logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Pipi Merah Muda

Sedikit meregangkan tubuh, kuambil sepatu olahraga dari rak samping pintu, lalu menghenyakkan pantatku di undak-undakan rumah.
Aku memulai sedikit pemanasan usai mengikat tali sepatu. Hanya gerakan ringan, mengikuti prosedur agar ototku lemas dan tidak terjadi cedera, sebelum akhirnya kakiku berlari kecil keluar dari halaman rumah.
Beberapa ibu rumah tangga yang sedang beraktivitas di depan rumahnya, sejenak menghentikan aktivitas tatkala aku lewat di depan mereka. Mereka menyapaku ramah, kebiasaan yang terjadi jika berpapasan dengan tetangga.
"Inggih, monggooo" (Iya,mari....)
Balasku dengan seulas senyum, usai ibu-ibu itu menyapa. Jawaban sama yang selalu yang kulontarkan setiap kali ada beberapa tetangga menyapaku.
Tinggal di perumahan seperti ini, tidak sulit untuk berbaur dengan mereka, walaupun daerah yang kutinggali ini termasuk wilayah pusat kota. Orang kota yang katanya sombong-sombong, tidak mengenal tetangga, dan condong ke arah egoisme, seperti pemikiran kritisku dulu sebelum aku membuktikan sendiri bahwa pemikiranku itu tidak terbukti benar.
Mereka ramah, sopan dan masih saling bertegur sapa. Walaupun jiwa sosialisme mereka masih kurang jika dibandingkan dengan masyarakat di desaku.
Aku pindah kesini sekitar dua tahun yang lalu, terpaksa aku lakukan karena pekerjaan. Menyewa satu rumah di kompleks perumahan yang tentunya tidak jauh dari tempatku bekerja.
Bisa sih, jika aku memilih pulang pergi dari rumah ke kantor yang bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam.
Mengingat bahwa akan membutuhkan waktu tiga jam pulang pergi setiap hari, membuatku memikirkan akan kondisi tubuhku yang tentunya sangat lelah.
Aku lahir dan tumbuh besar di desa yang berada di dataran paling tinggi di wilayah Trenggalek.
Daerah yang terletak dibagian paling Barat Daya Trenggalek.
Desa Sawahan, Kecamatan Panggul.
Masuk dalam daerah pegunungan, yang dimana aksen menuju daerah itu harus melalui jalanan berkelok dengan samping deretan jurang curam.
Desaku bukan satu-satunya desa yang berada di dataran tinggi di kota ini.
Ada beberapa kecamatan lain seperti Kampak, Dongko, Pule, Watulimo, Munjungan dan Bendungan.
Akses menuju kesana tidak jauh beda dengan jalanan ke desaku.
Jika kalian suka memacu adrenalin, mengunjungi tempat tempat itu adalah hal yang patut dicoba.
Terutama Kecamatan Munjungan, yang akses nya dua kali lebih sulit dari kecamatan lain yang tadi kusebutkan.
Membahas masalah sosialisme, orang kota tidak begitu buruk. Dalam artian orang kota disini, yang kukenal.
Entah dengan orang kota yang lain.
Masyarakat disini masih melestarikan gotong royong dan kepedulian. Hanya saja, ada beberapa perbedaan yang sangat jelas kurasakan antara masyarakat disini dan masyarakat desaku.
Mengenai adat keagamaan.
Selama dua tahun tinggal di kompleks ini, jarang sekali atau bahkan belum pernah aku diundang untuk acara selamatan atau yasinan.
Acara selamatan tentunya sudah umum terdengar. Sedangkan acara yasinan mungkin hanya sebagian daerah yang menyebutkan acara ini dengan nama yang sama. Yasinan tidak jauh berbeda dengan selamatan.
Yang punya hajat akan mengundang para tetangga untuk berkumpul, kemudian dilanjutkan acara berdoa bersama. Hanya saja diyasinan ini, inti acaranya adalah melantunkan Surat Yasin bersama bersama sebelum akhirnya ditutup dengan doa.
Di desaku acara yasinan rutin dilakukan secara bergilir disetiap rumah warga, dengan jadwal dilakukan satu kali dalam seminggu.
Sedangkan selamatan, dilakukan jika ada kehendak tertentu yang ingin dicapai, memperingati hari penting Islam, atau sarana mengucap syukur atas karunia yang telah diberikan.
Untuk acara selamatan, aku kerap mewakili Abi, jika beliau sedang absen hadir.
Sementara untuk yasinan, keluargaku memang tidak mengikuti acara itu bersama warga lain, karena Abi akan mengajak kami sekeluarga berkumpul di mushola rumah, melaksanakan yasinan sendiri, dengan beliau sendiri sebagai imam, rutin setiap malam Jum'at.
Aku baru sadar, jika tubuhku sepertinya sudah mencapai fase lelah. Langkahku sudah jauh dari rumah, dan keringat tak henti-hentinya menetes dari kening, dan juga tubuhku bagian dalam. Bahkan kaos yang kukenakan sudah setengah basah oleh keringat.
Terlepas dari acara selamatan dan yasinan yang masyarakat kompleks tidak lakukan, tidak masalah. Bukan alasan perbedaan agama, mengingat karena setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda.
Hal yang terpenting adalah saling menghormati, perbedaan itu menyatukan bukan memecah belah.
===
"Ya, halo Dan...." Sapaku kepada si penelpon di seberang sana.
Tangan kiriku memegang ponsel yang kutempelkan ditelinga, sementara tangan kananku bergelut melepas sarung yang baru saja kukenakan untuk sholat sunnah disaat matahari telah mulai merangkak naik di cakrawala.
"Lo mau otw kan?"
"Masih belum. Ini mau beres beres dulu gue"
"Gue udah sampai kantor nih, minta tolong ke lo ya Dam..."
"Apaan?"
"Sebelum nyampe kantor, mampir dulu gih beli bubur ayam di depan masjid."
"Masjid yang mana? Di kompleks gue masjid ada lima."
"Masjid Agung, ditukang bubur yang biasanya kita beli'
"Oh oke. Ntar gue mampir,"
"Bukan ditukang bubur naik haji lho Dam...inget..."
Tanpa membalas perkataan Ardan yang tidak penting itu, kututup telepon. Membereskan perlengkapan sholatku, kemudian memantaskan diri di depan cermin.
"Buburnya Pak, dua ya" ucapku kepada si bapak tukang bubur yang berdiri di balik gerobak dagangan nya. Aku menggeser tubuh, berdiri di samping gerobak. Tidak ada niatan untuk duduk di kursi plastik sebelahku yang memang disediakan untuk pembeli.
Mataku berkeliling, meneliti orang-orang dengan segala macam aktivitas di awalan hari.
Di sebelah sana, ibu-ibu tengah menunggui anaknya yang berlarian kecil di halaman paud.
Di sebelahnya lagi, beberapa penjual menyiapkan dagangannya di depan sekolah dasar.
Sementara di alun-alun, tidak banyak orang di dalam sana, mengingat bahwa hari ini masuk dalam kategori hari bukan tanggal merah kalendernya Indonesia.
"Saya buburnya dua ya pak, dibungkus"
Suara itu membuatku dengan sengaja menolehkan kepala, melirik ke sosok perempuan yang langsung membuat hatiku berdesir pelan, saat mataku bersibobrok dengan matanya yang menatapku dari balik kacamata yang bertengger di hidungnya.
Entah mengapa aku refleks tersenyum kaku, membuatku semakin canggung kala perempuan yang kukira akan membalas senyumku itu, hanya menatapku datar, dan mengerutkan kening, tanda heran.
Merasa yakin, jika dirinya tidak ada urusan denganku, dan aku bukan sosok yang dia kenal, perempuan itu melewatiku, menggeser kursi plastik yang ada sebelahku sedikit menjauh dariku, lalu mendudukinya.
Sementara desiran di dadaku belum sepenuhnya menghilang, aku memilih memutuskan kontak mata, beralih ke ponsel saat benda pipih di tanganku ini mengeluarkan bunyi notifikasi tanda pesan WhatsApp masuk, dari Ardan.
"Saya tambah dua lagi Pak" ujarku setelah membaca pesan dari Ardan yang mengatakan jika Aldi dan Wahyu ikut nitip bubur juga.
Bapak itu membalas dengan kata 'oke', sembari tangannya dengan cekatan membuatkan bubur yang kupesan.
Setelah memasukkan ponsel ke saku, kepalaku kembali menoleh, menatap perempuan tadi yang kini tengah berbincang dengan perempuan yang duduk di sebelahnya, yang aku sendiri tidak tau, kapan perempuan satunya itu datang.
Desiran halus itu berubah menjadi gemuruh, kala untuk yang kedua kalinya mataku berpapasan dengan matanya yang kini menyiratkan tanda tak suka.
Perempuan yang waktu lalu sempat kutelusuri wajahnya dalam jauh itu, malah melototkan matanya yang langsung membuatku ingin tertawa, tapi kutahan.
Mencoba menahan tawa dengan mengulum bibir, berharap tawaku tidak benar meledak.
Mata mungil yang kelopaknya dipaksakan melebar, membuat bola mata hitamnya yang tidak sebesar bola mata anime Jepang, nyaris keluar menampakkan ekspresi yang menurutku sama sekali tidak seram, tapi malah membuatku gemas setengah mati, ingin 'menjawil' saja dagunya yang imut itu.
Jika aku seberani tokoh heroik di novel yang pernah kubaca, akan kuulurkan cermin besar ke depan wajahnya. Agar dia tau bahwa bola mata yang nyaris keluar itu akan terlihat sangat lucu, tentu saja hanya bagiku.
Merasa bahwa apa yang dilakukannya sia-sia, karena aku masih setia memandang wajah manis itu dengan ekspresi datar tentunya, perempuan itu akhirnya menggeser kursi yang didudukinya sepenuhnya mengarah ke perempuan yang tadi diajaknya berbincang, sehingga sekarang posisinya memunggungiku, membuatku menaikkan alis, sedikit sedih karena yang bisa kulihat kini hanya punggungnya.
"Mulut tetangga emang ya La, kalo nikah muda dikatain hamil duluan, gak nikah-nikah dikatain gak laku. Padahal diumur kita yang masih unyu unyu ini, gak ada salahnya kok masih lajang. Kalo gue sekaya Hotman Paris, gue beli tuh mulut tetangga,"
Aku meringis mendengar samar-samar pembicaraan kedua perempuan itu.
Entah siapa yang bersuara, tapi aku menebak dengan sangat yakin, jika perkataan tadi keluar dari sosok yang ada di hadapan si perempuan berdagu imut, karena aku masih mengingat jika suara itu berbeda dengan suara perempuan -yang membuat dadaku bergemuruh-, saat dia memesan tadi.
"Tetangga dimana-mana kodratnya diciptain buat ngomentarin hidup kita Rin. Gak usah diladenin yang seperti itu. Apalagi kita hidup di desa, yang pemikiran masyarakatnya masih dangkal".
Perempuan berkacamata yang dipanggil 'La' oleh perempuan satunya, -yang tebakanku adalah temannya itu- bersuara. Respon yang kemudian membuatku menganggukkan kepala mengiyakan.
Pemikiran masyarakat desa memang masih dangkal, apalagi jika menyangkut masalah pernikahan.
Tidak hanya masyarakat desa juga sih, dimana-mana masyarakat yang tugasnya nyinyir akan begitu. Parah juga jika yang menjadi korban adalah perempuan.
Dimana perempuan yang sudah layaknya menikah tapi masih lajang, akan menjadi bahan ghibah ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayur di pagi hari. Dan tentunya memunculkan argumen-argumen yang kurang enak didengar.
"Udah perawan tua gitu, mana ada yang mau."
Lalu terdengar argumen lain.
"Kena karma mantan mungkin."
Dan yang lebih menyayat hati lagi,
"Bisa saja dianya mandul, gak bisa punya anak. Laki mana sih yang mau jadiin dia istri sementara rahimnya gak bisa ngasih keturunan."
Ya Allah, begitu jahatnya ya adu argumen ibu-ibu yang dilontarkan kepada sayur-sayur tak bersalah.
Nyatanya tidak hanya perempuan saja, laki-laki sepertiku akan ada saatnya menjadi bahan menghibah mereka.
Laki-laki sudah berumur, sudah mapan juga tapi masih lajang. Tesis seperti itu akan memunculkan berbagai macam argumen yang ujungnya akan berakhir, "Pasti dia belok kan ya ibu-ibu, biasa zaman sekarang, laki suka sama laki."
"Hooh sih La, tapi lama-lama panas juga nih hati dan jeroan lainnya,"
Tawa lirih terdengar lagi setelahnya dari perempuan yang dipanggil dengan penggalan La itu.
La, La, La siapa sih namanya. Mengapa si temannya itu tidak memanggil dengan nama lengkap saja. Membuatku penasaran dan menebak-nebak tentang nama perempuan berdagu imut itu.
Dosa tidak sih, sengaja mendengarkan perbincangan orang lain seperti ini?
Tiba-tiba saja ingatanku berputar, kejadian di alun-alun kota sore itu, perempuan hijab merah muda, dan kejadian itu langsung berganti dengan kejadian tadi dimana masih dengan perempuan yang sama.
Menilik lagi perempuan yang kini tidak lagi mengenakan gamis panjang merah muda, melainkan kemeja putih dan rok span hitam panjang hingga mata kaki yang membalut tubuh 'trincingnya'. Jangan lupakan hijab hitam, yang membuat wajah putihnya terlihat lebih berseri.
Wajah mungilnya, dagu imutnya, bibir dengan polesan gincu coralnya, dan warna kemerahan yang tersemburat di bawah mata, membentuk sapuan lurus melewati hidung lalu berakhir di bawah mata sebelahnya.
Aku bisa mengatakan sedetail itu karena mataku yang lancang ini telah meneliti wajah mungil itu tadi, kala mataku bersibobrok untuk yang pertama kali dengannya.
Make up natural, entah itu bisa disebut make up atau tidak, jika yang dipoles hanya bibir dan bawah mata.
Sedangkan yang biasanya diutamakan para perempuan jika ber make up adalah menggambar alis.
Pernyataan itu tidak berlaku untuk perempuan itu, karena yang berhasil ditangkap mataku, alisnya hitam natural, tanpa polesan pensil alis, dan itu memang terlihat tipis karena alis perempuan itu tidak diciptakan tebal.
Jangan salahkan make up dan perempuan yang keduanya tidak bisa dipisahkan.
Tergantung jari penggunanya saja, niatnya mau di buat seperti apa.
Jujur, aku tidak suka dengan perempuan ber-make up tebal, apalagi jika wajah ber make up itu akan berubah abu-abu dan retak karena foundation yang dipakai sudah terlalu lama atau mungkin kurang mahal.
Terlebih jika diingatkan tentang make up nya, mereka malah menjawab, "Ini tuh makeup yang sedang hits sekarang. Lo sih kurang update."
Untuk sebagian orang, make up seperti itu memang cocok, tapi sebagian yang lain mungkin akan terlihat berlebihan.
Jadi ya menurutku, jangan hanya mengikuti trend, tapi juga lihat dengan kesesuaian wajah yang kita miliki. Bukannya dapat pujian nanti malah dapat sindiran.
Risiko perempuan dan make up-nya.
Dan aku sebagai laki-laki hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Ini mas e buburnya"
Aku terhenyak, segera meraih bungkusan dari penjual, membayar dan terpaksa melangkah pergi dari perempuan itu.
Bibirku perlahan terangkat, membentuk senyum yang sama sekali tidak pernah kubuat.
Sepertinya, jodohku sedang mendekat.

Book Comment (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters