidur habis subuh?"
Sebenarnya kadang-kadang aku juga tidur usai subuh, tapi itu karena ada alasannya juga.
Abi tidak mengajari anak-anaknya untuk terbiasa tidur usai subuh. Katanya, biar riskinya tidak dipatok ayam.
Dan disini, dihadapan Ibra aku harus menggantikan peran Abi. Makanya, tidak kubolehkan Ibra, walaupun aku sendiri sering melakukannya.
Setidaknya, Ibra tidak seperti aku.
"Ambil sapu, sapu sampe halaman depan."
Ibra berlalu sembari menggerutu yang terdengar ditelingaku.
===
"Kamu di rumah masih ngaji kan?"
"Masih Mas..."
"Terus kalo kamu disini, gimana ngajimu?
Ibra sejenak menghentikan kegiatan membuka bungkus nasi kuningnya, lalu menatapku. Sementara aku, menyuapkan sesendok nasi sembari menunggu respon Ibra.
Kami sedang sarapan berdua. Dan nasi kuning adalah menu pagi ini. Nasi yang kubeli dari tukang sayur yang lewat depan rumah.
"Ya, nggak ngajilah Mas,"
"Abi kok ngizinin kamu kesini, kalo ternyata harus ninggalin ngaji?"
Abi mendidik kami agama sejak kecil, dan mencarikan tempat pendidikan agama setelah kami beranjak remaja, karena merasa bahwa ada ilmu lain yang tidak bisa diajarkannya kepada kami. Dan intinya pendidikan agama itu kewajiban bagi kami, anak-anak Abi.
"Kita buat perjanjian."
"Perjanjian?"
Aku melirik nasi milik Ibra masih menggunung. Sementara milikku sudah kutandaskan hingga hanya tersisa kertas minyak, yang menjadi pembungkus.
Jujur, seporsi nasi kuning yang kini sudah pindah ke perutku, masih belum bisa memenuhi kapasitas perutku yang akan kenyang jika makan dengan porsi kuli.
"Aku janji ke Abi, walaupun ngajinya libur, tapi hafalannya tetap Mas...."
"Kamu kelas berapa sih?"
"2 Aliyah lah."
"Masih di madrasah yang dulu kan?"
Ibra hanya merespon dengan anggukan.
Ibra masuk ke madrasah diniyah yang sama denganku dulu. Jika sistem pendidikan disana tidak ganti hingga sekarang, maka akan kujelaskan tingkatannya.
Tingkat Ibtidaiyah, kelas satu hingga kelas tiga, dikhususkan untuk anak-anak usia jenjang SD.
Tingkat Tsanawiyah, terdapat tiga kelas juga, kelas satu hingga kelas tiga. Di tingkatan ini mayoritas muridnya usia jenjang SMP, sisanya murid usia SMA.
Yang terakhir, tingkat Aliyah. Kelas satu dan dua, untuk murid usia jenjang SMA dan jenjang diatasnya. Di tingkatan Aliyah ini yang menurutku sangat berat, karena pelajaran utama yang diajarkan yaitu Alfiyah.
Mewajibkan para murid untuk menghafal nadzomnya, yang jumlahnya ada seribu tiga bait.
Yang jelas waktu itu aku tidak hafal semuanya, mungkin hanya seratusan. Karena saat itu aku disibukkan dengan persiapan ujian nasional SMA, dan juga persiapanku seleksi.
Mengetahui bahwa Ibra masih getol hafalan disela-sela masa prakerinnya, membuatku bangga.
Aku tidak pernah merasakan prakerin, karena aku SMA. Menurut pengalaman yang diceritakan rekan kerjaku yang sebagian lulusan SMK, prakerin itu enak-enak tidak. Banyak tidak enaknya sih, katanya.
Mereka yang harus mulai mengenal dunia kerja, harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru. Enak, bakal dapat teman baru.
Tapi dapat musuh baru juga, jika ada yang tidak suka.
Yang bagian tidak enaknya, jika terlalu disuruh-suruh. Wajar saja, karena mereka berposisi sebagai bawahan. Yang sedikit tidak wajar itu jika perintah yang wajib dilakukannya itu keluar dari ranah jurusan.
Aku akan memberi contoh seperti yang diceritakan temanku. Mereka disuruh atasan untuk membersihkan kamar mandi, yang mana membersihkan kamar mandi tidak ada teorinya di jurusan mereka.
Seharusnya, membersihkan kamar mandi ditugaskan untuk karyawan yang jelas mengalir gaji tiap bulannya.
Bukan ke mereka yang sedang menerapkan ilmu jurusannya, yang jelas tidak digaji tapi malah menggaji.
Tapi itu prakerin zaman dulu, tidak tau jika yang sekarang. Bisa jadi sistemnya berbeda.
Masa remajaku dulu, aku tidak sehebat Ibra sekarang. Kata Umi, aku ini anak paling susah diatur dari anaknya yang lain.
Berangkat pamitnya mau mengaji, tapi ditengah jalan belok ke tempat PS.
Pulang lebih dulu daripada temanku yang mengaji, lalu Umi akan bertanya yang ku jawab, "Pak Ustadz nya udah males ngajar Mi, jadi dipulangin duluan."
Mengapa alasan tidak masuk akal itu yang dulu kulontarkan. Dan Umi tentu tidak pernah percaya, lalu dia menjewer telingaku hingga merah.
Ada satu kejadian yang masih kuingat hingga sekarang, walaupun waktu sudah berjalan sepuluh tahun kemudian.
Sore itu, aku baru saja pulang dari les persiapan ujian nasional di sekolah.
Fikiranku masih pusing, karena baru saja dimasuki rumus-rumus matematika, pelajaran yang sama sekali tidak kusuka.
Tubuhku lelah, aku ingin mengistirahatkan tubuhku. Tapi, usai Maghrib aku harus mengaji pada Abi. Tidur diwaktu seperti itu bukan pilihan.
Mengatakan alasan kelelahan pada Abi, jelas bukan alasan yang tepat. Abi tidak akan menerima alasan seperti itu. Baginya lelah bukan alasan untuk tidak mengaji.
Aku berfikir bagaimana caranya agar bisa absen mengaji. Melihat dua benda yang berjejer di rak bawah meja belajarku, sebuah ide lalu terlintas.
Mengambil satu benda itu yang merupakan pewarna makanan berwarna merah, lalu meneteskannya dibagian nadi tanganku. Sebelum merebahkan diri dilantai kamar, tak lupa juga kuletakkan gunting disebelah tanganku yang terbaluri pewarna merah, yang terlihat seperti darah.
Aku memejamkan mata, menunggu kedatangan Umi ke kamarku, yang sebentar lagi menyuruhku untuk menemui Abi.
Begitu Umi datang dan melihat kondisiku seperti itu, Umi panik. Teriak memanggil Abi yang sedang mengajari mengaji Al-Qur'an murid-muridnya di ruang tengah.
Entah kenapa saat itu, sebelum Abi sempat datang, dan Umi masih teriak teriak dengan sangat panik, membuatku seketika membuka mata.
Mengakhiri permainan bodohku, entah karena aku tidak tahan melihat Umi panik, atau karena sudah tidak kuat menahan kepura-puraanku.
Dan setelah itu, aku diceramahi Umi habis-habisan karena telah berbohong dan membuat orang lain khawatir.
Aku tersenyum mengingat kejadian itu.
Mengingat kenakalan yang kubuat dulu, yang masih membekas hingga sekarang.
"Mas hapemu bunyi tuh,"
Aku yang baru saja kembali dari dapur, langsung meraih ponselku yang berdering.
"Selamat pagi,"
"Siap, baik."
"Siap, laksanakan."
Aku langsung menyuruh Ibra mengeluarkan motorku yang berada di depan motornya.
Di rumah ini tidak ada garasi, sehingga terpaksa menjadikan sebagian ruang tamu menjadi garasi darurat.
Adikku itu ternyata turut serta membawa motornya yang akan digunakan semasa prakerin.
Motor bebek, yang sedang nge-hits dikalangan anak muda sekarang. Apalagi ditambah dengan helm cargloss, mempernecis tampilan pengendaranya yang memakai celana jins hitam, sepadan dengan warna kaos yang dikenakannya.
Selera Ibra memang se fashionable itu.
Aku suka saja semua motor berjenis matic apalagi jika gratis. Tapi aku lebih suka motor Vario Cbs Iss 125 keluaran terbaru, yang memang kupilih menyesuaikan keadaan tubuhku yang pelukable ini.
Aneh rasanya jika aku berkendara menggunakan motor Ibra yang didesain berbentuk minimalis seperti bebek.
Adikku itu enak sekali, aku saja baru melunasi motorku tahun kemarin, sementara dia tinggal ongkang-ongkang di rumah, sudah mendapat motor tanpa memikirkan cicilan.

Book Comment (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters