logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Kepingan Masalalu

Kesunyian bisa sedamai dan setenang ini ternyata. Aku mendongak,
memejamkan mata. Menggeser kursi yang kududuki sedikit menjauh dari meja, lalu menyelonjorkan kaki sebelum akhirnya menopangkan di atas sana.
Sayup adzan isya' terdengar bersahutan, membuatku refleks meringis menyadari jika aku telah berjam-jam berada di tempat ini.
Usai mengatungkan tangan mengucap doa setelah adzan, dua daun pintu berwarna coklat yang berada jauh dari mejaku berderit. Satu pintu terbuka, lalu menyembul sebuah kepala.
Aku berjengit, mengucap istighfar dalam hati, bahkan bersiap lari sebelum kepala itu akhirnya memunculkan sosok manusia utuh yang kini malah nyengir tanpa rasa bersalah.
Pintu dibukanya lebar-lebar.
"Loh masih ada orang toh?"
Perempuan itu melangkah masuk, memandangku dengan mata menyipit.
"Iya Ndun, saya ini, " balasku seraya memperbaiki duduk yang sempat oleng akibat perempuan berambut panjang terurai itu. Perempuan itu mendekat.
"Ya Allah ya Robbi, Pak Adam to...kukira siapa tadi. Udah malam lho Pak, kok masih disini,"
"Hooh Ndun, biasa utusan komandan,"
Aku bangkit, merapikan map-map yang tadi kuacak-acak. Tugasku sudah selesai, dari tadi malah. Hanya saja aku masih malas berbenah.
"Mau dibuatin kopi, atau teh buat nemenin lemburnya Pak?"
Tawaran Indun kuangguki, perempuan itu beranjak, setelah aku membalas minta dibuatkan kopi saja.
Indun itu tukang bantu-bantu disini. Tugasnya ya seperti tadi, buatin kopi, buatan itu ini ya seperlunya para manusia yang kerja disini pokoknya.
Aku mengenal dia sebagai sosok ibu beranak satu dengan kepribadian yang embernya luar biasa menurutku.
Mulutnya yang ceplas-ceplos, apalagi jika diajak berghibah, tidak ada bedanya sama ibu-ibu kompleks.
Jadi saranku, jika ingin curhat atau punya rahasia yang menurutku ingin dibagi kepada satu orang, jangan ceritakan ke Indun. Jika tidak ya, satu orang akan berubah menjadi satu kantor, bahkan satu kota.
Dari sisi baiknya, Indun itu perempuan yang baik, tidak gampang memasukkan hati omongan orang, supel, dan asyik. Dia itu tipe perempuan yang tidak peduli dengan omongan orang.
"Jarne wae Pak Dam, omongan orang ya selalu gitu. Mereka gak tau kehidupan saya yang sebenarnya. Terserah lah mau ngomongin saya seperti apa, yang penting saya tidak seburuk yang mereka cela. Peduli apa, lha wong ini hidup-hidup saya,"
Seingatku, serentetan kalimat itu yang menjadi balasan setelah aku mengatakan, bahwa aku tidak sengaja mendengar namanya dijadikan bahan gosip ibu-ibu pengeliling gerobak sayur depan kantor.
Perempuan itu kadang kala menutup rambutnya dengan hijab, kadang kala juga seperti saat ini, membiarkan rambut sepunggungnya tergerai yang malah membuatku risih jika rambut itu menyusahkannya tatkala dia bekerja.
Pernah kuberikan saran, agar menguncir rambutnya saja saat dia tidak berhijab, namun balasannya, "Lah...ya eman-eman sama rebondingan saya yang otodidak ini lho Pak Dam..."
Setelah itu dia bercerita panjang lebar, yang hanya kutangkap intinya saja, bahwa dia dengan susah payah merebonding rambutnya sendiri, demi menghemat uang tiga ratus ribu, biaya rebonding ke salon.
Dan sejak itu aku sudah tidak menyinggung lagi tentang geraian rambutnya.
"Loh Ndun, kemarin kamu udah rapi lo pake hijab, sekarang kok lepas. Kamu buang dimana?"
Aku yang kala itu masih menatap berkas ditanganku seketika menoleh, mendapati Pak Zam yang rupanya melontarkan kalimat itu pada Indun yang sedang mengambil gelas kopi kosong di meja sebelah Pak Zam.
"Hehehe, saya masih lepas pasang kok Pak Zam, doakan saja segera istiqomah,"
Seperti itu jawaban si Indun, yang seketika waktu itu diaminkan orang-orang se-ruangan. Aku tidak akan mengomentari Indun tentang lepas pasang hijabnya.
Niatku, aku akan leyeh-leyeh dulu disini, sembari menikmati kopi yang dibuatkan Indun.
Tidak ada alasan juga buat segera pulang. Mengingat tidak ada acara selepas ini, dan menyadari bahwa ini Sabtu malam.
Sabtu malam diperuntukkan untuk manusia tanpa pasangan sepertiku. Sedangkan malam minggu diperuntukkan bagi kalian yang punya gandengan.
Kalian yang jomblo tidak akan 'ngenes' lagi karena sebutan malam minggu perlahan akan hempas dari telinga kalian.
Indun datang, lalu meletakkan segelas kopi hitam yang masih mengepul di meja celah-celah berkasku tertata.
"Suwun ya Ndun."
"Inggih Pak Dam. Saya langsung pamit. Habis ini mau packing. Saya besok ke rumah mertua,"
Aku membalas dengan anggukan.
Seperti itu rupanya. Pantas saja jika jam segini perempuan itu masih wira-wiri di kantor.
Dan sepertinya mengingat yang dikatakan Indun, perempuan itu akan cuti untuk beberapa hari ke depan. Makanya, mengapa perempuan itu kerja hingga malam, alasannya untuk menggantikan hari yang dia ambil untuk cuti.
Setauku rumah orang tua suami perempuan itu, bukan di Jawa Timur, entah tepatnya dimana, tidak penting juga untukku.
"Loh Dan, bukannya lo udah pulang dari tadi sore. Ngapain lo kesini lagi?" Perkataanku terlontar begitu melihat Ardan sedang memangku laptopnya di kursi panjang sebelah pintu masuk kantor. Laki-laki bertopi itu mengangkat wajahnya, melihatku.
"Gue nemenin lo ini. Udah kelar lo?"
Aku masih berdiri di posisiku, mengamati Ardan yang kemudian menutup laptopnya. Dan kuyakin, jawabannya itu bukan jawaban yang sebenarnya.
"Cari makan yuk, gue temenin malam minggu lo" ucap Ardan yang kini berdiri di sampingku.
Laki-laki itu lalu beranjak dulu, yang beberapa detik kemudian aku mengikutinya di belakang sembari memakai jaket untuk menutup seragam dinasku.
"Sorry Dan, gak ada kata malam minggu dihidup gue,"
balasku setelah berhasil menjajari langkahnya.
"Iya-iya gue tau lo jomblo. Eh mau gue kenalin cewek enggak?"
Aku mencebik, bahkan sosok yang mengataiku pun sama jomblonya sepertiku.
"Cantik Dam, body nya uhhh. Kalo kata Mbah gue, semok tenan," katanya lagi, yang kali ini disertai dengan acungan jempol.
"Eh iya, lo kan gak doyan cewek semok. Tipe lo kan ukhti-ukhti dengan pipi kemerahan-merahan,"
Setelah mengatakan itu, Ardan cekikikan.
"Gak yang kemerah-merahan juga kali, lo kira rambutan."
Aku menilik parkiran. Hanya ada satu motor disitu dan itu adalah milikku.
"Gue nebeng lo, gue tadi kesini ngojol,"
Ardan berkata begitu saja, seolah tau tentang apa yang saat ini kufikirkan.
Kurogoh kunci di saku celana, lalu ku lempar ke Ardan yang refleks menangkap dengan tepat.
"Lo yang nyetir."
===
"Nih kopi lo,"
Aku menerima uluran se-cup kopi dari tangan Ardan. Laki-laki ini lalu duduk di sebelahku.
Usai menandaskan makan malam yang tadi sempat menjadi perdebatanku dengannya, yang akhirnya tercetuskan untuk makan nasi goreng gerobakan di belakang alun-alun, Ardan mengajakku ke tempat ini.
Kembali mengingat bahwa aku tidak keburu pulang, maka aku iyakan ajakannya.
Laki-laki ini sempat izin membeli kopi tadi, yang akhirnya aku melangkah sendiri mencari tempat duduk tak jauh darinya membeli kopi.
Kami berdua duduk di pot cor-coran besar yang ditanami pohon pakis yang daunnya menjulur mengenai rambutku.
Alun-alun bagian ini ternyata remang-remang daripada alun-alun pusat, dan juga bagian pohon beringin yang malah ramai dengan permainan anak-anak.
Lapangan basket terhampar di depan, terlihat beberapa anak bermain kitiran -jenis permainan yang bentuknya baling-baling dari plastik berukuran kecil, dimainkan dengan memelintir bagian tubuh baling-baling, lalu benda kecil itu akan terbang ke udara disertai dengan kelap-kelip lampu yang menyala jika baling-baling berputar. Sebelas dua belaslah sama baling baling Doraemon-, beberapa yang lain bermain kejar-kejaran, ada juga orang tua yang mengawasi mereka.
"Eh anjay si Bambang, tuh berdua ciuman aja di tempat kek gini. Lihat Dam, disana noh,"
Sembari menyeruput kopi, mataku mengikuti arah yang ditunjukkan Ardan. Lumayan sulit untuk menemukan dua sejoli yang dimaksud Ardan, di tempat yang jauh lebih remang-remang di sana.
"Hooh gue lihat,"
Tanganku mengusap bibir yang belepotan kopi, yang tadi dengan tidak sengaja tersedak tatkala mataku berhasil menemukan sepasang anak muda itu.
Aku beristighfar dalam hati.
Tempat ini memang remang-remang, hanya ada dua tiang lampu tinggi yang tertancap di kedua sisi lapangan.
Sementara tempat sepasang muda mudi itu, berada jauh dari sinar lampu, yang akhirnya terlihat jauh lebih gelap. Ditambah posisi mereka ada dibawah pohon pakis. Pantas saja mereka berani melakukan 'itu'.
Aku dan Ardan masih memandangi pasangan kekasih yang sedang asyik bercumbu itu. Beberapa kali mengucap istighfar dalam hati, tapi mataku malah enggan berpaling.
"Kita kan pacaran Dam, lakuin aja ayo,"
Aku terdiam, bibirku masih enggan berkata, hanya mataku saja yang mengerjap, memandangi perempuan di sebelahku yang memasang ekspresi meminta.
"Cuma ciuman bibir Dam, itu wajar kok,"
Yang kulakukan lagi-lagi hanya mengerjap. Perempuan disebelahku ini Arinda, pacarku selama dua minggu terakhir ini.
Arinda bukan teman sekelasku. Aku laki-laki bertipe yang tidak terlalu peduli teman beda kelas, tiba-tiba merasa kepo saat melihat perempuan bertubuh sintal itu menabrakku di kantin.
Bisa dibilang itu pertemuan pertama kami.
Hingga hari berlanjut, yang akhirnya kami berpacaran, yang status Arinda adalah kakak kelasku.
"Ayo Dam, mumpung kosku sepi." rayunya lagi. Arinda memainkan kerah seragam sekolahku, yang memang belum aku ganti, karena setelah pulang sekolah aku langsung ke kos mengantarkan pulang pacar kesayanganku.
Aku mengalihkan pandang, menilik kamar kos Arinda yang berukuran tidak besar.
Pandanganku kembali pada perempuan yang kini semakin bergelayut manja di dadaku.
Kedua mata Arinda menatapku penuh permohonan, dia sedikit mengerucutkan bibirnya yang merah terpoles liptint -yang kami beli waktu ada promo disebuah toko kosmetik baru-. Beberapa detik, kami hanya saling pandang.
Menatap bibir penuh milik Arinda, membuat perutku tergelitik, menciptakan sensasi yang tidak bisa kujelaskan pada bagian tubuhku bawah yang terbungkus celana panjang abu-abu. Semua laki-laki normal, pasti akan merasakan sensasi yang sama jika berada di posisi sepertiku.
Aku menghela nafas, meminimalisir gelenyar aneh yang merasuki tubuhku, yang nyatanya malah bertambah saat jemariku yang entah kapan sudah membelai pelan bibir Arinda.
Dia memejamkan mata, sedikit membuka bibir, seolah menikmati sentuhanku, bahkan aku yakin jika perempuan di pelukanku ini sudah siap jika tiba-tiba aku menuruti permintaannya.
Aku tidak kuat, bibir penuh ini memang menggoda untuk segera dilumat.
Kami berpagut, saling bertukar saliva. Menciptakan rasa basah yang nikmat, rasa yang baru pertama kali kurasakan.
Rasa yang sudah lama ingin kurasakan, selalu membuatku penasaran ketika adegan seperti ini terselip di film dewasa yang sering kutonton di larut malam.
"Enak ya Dam kalo punya gandengan,"
Aku menggeleng cepat, suara Ardan menyadarkanku dari kepingan masalalu.
Mataku beralih dari ke dua manusia yang hingga kini masih bertukar saliva.
"Apa kita gangguin aja mereka Dam, keknya mereka masih bocil deh. Gak ada sopan-sopannya sama senior kek kita. Gimana kalo lo baca Alquran di sebelah mereka. Yang ayat tentang zina itu lo Dam, ntar gue yang videoin biar kaya di YouTube-YouTube,"
Aku bangkit, mulai beranjak tanpa merespon ide gila yang dilontarkan Ardan.
"Mau kemana lo Dam..."
"Mau minjam Al-Qur'an ke tukang siomay, "

Book Comment (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters