logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Belajar bermain

Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa.
Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai.
Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya?
Pertama-tama, yang akan dikatakan semua orang tentang hal baik adalah: Alhamdulillah, bersyukur atas kesehatan dan nikmat hidup yang diberikan Tuhan pagi ini. Tubuh masih utuh tak kurang satu apapun dan ambisi tidak dilahap waktu meski semuanya sudah terlambat untuk dimulai. Tapi tak dapat dipungkiri, keanehan pun menjalar mengitari hal tersebut.
Aneh karena dislokasiku bisa sembuh dalam semalam tanpa ada rasa nyeri sedikitpun. Aneh rasanya karena saat bercermin aku menemukan debu melapisi kulit wajahku. Saat kupastikan langit-langit kamar, sarang debu atau semacam jaring laba-laba tidak ada di sana. Aku jadi curiga saat merasakan perutku tak lama merasakan lapar yang tak tertahankan. Apa, jangan-jangan?
Brrrm,,, mpssss,
Aku berpaling keluar jendela. Melihat pick up memarkir diri di depan kos yang tak lama dua orang di depan keluar untuk menurunkan beberapa barang besar dibungkus kertas krep coklat dibelakangnya—digotong masuk ke dalam kamar tepat di sampingku. Aku menarik tirai untuk mengintip. Melihat Esa yang tengah berdiri di tengah halaman memantau kegiatan tersebut hampir dua puluh menitan sampai semuanya selesai. Setelahnya, supir dari pengendara pick up serta satu orang temannya mengacungkan jempol, kemudian membawa mobilnya keluar dari halaman kos dengan cepat.
Tunggu-tunggu. Bukannya itu tadi manajer sekaligus kasir di Larasa, ya? matanya kan sipit. Aku membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Masih dengan surai yang berantakan, kotoran di ujung mata, muka yang sembab, juga baju piyama motif parangritis, dengan gagah berani menatap lawan yang nampak bersinar di bawah pantulan sinar matahari.
Esa sendiri tercenung. Dia terdiam seribu bahasa karena terpaku padaku yang berbentuk setengah rupa. Aku yang sadar diri paling jelek hanya berusaha meluruskan helai rambut dan mengusap wajah pelan. Ia memakai kaus pendek merah bertuliskan “fight” dengan gambar kobaran api pada bordernya. Jeans selutut mengekspose warna kakinya yang putih-bersih, berjalan mendekat dengan sesekali mengelus surainya yang terlihat mengkilap. Tapi meski begitu, nuansa tatapannya dalam dan gelap.

“Kamu kenal manajer di Larasa, ya?” tanyaku.
Tanpa basa-basi aku langsung menuding begitu. Ia me-loading pertanyaan dengan lambat meski jawabannya hanya sekadar anggukan kepala sebelum pandangannya beralih pada tangannya yang memegang kenop pintu dengan tergesa.
“Kok bisa?”
Aku menahannya dan ia jadi menjeda pergerakan. Kali ini dengan jelas menatapku tidak suka sambil mengkerutkan alis. Kamar kami bersebelahan dan tembok penghalangnya dibuat seperti perosotan, jadi para tetangga bisa saling menyapa dengan lebih leluasa.
“Memangnya, anda ada perlu apa, ya?”
“Eh—” dadaku mencelos. Apa yang ia katakan barusan? Anda?
Aku bungkam beberapa detik.
Kau tahu, belakangan ini aku mulai bermain mobile legend hingga larut malam setiap hari sampai mimisan karena kurang tidur dan aku jadi tahu kalau pertanyaan barusan rasanya seperti tertembak stun dari lawan.
“Anda, kenal saya?” tambahnya lagi. Aku jadi tak mengerti.

“Kamu nggak ingat, aku siapa? sama sekali?”
Ia berpikir cukup lama. Mencari-cari siapa aku di dalam kepalanya sambil beradu tatap tanpa berkedip. Bergeming, menimbulkan inisiatifku untuk memajukan dagu padanya. Ia mencermatiku dalam-dalam, dan kukatakan dengan begitu jelas.
“Aku pacarmu, Esa.”
Ekspetasiku dengan responnya berbeda. Barusan itu hanya hening, dibarengi dengan tatapan tidak mengerti. Ia jelas tidak semudah itu percaya, tapi responnya begitu biasa. Refleks pandangannya melompat ke arah lain, dengan santai mengabaikanku sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya. Bahkan telingaku mendengar jelas bunyi pintu yang dikunci rapat-rapat. Aku berpikir beberapa detik. Sebegitu alerginya ia dengan manusia? Apa jangan-jangan, karena amnesianya?atau karena aku jelek? Aku memiringkan kepala dan mendesis, tapi kalau lupa sama orang yang baru ditemui satu hari yang lalu, bukannya itu keterlaluan?
Ceklek,
Dia membuka pintu lagi dan muncul dengan sekantong besar paper bag yang isinya bahan masakan. Aku bisa melihat daun sawi dan daun bawang mencuat dari sana membuat mataku terbelalak saat ia menyodorkan semuanya padaku.
“Apa ini?” tanyaku, bingung.
“Katamu, kamu jago masak apa saja selain air dan kamu sudah janji mau masakin aku, kan?”
Aku terkejut.
“Iya, kamu ingat?”
Ia menarik napas sambil memejamkan mata, entah kenapa kelihatannya nyaris menjadi murka.
“Yaiyalah, jelas! itu sudah tujuh hari yang lalu, tahu!”
“Hahh?!!”
***
Sekarang pukul setengah dua belas siang. Matahari terik. Suhu aspal menguap. Kumbang-kumbang berdengung bersaing dengan bunyi jarum jam yang berdentang. Angin kering sesekali berhembus membawa debu pasir ke pintu rumah-rumah yang jendelanya terbuka. Aku diam mengamati Esa yang sibuk berbicara dengan seseorang di telfon sementara isi dunia sedang berputar-putar di atas kepalaku. Bingung. Pening. Gelisah, bergabung membentuk pusaran angin tornado yang membentuk gumpalan penyesalan: Apa yang telah kuperbuat pada tujuh hari berhargaku selama ini?
Hidup ini luar biasa teman-teman. Alurnya tidak bisa ditebak dan akhir kisahnya tidak mampu diprediksi. Semua orang tahu itu, tapi baru kali kini aku menyadari kekuatan sihir dari sebuah teori. Tubuhku membeku di tempat, masih memegang bahan masakan tadi dengan pandangan ke halaman kos yang sudutnya ditanami lidah buaya oleh bu Ros.
Ngomong-ngomong tentang lidah buaya, aku ingat tumbuhan itu dulu hanya bibit mungil seukuran pohon tauge berumur tujuh hari, di dalam sebuah pot kecil dengan tanah kering yang kuprediksi bisa bertahan hidup sekitar nol koma nol satu persen dari sepuluh. Tetapi, setelah dipindah oleh bu Ros ke dalam pot yang lebih besar dengan tanah yang sudah digemburkan serta dicampurkan pupuk, lalu setiap hari disiram dan dipuji dengan rajin, alhasil lidah buayanya lama-kelamaan menjadi bertunas dan beranak-pinak dengan subur sampai sekarang. Percaya tidak percaya, daunnya kini jadi sebesar lengan manusia.
Aku tidak tahu menahu apa urusan diriku dengan lidah buaya tersebut namun sekilas perubahan yang dialaminya membuatku tersadar betapa mengejutkannya kehidupan. Bu Ros telah merawatnya dengan ketulusan hati meski orang lain memprediksi lidah buaya tidak akan bisa bertahan, namun lidah buaya tidak menggubris sebab ia tahu kasih sayang Bu Ros padanya takkan pernah berubah. Jadi, yang perlu ia lakukan hanya berfokus pada dirinya sendiri dengan berfotosintesis dengan giat dan terus berkembang hingga menjadi lidah buaya yang terbaik.
Aku merasa payah karena cara menjalani hidup lidah buaya lebih baik daripada diriku. Jika sadar lebih awal, seharusnya aku bisa seperti lidah buaya. Giat berfotosintetis dan terus berkembang kala Tuhan tidak memiliki batasan dalam hal kasih sayang.
“Noumi…?”
“Eh—?” aku jadi lupa sampai dimana tadi. Esa kelihatannya bingung, jadi ia bertanya.
“Kamu, sudah sehat?”
“Apa?”
“Kakimu…”
“Oh.” Aku menunduk. “Sudah.”
Mengingat tadi aku sempat terkejut sebelum jawabannya terkuak diluar kewajaran. Selanjutnya Esa juga sempat tidak percaya alasan aku mangkrak dari radarnya selama tujuh hari penuh karena itu, tapi kukatakan bahwa ini bahkan sudah terjadi untuk yang kedua kalinya, dan aku beruntung bisa bangun dan bernapas seperti sedia kala.

“Tapi, tidur selama itu, memangnya tidak lapar?”
Iya. Aku baru sadar kalau aku lapar. Tanganku memegang perut, menunjukkan senyum meringis. Ia menatap nanar sebelum mendengus sambil menggeleng.
“Lima belas menit lagi aku bakal kedatangan tamu. Masakin aku lain kali saja, ya.”
“Tapi, ini?”
“Buat kamu masak sendiri. Buat kamu makan sendiri juga,” tukasnya sambil memastikan jam pada layar ponselnya lagi. Aku segera menampik keputusan tersebut.
“Eh, nggak lah, nggak mau. Aku masaknya sebentar, kok. Kita makan bareng-bareng saja.”
“Makan bareng-bareng? Memangnya bisa?”
Aku mengangguk antusias, tapi keningnya mengkerut.
“Tapi, tamuku bagaimana?”
“Memangnya, tamu kamu ada berapa orang? Biar sekalian aku masakin yang banyak.”
“Hm—” Ia berpikir dengan menggigit bibir bawahnya yang kukira akan memberi solusi diluar pilihan, tapi tak tahunya, “anak-anak kecil, lima orang. Kamu bisa?”
***
Aku menguncir surai tinggi-tinggi di depan wastafel sebelum menggunakan celemek. Berpikir mau memasak apa setelah mengintip isi paper bag yang tadi sembari mengeluarkan isinya satu per satu. Ada satu slot telur, wortel, kentang, seledri, bawang putih, cabai, tomat, daging ayam, jamur shitake, sawi putih dan daun bawang.
Jujur, selama hidup dua puluh tahun di dunia ini, aku tidak pernah mau menghabiskan uang hanya untuk belanja bahan masakan di supermarket. Jelas saja hitungannya jadi rugi jika dibandingkan dengan berbelanja langsung di pasar. Kalau dipikir-pikir, Esa cukup berduit juga. Kira-kira, dia kerja apa, ya?
Aku menggeleng, menghilangkan dengan cepat prasangka negatif yang berkelebat di dalam kepala dengan mengalihkan fokus ke panci yang kutaruh di atas kompor yang akan digunakan untuk merebus ayam. Ketika memasukkan ayamnya setelah kucuci bersih, sekilas aku mengingat pesan Esa yang mengatakan untuk tidak memberi perasa terlalu banyak saat tanganku tengah membuka toples garam. “Sebisa mungkin jangan sampai asin,” katanya. Karena takut kelebihan setelah kutengok kanan-kiri, kuambil hanya sejuput lalu kutaburkan di atas airnya.
Katanya, mengurus anak-anak repotnya sebelas dua belas dengan mengurus bayi. Cuma bedanya, kalau anak-anak kecil biasanya sudah bisa makan sendiri, tapi aku tidak tahu umur berapa anak-anak yang akan datang nanti, jadi takaran komposisinya kubuat senetral mungkin.
Aku membersihkan seluruh bahan untuk kupotong seukuran gigitan. Kentangnya kupotong dadu. Wortelnya kuiris agak tipis supaya matangnya bisa bersamaan dengan kentang. Seledrinya di cincang kecil-kecil, begitu juga dengan daun bawang, jangan lupa dengan tomat. Kalau tomat sengaja kupotong besar-besar seperti ukuran sawi putih karena fungsinya memang sebagai sayur.
Bumbunya ada bawang putih, bawang merah, merica halus, ketumbar, gula dan garam secukupnya. Untuk menghaluskannya, kebetulan aku hanya punya blender jus yang sebenarnya satu paket dengan blender bumbu, tapi karena pisau blendernya tidak tajam dan selalu macet-macetan saat dipakai, alhasil kubuat kegunaan blender jus menjadi duofungsi. Mantap! (Dilarang meniru kebiasaan ini.)
Aku menumis bumbu dengan api sedang. Aroma yang menyengat hidung langsung mengisi ruangan dan membuatku jadi bersin-bersin. Aku memasak dengan pintu kamar yang terbuka dan tak lama bisa kuprediksi suara motor menepi dan anak-anak terdengar bergerumbul di depan kamar Esa. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Dengan cepat kumasukan sayur ke dalam wajan sebelum semuanya kutumpah setelah beberapa menit ke dalam panci tempat merebus ayam tadi. Jika lama-kelamaan isi panci tersebut sudah mirip sop ayam, baru kompornya kumatikan. Sepuluh butir telur kukocok cepat dalam mangkuk dan kugoreng perlahan tanpa garam. Beberapa menit setelahnya, telurnya kusajikan pada piring besar sebelum kututup pintunya kembali untuk segera mandi.
***
“Hahhh…”
Aku menghela napas lega. Shower kuhidupkan. Kubiarkan pucuk kepala hingga ujung kaki terguyur air hingga aroma lemon sabun dan sampo pun memenuhi ruangan.
Ternyata, bisa punya pengalaman tidur selama tujuh hari itu cukup menyenangkan. Tidak seburuk yang kuduga. Entah itu baik atau buruk terhadap kondisi kesehatanku secara medis, tapi untuk saat ini aku merasa bugar. Apalagi bisa bertemu air untuk keramas. Ada sebuah kalimat disuatu buku yang pernah kubaca, katanya salah satu cara menghilangkan stress yang paling ampuh adalah dengan terguyur air. Aku percaya hal itu sebab disetiap kali mandi kurasakan seluruh pegal ditubuhku menghilang, seolah Overthinkingku hanyut bersama busa dari sabun yang meleleh.
Setelah selesai mandi. Aku memilih mengenakan kaus pendek biru bertuliskan ‘Lets go!’ dengan bawahan celana hitam selutut sementara suraiku yang sebahu kukeringkan dengan hair dryer. Aku mengoleskan body lotion wangi aloevera dikedua tangan, kaki dan leher. Bahkan sudah seperti kencan pertama, aku memoles bibir dengan lip balm.
Waktunya keluar.
Aku menghirup udara dalam-dalam lalu menghela napas panjang. Ini selalu menjadi bagian tersulit dalam hidup: menampakkan diri dihadapan orang baru. Kau tahu, perasaan ketika kau harus menghadiri acara arisan ibu-ibu tapi kau terlambat datang dan kedatanganmu menjadi pusat atensi semua orang? Itu yang paling kubenci. Dulu Ibuku sering absen dari arisan komplek karena kesibukannya sebagai guru pramuka, sementara yang ditunjuk untuk menggantikan pun bukan penggemar sosialita. Dua tahun yang lalu aku baru tahu kalau penyakit pengecutku ini dinamakan introvert, setelah ratusan kali mencoba bersikap seperti lawannya (ekstrovert,) membuatku sukses menengak obat antidepresan sebab overhang, dan akhirnya aku menyudahi drama untuk fokus menemukan diriku sendiri.
Aku banyak membaca artikel tentang introvert dan perlahan mulai menemukan keindahan sebuah pribadi. Aku dianugrahi rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung menghabiskan waktu sendiri untuk mencari tahu banyak hal tentang dunia. Syukurnya, aku juga dianugrahi otak yang maha luar biasa oleh sang pencipta agar aku bisa membuat dunia seperti yang kuinginkan di masa depan. Walau tak sedikit, introvert selalu punya kelemahan.
Introvert itu kurang mudah tersenyum. Terlalu pemilih, sedikit berbicara, terlalu banyak berpikir, terlalu peka dan sensitif, overthinking, dan sedikit action. Kupikir Esa juga menunjukkan sikap yang serupa. Kuperhatikan ia hanya berbicara pada pokoknya saja dan belum pernah kudapati suka berbasa-basi.
Jadi, dengan melangkahkan satu kaki bersama jantung yang berdebar kencang, aku mulai menengok keadaan kamar Esa tepat di depan pintunya. Sekilas anak-anak yang terlihat berdiri menatap monitor komputer membelakangi arah pintu dibelakang punggung Esa, (dimana posisi Esa tengah duduk persis di depan komputer), seketika menoleh ke arahku karena menemukan bayangan di dinding.
Kami sontak sama-sama terkejut sebelum kututupi dengan senyuman canggung sampai menyentuh pipi sebelum berhasil menyapa mereka dengan ramah.
“Oh, halo…!”
Mendengar suaraku Esa pun ikut menoleh. Aku yang berpegang kuat pada kusein pintu hanya menyipitkan mataku untuk menyapanya juga.
“Oh, halo juga…” perlahan ia menurunkan satu gadis cilik yang berada dipangkuannya sebelum berkata, “ayo, beri salam pada Bu Guru Noumi!”
Bu Guru? Belum sempat mencerna situasi, mereka semua langsung berderet memasang postur siap untuk berseru kompak.
“Halo, Bu Guru Noumi!!!”
Aku tergugu di tempat. Baru kali ini dipanggil Bu Guru dan rasanya agak aneh. kuberitahu saja ya tentang kekuranganku yang kedua. Banyak orang yang salah paham dengan umurku. Katanya aku berpenampilan seperti umur tiga puluh tahun didukung dengan pembawaanku yang begitu dewasa. Sepuluh tahun lebih tua dari usia sesungguhnya, bahkan mungkin lebih.
“Ah, iya, halo, hai…”
Aku berkedip dua kali, tiba-tiba merasa kosong. Kalau sudah menyapa, selanjutnya apa lagi?
“Kalian lagi apa, nih?”
Aku melihat Esa yang masih dalam mode gembira kedatangan tamu, tapi kondisinya sekarang beberapa pasang mata bulat pemberani tengah menyorotku dengan rasa ingin tahu yang sangat amat tinggi. Aku jadi gugup.
“Kita lagi belajar aplikasi CorelDraw, bu Guru Noumi,” kata satu anak laki-laki yang pipinya gembil. Ia tersenyum lebar padaku.
“Oh, ya? siapa yang ajari?”
“Kak Dwi.” Dua anak laki-laki yang lain juga menyahut.
“Kak Dwi? Siapa?”
“Kak Dwi, ini!”
Mereka berusaha menunjukkan Esa dengan antusiasme tinggi sementara Esa sendiri terlihat biasa saja. Namun cara mereka memangil Esa dengan nama yang lain, juga dengan sebutan ‘kak,’ membuatku iri setengah mati.

“Kak Dwi?”
“Iya Bu Guru Noumi. Kak Dwi ini jago pakai CorelDraw, loh. Photoshop juga bisa.”
“Oh, begitu.” Aku tersenyum. Mencoba mendekat untuk menyentuh pipi mereka yang dari tadi membuatku gemas. “Nama kamu, siapa?” tanyaku pada salah satunya.
“Toto.”
“Toto…? Toto umurnya berapa tahun?”
“7 tahun.”
“Wow, keren.” Aku kagum dengan usianya. Seketika teringat Rebung, anakan dari pohon bambu yang entah mengapa bisa dijadikan perbandingan dari umurnya hanya karena rebung dikonsumsi saat tanaman itu baru muncul dari tanah.
“Kalau kamu?”
“Aku juga 7 tahun.”
“Oh, kamu juga seumuran dengan Toto, ya. Nama kamu siapa?”
Ia dengan lekas mengulurkan tangan. Tersenyum cerah padaku. “Aku kembarannya Toto, tapi tidak identik. Namaku Tato.”
“Wah, aku baru pertama kali lihat kembar yang tidak identik, lho. Nama kalian juga unik sekali. Papa kalian jago bikin Tato, ya?”
Sejenak, mereka saling pandang sebelum memberi jawaban dengan menggunakan bahasa Sasak.
“Ndek… amak ite kuat nginem,” (ayah kami sering minum-minum) sahut Toto dengan enteng.

“Kuat nginem?”
“Nggih, kance main nine,” (Iya, sama main cewek) balas Tato kali ini.
Kemudian mereka tertawa. Kepalaku terasa dipalu. Keterjutan mendadak akibat serangan realita anak-anak berumur 7 tahun membuat suara itu menggema dalam ruang hampa. Mereka masih kecil tapi sudah tahu kalau papanya main perempuan. Namun, nampaknya itu tidak menjadi beban yang membuat mereka malu. Terlihat bahkan dari cara mereka cengengesan setelah membeberkan perilaku keluarga sendiri.

“Kalau aku, kak? Namaku jago buat bikin apa?”
Satu anak lagi yang lupa kutanya namanya menarik-narik ujung bajuku. Aku segera menyadarkan diri.

“Oh, iya. Memangnya, nama kamu siapa?”
“Rico!”
“Hm… kalau nama panjangnya?”
“Ricolo Sebastian.”
“Wah, nama yang bagus.”
Aku sejenak terpana dengan anak yang satu ini. Ia paling ramah dan bersemangat. Kulitnya bersih, matanya bulat bening, alisnya melengkung sempurna bagai pelangi. Warna dan bentuk bibirnya layaknya buah plum. Alisnya tebal, surainya tebal, pipinya juga tebal. Badannya, gendut menggemaskan pula.
“Masak, sih?”
Lah, dia malah tidak percaya.
“Iya! nama kamu mirip pelukis, Piccolo. Rico pasti jago melukis, kan?”
Tiba-tiba aku melihat Esa menggeleng, menarik garis bibirnya ke bawah.
“Picasso, Nom. Bukan Piccolo.”
“Oh.”
Seharusnya ia tidak mengoreksi kesalahan orang lain di hadapan anak-anak begini, tapi Ricolo sendiri juga ikut menggeleng. Tak lama ia pun menunjuk seorang gadis yang berdiri paling ujung di sebelah kanan dengan bibir mengerucut.
“Yang paling jago melukis itu dia ... Pakai kuas lagi.”
Setahuku, dimana-mana kalau melukis pasti menggunakan kuas, tapi segera saja kugeser pandanganku ke arah gadis yang ditunjuk untuk mempertemukan radar kami berdua. Aku percaya takdir itu dipertemukan dengan cara yang paling sederhana, meski gadis tersebut tidak ingin tersenyum karena lebih memilih mengangguk untuk mengiyakan perkataan Rico, aku tetap tahu maksudnya itu pasti terbalik. Jika mendengar suaranya sendiri di antara banyak orang akan membuatnya kikuk, maka dari itu kebanyakan introvert selalu terlihat pendiam. Aku menunduk untuk menyapanya.

“Hai… nama kamu, siapa?”
Tak lama ia memberanikan diri menatapku lagi, dan dengan gagah berani mengulurkan tangan mungilnya.
“Yange, Rahajeng Putu Swatara. Umur 8 tahun. Dipanggil Ajeng.”
Tuh, kan benar. Dia itu langsung to the point agar tidak ditanya-tanya lagi. Coba saja bertanya basa-basi, pasti jawabannya hanya ‘iya’ dan ‘tidak.’ Aku mengangguk, membalas dengan menggenggam tangannya.

“Salam kenal juga Ajeng. Aku Noumi. Panggil saja kakak Noumi.”
Ajeng mengangguk.
Benar lagi. Kali ini jawabannya hanya mengangguk, dan sengaja kupertegas panggilan ‘kakak’ agar mereka paham bahwa tulisan dikeningku ini dibaca, ‘masih muda.’ Jangan salahkan aku yang terlihat tua, sebab tidak semua orang dilahirkan dengan porsi kolagen yang berlebih. Rico saja terlihat membulatkan mulut, terkena paham.
“Ngomong-ngomong, kak Noumi kok, bisa jegeg (cantik) banget, Kenapa?”
Wow, apa katanya tadi? Bisa lebih keras? aku tidak percaya yang mengatakan itu Ajeng, dengan muka terheran-heran pula.
“Masak, sih?”
“Iya, menurutku, kak Noumi ini jegeg banget. Mirip Amanda Manopo.”
Aku sekarang sedang membayangkan bagaimana rasanya layang-layang bisa melayang tinggi di angkasa sebelum benang yang lain membuatnya terputus sebab Esa menahan tawa layaknya teman perempuan yang berkawan karib tapi saling menusuk secara perlahan. Iri bilang bos!
“Mungkin itu hanya menurut Ajeng, tapi, makasih banyak sudah puji kak Noumi jegeg… Ajeng juga jegeg banget, kok. Kulitnya kuning langsat pula.”
“Kulit kuning langsat itu, apa kak?”
“Kulitnya orang Indonesia.”
“Memangnya kulit kak Noumi bukan kuning langsat?”
“Bukan, kulit kak Noumi agak sawo matang.”
“Berarti, kak Noumi bukan orang Indonesia?”
“Orang Indonesia, kok.”
Ajeng jadi bingung. Aku juga. Tapi tiba-tiba Esa menyahut asal.
“Bukan! kak Noumi itu orang Korea.”
Seketika membuat Ajeng terkejut bukan kepalang.
“Kak Noumi orang Korea?!” tanyanya sambil memasang ekspresi syok, membekap mulut sendiri dengan kedua tangan dan tak disangka malah bersorak, “aku juga suka banget Korea!! Aku suka BTS!!!!”
“Wahh!” Aku ikut terkejut. “Kakak juga suka BTS!!!!”
“Aaaaakhhh!!!”
Jelas saja orang korea berkulit putih, namun kami menjerit seolah bahagia telah turun ke bumi dalam bentuk hujan setelah kemarau melanda selama setahun, kemudian berpelukan erat. Sudah kubilang, ini takdir, sampai Esa dan yang lain saja jadi bingung kami ini kenapa.

Bukan rahasia umum lagi kalau nama BTS telah mendunia. Namun menemukan orang yang sejalan itu akan membuat harimu terasa lebih baik, percaya deh. Kami berpelukan dan Ajeng masih sebegitu senangnya sampai kakinya mengudara demi memeluk leherku. Bayangkan saja, siapa yang bisa membuat dua orang asing jadi seakrab ini dihari pertama bertemu? Aku tak menyangka K-pop bisa melakukan ini. Bukan-bukan, maksudku, aku tak menyangka K-pop bisa menjadi alasan kuat dalam mempersatukan umat di dunia, yang tentu saja itu hanya menurut K-popers. Ajeng melepas pelukan lalu tersenyum lebar padaku. Melihat rautnya, aku jadi tahu seberapa besar rasa cinta yang ia beri pada BTS seperti saat aku awal-awal mengidolakan mereka.
“Kak Noumi. Kapan-kapan, ajari aku bahasa Korea, boleh?”
Aku balas tersenyum.
“Boleh dong. Kalau hari ini, mau?!”
Matanya langsung membulat berlinang.
“Mau banget!” kaki mungilnya langsung menghentak-hentak kegirangan.
“Tapi, eh, pak guru Dwi kasih izin, tidak?”
Aku melirik pemilik nama sebelum memaksanya untuk segera mengambil keputusan dengan tatapan yang tajam. Esa menarik napas sambil mengerling malas.
“Boleh... boleh. Apa saja boleh.”
“Asyik!”
Ajeng kegirangan lagi.
“Tapi, eh. Bagaimana kalau sebelum belajar, kita semua makan dulu?”
Rico seketika jadi bersemangat dan Esa menjawab lagi dengan kalimat yang sama.
“Boleh… boleh. Apa saja boleh.”
***
Setelah memutuskan untuk makan di ruang tengah kamar Esa, aku meminta tolong kepada Ajeng, Rico, Tato dan Toto, untuk membawa perlengkapan makan dari tempatku. Mereka beriring-iringan dengan bawaan mereka sesuai kemampuan. Tato dan Toto membawa Botol besar air minum, gelas, piring, dan sendok. Kemudian Rico dan Ajeng membawa telur dadar dan nasi dalam bakul plastik. Sisanya, aku membawa sop ayam semangkuk besar.
Mereka langsung meletakkan semuanya di lantai yang baru saja selesai disapu oleh pemiliknya dan diizinkan begitu saja. Aku sedikit terkejut.
“Eh… memangnya nggak ada alas, ya? kayak tikar begitu?” tanyaku masih belum mau mendaratkan sop ayam langsung di atas keramik putih tersebut. Esa terlihat bingung.
“Kenapa memangnya? Lantainya kan sudah bersih.”
“Kan kotor kalau nggak pakai alas.”
Esa sejenak melirik anak-anak yang mendongak menonton kami sebelum kembali menatapku datar.
“Kamu nggak tahu anak-anak kalau makan selalu berceceran? dipakaikan alas itu hanya menambah pekerjaan, Nom. Siapkan saja lantai supaya mereka bebas berkarya. Nanti selesainya tinggal di pel. Mudah, bukan?”
“Bukan.”
Aku secara sukarela mengalah karena jawaban darinya sangat masuk akal. Kita harus memberi setidaknya kebebasan anak-anak dalam menentukan cara mereka menyantap makanan. Banyak peraturan hanya akan membuat mereka tidak nyaman. Kalau tidak nyaman, mereka tidak mau makan. Kalau tidak makan, daya imun mereka mengurang, dimana hal tersebut dapat menyebabkan mereka rentan terserang penyakit. Kalau sudah terserang penyakit, mereka bisa-bisa berurusan dengan rumah sakit, selang infus, dan obat-obatan. Kan kasihan kalau tidak bisa bermain lagi. Terlebih sekarang pandemi masih berlangsung cukup lama.
“Aku suka makan sayur! kak Noumi, ambilkan Rico wortelnya yang banyaak!”
Rico berseru ketika Esa baru saja duduk bergabung setelah aku selesai menyendokan satu setengah centong nasi untuk piring Ajeng. Aku terkekeh ketika Esa menjawil pipi anak tersebut dengan gaya kejut sebelum menyampaikan pesan dengan nada lembut.
“Ricolo Sebastian. Lain kali kalau mau meminta sesuatu kepada siapapun itu, biasakan diawali dengan kata, ‘tolong,’ atau ‘minta tolong, ya.’”
Terpikirkan dalam benakku beberapa detik yang lalu namun entah mengapa aku tidak mengatakannya. Syukur saja Esa peka.
“Memangnya kenapa? Kenapa harus begitu?”
Esa menarik napas dan berkedip sedikit lama. Berusaha memberi tahu dengan cara yang paling halus. “Karena itu dinamakan tata krama, Rico.”
Rico tidak berkedip, juga tidak mengangguk. Ia hanya ingin tahu lebih banyak dengan binar-binar dimatanya.
“Orang Indonesia punya tata krama untuk saling menghargai satu sama lain. Meminta itu bahasanya lebih sopan dibandingkan kata ‘ambilkan’. Karena Rico meminta pertolongan kepada orang lain, jadi kalimat yang harus diucapkan pertama kali adalah…?”
“Minta tolong…”
“Seratus!” Esa mengacungkan jempol padanya. Semangat bocah tersebut jadi bertambah dua kali lipat.
Kuperhatikan ada satu gadis paling cilik diantara semua lamat-lamat meminta duduk dipangkuan Esa. Dari tadi aku tidak sempat menyapanya karena ia kelihatannya sangat pemalu. Selalu bersembunyi jika ditanya.
Wajahnya sangat murung dan ia sangat mudah menangis. Aku takut kalau seandainya terlalu memperlihatkan perhatian, ia akan jadi benci padaku.
“Namanya siapa, Sa?” tanyaku pelan dengan gerakan bibir lebar-lebar kepada Esa. Esa mencoba membalas dengan cara yang sama.
“Nana.”
“Siapa?”
“Na…! na…!”
“Oh…” Aku mengangguk paham. Nana tidak mengetahuinya sebab ia menunduk, sedangkan aku mulai menyendokkan nasi untuknya.
“Nana… suka telur?”
Ia melihatku sebentar, kemudian meringis. Menggeliat risih. Esa berbisik ditelinganya dan ia hanya mengangguk. Masih meringis.
“Iya, katanya.”
Karena Nana suka telur dan aku juga suka Nana, jadi jatah telurku, kutaruh semua dipiringnya. Anak-anak mulai makan dengan lahap kecuali Nana. Ia tidak mau makan sendiri dan itu harus membuat Esa turun tangan untuk menyuapinya dengan kesabaran tingkat tinggi. Aku jadi prihatin. Dulu aku juga begitu. Terlalu alergi dengan orang baru. Kedatangan orang baru membuatku kurang nyaman karena aku jadi tidak leluasa melakukan apa yang kumau. Apa lebih baik, aku pergi saja?
“Kenapa…?”
Esa bertanya semudah itu hanya karena pandangan kami bertemu. Padahal aku tidak melakukan apapun.
“Kenapa, apanya?”
Ia melihat satu piring kosong tidak terisi apapun, seperti mencari-cari alasan dari pertanyaannya sendiri.
“Kenapa nggak makan?” tanyanya heran.
“Aku sudah makan.”
“Kapan?”
“Tadi, waktu selesai masak.” Tiba-tiba saja perutku terasa mual. “Eh, aku ke kamar dulu, ya. Nanti kalau sudah selesai, aku bakal balik lagi ke sini.”
Buru-buru kuangkat bokong dan ingin segera melarikan diri. Tapi, “hei.”
Esa meletakkan telur dadar miliknya ke atas piring kosong tersebut sebelum menyodorkannya padaku. Tatapanku serupa dengan piring itu sebelum terisi telur dadar.
“Apa?” tanyaku tak mengerti namun ia langsung menjawab seolah menutupi rasa prihatinnya.
“Bawa ini, aku nggak makan telur.”
***

Book Comment (43)

  • avatar
    Muh Haris

    bagus

    23/08

      0
  • avatar
    SekuadKaldi

    bagus

    13/08

      1
  • avatar
    RahmiAulia

    bagus cer8

    28/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters