logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Si ‘sadar’ yang terlambat bangun.

~DRRTT!! DRTT!!!!
Bergetar.
~DRRTT!!!
Hanphone itu bergetar digenggaman dan aku tersadar. Hal yang pertama kali aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku mendesis kesakitan dan menghela napas panjang ketika mencoba duduk dan menenangkan diri. Menunduk, perlahan menjambak rambutku sendiri untuk menghilangkan pening, mengatur napas. Jantungku berdebar keras.
Ketindihan itu cukup mengerikan. Kurasa, hampir setengah jam lamanya aku mati-matian bangun dari ragaku yang tertidur pulas seperti ditinggal nyawa. Syukurnya aku tidur dengan headset dan hanphone digenggaman, sebab jika tidak begitu, katanya, aku bisa meninggal.
Orang yang ketindihan sangat lama itu katanya bisa berakhir dengan kematian. Dan tadi itu termasuk ketindihan terlama yang pernah kualami dan jujur saja, itu menakutkan.
“Halo…"
“Halo, La? Ya ampun, akhirnya. Kamu di mana?!” sebelum menjawab, aku menjauhkan barang itu dari kuping untuk memastikan nama pemanggil—‘Meli,’ sang karib yang tanpa sadar telah menyelamatkan nyawaku barusan.
“Di rumah Mel, ada apa…?”
“Di rumah?!”
“Iya, kenapa?”
“Di rumahmu?! seminggu ini?!” tanyanya balik, tidak biasanya. Aku jadi bingung.
“Maksudmu?”
Cukup lama Meli tidak menjawab, aku jadi diam. Dia hanya mengeluarkan suara seperti orang kecapekan. Caranya bertanya juga terdengar khawatir.
“Kamu sebenarnya seminggu ini ke mana saja, sih?”
Alisku mengkerut, “Seminggu, ke mana saja?”
“Iya, kenapa kamu nggak pernah masuk kerja?!”
“Hah?”
Tut-Tut. Aku menjauhkan ponselku lagi sekali dan ternyata dayanya habis. Sambungan telpon kami terputus. Ini agak aneh, biasanya baterainya tahan lama meski dua hari tidak di cas. Apalagi kalau jarang dipakai.
Aku mengambil charger dan mengisi dayanya. Tiba-tiba menjadi penasaran tentang maksud Meli tadi sembari menekan tombol power ponsel dan bertanya-tanya.
“Maksudnya apa, ya? Tidak pernah pergi kerja? Seminggu ke mana aja? Aku kan memang dapat off untuk hari minggu, ” pikirku dengan dahi mengkerut.
Aku mengusap layar ponsel lalu menatap jam yang tertera jelas di sana.
“Ini memang hari minggu, kok, benar, pukul 6 pm—sama persis seperti jam di dinding,” ujarku dalam hati saat melihat jam itu, sekilas, kemudian menatap layar ponsel kembali. Saat kedua bola mata ini bergeser tepat pada angka di sampingnya, beberapa detik kemudian, kenyataan mulai merampas penuh kesadaranku. Tubuh ini terasa kaku dengan waktu yang seakan berhenti dengan napas yang tersendat, mataku melebar. Aku terkejut.
“tanggal 6 januari… 2021?!”
***
Setahun berlalu. Aku berlari. Berlari ke arah supermarket tempatku bekerja dengan menggunakan piyama tanpa alas kaki. Aku tidak paham juga kenapa aku harus berlari seperti mengejar maling begini, namun tubuhku seolah bergerak tanpa kendali. Jantungku berdebar kencang dan keringat dingin terus mengucur keluar. Tanpa perhitungan aku menginjak semua kerikil di pinggir jalan dan mengabaikan rasa sakit. Langit sudah redup dan cahaya malam mulai terlihat. Beberapa menit yang lalu adalah kenyataan yang paling mengerikan sepanjang hidup karena tertidur selama seminggu. Tepat di penghujung tahun aku mencoba memejamkan mata dan merasakan tidur nyenyak beberapa jam yang lalu, tapi nyatanya mata ini terbuka satu hari setelah tahun baru.
Sial, aku tidak tahu harus mengutuk siapa atas kejadian ini. Tapi yang pasti aku marah setengah mati pada diriku sendiri. Tidak terhitung sudah berapa puluh notifikasi pesan yang menanyakan keberadaanku dan ratusan panggilan dari atasan. Melihat itu semua membuat napasku tersendat dan kini aku menangis. Kemungkinan paling buruk telah memenuhi pikiranku detik ini: ‘aku akan kehilangan pekerjaan.’
Sampai di tempat, aku hanya berdiri. Memandangi Supermarket tempatku bekerja yang dipadati manusia itu dari sebrang jalan dengan detak jantung yang masih tertalu gila-gilaan. Mencoba mengontrol isi hati dan mengusap air mata. Melangkah lagi.
Saat berada dalam kerumunan, aku menahan napas sebab kepalaku mendadak pening. Aroma yang begitu menyengat dari beberapa orang atau kesibukan situasi yang terjadi, membuatku gundah. Ini sudah biasa terjadi dan aku sudah bekerja selama setahun dengan kondisi begini. Meski aku berusaha untuk tidak menghiraukan perasaanku sendiri, tapi dari kecil hingga saat ini, perasaan itu tidak pernah menghilang. Aku tumbuh dewasa hingga kini pun rasanya masih tetap sama. Seperti baru kemarin.
Sebentar. Aku menghentikan langkah untuk berbalik arah sejenak. Berpikir.
“Nggak mungkin aku masuk ke sana pakai baju piyama begini,” ujarku dalam hati sambil menunduk melihat kedua kaki. “Mana nggak pakai sandal lagi, memalukan!”
Orang-orang di depan pintu masuk bergerumbul dan beberapa diantaranya memandangku dengan cara yang aneh. Aku tidak berani melirik ke sekeliling atau sekadar melepas pandangan, jadi aku hanya diam dengan kedua kaki telanjang sementara isi kepala telah di penuhi awan pekat dengan badai petir yang berkilat-kilat. Ah, rasa cemas ini masih saja singgah. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengatasinya setelah menyadari langkahku yang begitu pengecut seperti ini. Melangkah satu kali, berhenti, melangkah lagi, berhenti lagi. Aku menghela napas.
“Huh, oke, Roula, ingat… ada biaya sewa kamar kos yang harus kamu setor per-bulan. Ada cicilan laptop yang tinggal lima kali. Ada hutang kebaikan yang belum kamu bayar sama Meli. Ada tunggakan WIFI. Ada mimpi yang belum tercapai. Ada banyak sekali keperluan yang berhubungan dengan uang dari pekerjaan ini, Roula. Jadi, ayo! sadarlah! Masuk ke dalam dan katakan kalau kejadian ini terjadi murni tanpa kesengajaan. Ini sepenuhnya bukan salah kamu atau salah siapapun, yang penting sekarang adalah uang. Kamu sudah hidup selama 20 tahun tanpa uang yang cukup, ‘kan? Masa iya kamu nggak bisa atasi hal sepele begini? Zaman sekarang cari kerja itu susah tahu, kalau—”
“Roula?”
“Eh…?”
Aku berhenti. Kakiku berderap. Desir napas yang tertahan. Beberapa bola mata yang lambat laun berkedip, melihatku menampakkan diri dengan tampilan yang cukup tak biasa.
Tanpa sadar aku ternyata sudah berjalan masuk ke dalam sampai ke depan meja customer service yang terasa sangat berbeda. Saling memandang sejemang dengan mbak Keli dan mbak Jia, sebelum akhirnya mereka jadi bertukar pandang sendiri, kemudian kembali melihatku.
“Noumi… Roula?”
Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi, namun dari ekspresi kaget mereka sudah cukup menjawab itu semua. Sepertinya memang benar, aku tidur selama tujuh hari.
***
“Sudah tidak ada jalan lagi.”
Brakk,, Seberkas kertas ditumpukan dengan berkas yang lain di atas meja. Aku melihatnya. Ini mimpi buruk.
“Karena semua karyawan kerjanya di hitung per-hari, jadi kami tidak mungkin membiarkan satu posisi kosong melompong. Sementara kamu sendiri, menghilang tanpa kejelasan.”
Aku menggertakan gigi, menahan kegundahan hati. Dalam satu ruangan tersembunyi minim ventilasi dalam outlet ini, dimana terdapat brankas besar, dengan tempat duduk untuk kami berdua. Aku dan seorang pria paruh baya bertubuh tegap—Pak Turki, selaku kepala toko supermarket tersebut—berhadapan denganku untuk satu diskusi.
“Tapi, pak, ini baru seminggu…”
Beliau menghela napas tenang. “Iya, ‘kan sudah saya bilang, jangankan seminggu, sehari saja tanpa keterangan pun itu sudah melanggar aturan. Terlebih—kamu admin, lho. Cuma satu-satunya di outlet ini. Dan juga kami sudah telpon kamu berkali-kali, sampai saya sendiri pergi ke kosanmu tapi hasilnya nihil—tidak ada orang. Di gedor-gedor tidak menyahut. Saya tanya Ibu kosnya, juga nggak tahu kamunya ke mana.”
Bulu kudukku berdiri. Membayangkan bagaimana diriku terlelap seperti orang mati saat itu membuat lidahku kelu dan tenggorokanku kering. Sulit rasanya menelan duri-duri kenyataan ini. Tapi sementara aku hanya mengigit bibir, pak Turki mendongak dan membuang napasnya secara kasar. Kemudian menatapku heran.
“Saya sendiri nggak nyangka kamu bakal seperti ini, lho, Roula. Padahal kinerjamu baik. Kalau seandainya kamu bisa bertahan lagi 4 tahun saja, pasti saya rekomendasikan kamu untuk dipromosikan naik posisi.”
“4 tahun?” Aku menggubris dalam hati. “2 tahun aja sudah lama banget menurutku, apalagi 4 tahun?”
Tapi aku diam saja, tidak berani menyahut. Membiarkan sedikit waktuku terpakai kali ini untuk mendengar nasihat beliau. Semoga saja bermanfaat.
“Tapi yah, mau bagaimana lagi. Nasi sudah jadi bubur. Belum tentu juga kamu bisa dapat pekerjaan dalam waktu dekat. Paling tidak, nganggur dulu. Makan-tidur di rumah,” ujarnya, menyepelekan. Aku jadi mendelik, sementara beliau memandang arah lain.
“Haduh, sayang sekali… kesempatan emas tidak dipergunakan dengan baik, ckckck…”
Pak Turki geleng-geleng kepala, kecewa. Sementara aku, rasanya ada yang mencelos di dalam hati. Merasa bahwa kekecewaan pak Turki tak lebih dari kekecewaanku terhadap diri sendiri.
“Maaf pak…” aku menelan salivaku dengan kaku. “Mohon maaf sebesar-besarnya.”
Meminta maaf atas kesalahan tidak masuk akal begini memang terasa aneh. Sementara hening mulai menyeruak masuk di saat pak Turki membungkam, aku kini terlihat bagai orang bodoh yang sedang bingung harus berbuat apa untuk membuatnya berubah pikiran. Semangat hidupku seketika hancur sehancur-hancurnya. Mengulang reka adegan dalam kepala atas cara beliau berdecak, sebaris kalimat menohok, gelengan kepala yang tidak pernah sudi kuharapkan dari dunia ini, sudah merampas kepercayaan diriku seketika. Aku selalu begini, tapi entah kenapa orang lain di dalam diriku selalu saja menyuruhku untuk bertahan. Meski dalam kondisi sekarat sekalipun.
“Tapi, Roula.” Pak Turki bersuara lagi, aku terperanjat. Beliau menatap dengan lebih intens. Mulai mengusap kumis tipisnya dengan raut serius.
“Saya perhatikan kamu selama ini…” Ia menggaruk dagu sejenak, aku menahan napas. “Terlalu pendiam, ya…?”
Huh, kukira apa, tak tahunya sepele. Semua orang yang baru mengenalku juga pasti akan mengatakan itu. Aku orang yang sangat pendiam dan kalem. Tapi jika kupikir-pikir, tidak juga. Menurutku, aku banyak omong, untuk sebagian orang dan beberapa kesempatan. Yah, mungkin memang dengan pak Turki saja yang tidak.
“Ah, iya, pak. Saya memang agak sulit beradaptasi.”
“Bukan ‘agak’ lagi, tapi sulit ‘banget’. Masa iya sudah 2 tahun masih belum kenal teman-temannya?”
“Nggak, kok, pak! Siapa yang bilang?”
“Ayolah kalau ingat! Siapa nama kasir yang baru melahirkan?”
Tiba-tiba ia memulai kuis, membuat dahiku mengkerut.
“Di sini kasir yang baru melahirkan ada tiga, pak.”
Pak Turki mengangkat satu alis, mengelak dengan mulus. “Yang bilang satu siapa?”
Aku menarik napas. Mulai memompa ingatan.
“Mbak Sulastri, Mbak Putu, sama Mbak Dwi.”
Kini dahi pak Turki yang mengkerut.
“Kalau yang belum menikah?”
“Evi, Puput, Nyoman, Made, Lulu, wah… banyak sekali, pak. Hampir setengah dari populasi. Termasuk saya.”
“Hm…” pak Turki terlihat mengevaluasiku dengan jempol dan telunjuk di dagu yang sudah terlihat bagai alat pengupas buah.

“Ternyata kamu cukup hafal, ya.”
“Yaiyalah, pak. Masa gitu aja nggak hafal. Itu, sih, namanya keterlaluan.”
“Tapi kenapa ya, saya merasa kamu ini agak aneh?”
Aneh? Aku terhenyak. Aneh apanya? aku nggak pernah merasa aneh. Memangnya aneh yang dimaksud itu bagaimana? Kenapa juga aku jadi aneh?
“Kamu sering ada masalah?”
Nah, yang seperti ini selalu sukses membuatku tidak nyaman. Pandangan semua orang terhadapku begitu sempit. Hanya karena pendiam, dikira sering ada masalah. Karena hafal nama teman, dibilang aneh. Semua orang memang tidak beres.
“Semua orang pasti punya masalah, pak. Saya juga sama seperti itu.”
“Tapi kamu ini beda, toh. Ada atau tidak ada, rautnya selalu begitu. Jarang senyum. Kenapa? Masalahmu cukup banyak, ya? Ndak apa-apa, cerita saja sama bapak… jangan sungkan.”
Duh, jadi ke sana ke mari. Aku menggigit bibir bawah sambil memutar isi otak.
“Bapak lupa menanyakan saya kenapa bisa sampai absen kerja selama tujuh hari, ‘kan? Mungkin itu bisa jadi masalahnya.”
“Oh! iya, ya! Kenapa? kenapa?”
Pak Turki naik antusias yang kemudian membuatku bersemangat untuk langsung memberitahunya kalau, “saya sudah ketiduran selama tujuh hari, pak.”
Ia terbelalak. Suara dengung lalat terdengar melintas di hadapannya. Apa aku terlalu to the point?

“Maksudnya?!”
“Saya tidak masuk kerja selama tujuh hari itu, alasannya karena ketiduran, pak.”
Gerak bibir yang seakan ingin berucap itu terlihat gagap. Ada kalanya pak Turki terlihat seperti tidak mengerti maksud ucapanku sedikit pun.
“Ma-maksudmu, ketiduran, tidur?! Tidur selama, tujuh hari?!”
“Iya.”
Ia menatapku lekat-lekat. “Tanpa bangun sesekali?”
Aku mengangguk, dan ia melongo. “Tanpa… makan…?”
“Iya. tidur non-stop selama tujuh hari.”
Hening.
Beliau termangu dengan sepasang netra yang masih menatapku kosong. Aku terhenyak, dan tiba-tiba saja, “Wow!” ia bertepuk tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bravo!” pujinya lagi kepadaku. Aku hampir saja ikut bertepuk tangan kalau saja ia tidak merubah gestur seperti semula dengan sangat cepat. Kembali mengusap dagunya.
“Noumi Roula.”
Aku masih duduk dihadapannya dengan postur yang sama. Tak lupa mengerjap dua kali.
“Kamu itu masih muda belia. Jadi, ketahuilah… masalah itu akan terasa ringan kalau tidak terlalu dipikirkan.”
“Anu, bukan begitu maksud saya, pak.”
“Iya, iya, saya mengerti, sangat mengerti. Saya juga pernah muda soalnya. Yang lalu biarlah berlalu, yang terpenting adalah mencari yang lebih baik untuk dijadikan pendamping hidup dimasa depan. Suatu saat nanti, kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Percaya, deh.”
Duh, dikira putus cinta. Tebakan pak Turki klise sekali.
“Pak, bapak jangan salah paham dulu,” tahanku sejenak namun ia menyela tak kenal malu.
“Sudahlah, sudah! jangan dibahas lagi. Apapun itu, sudah saya maafkan, kok. Sekarang, mending kamu pulang saja, deh. Saya mau kerja.”
“Tapi pak—”
Beliau bangkit lebih cepat lalu melebarkan kedua telapak tangan untuk mendorong pundakku perlahan-lahan—menggiringku keluar ruangan. Ini semua belum terasa jelas, kenapa main sudah-sudah saja? apa aku dipecat atau bagaimana?
"Pak—"
"Ah,” selanya kemudian. “Masalah gaji?” tanyanya setengah jengkel bahkan tanpa memerlukan respon yang senada dariku. “Iya, itu pasti dibayarkan. Tenang saja. 27 hari, kan?" tanyanya sembari memberi surat keterangan pernah bekerja kepadaku.
Aku tergugu. Sekelompok burung yang sedang mematuk isi otakku seolah kompak berterbangan. Sial. Jika mengenai yang satu ini entah kenapa gerak-gerikku jadi mudah terbaca. Demi bumi dan langit, memangnya siapa yang tidak ingin uang? Tapi ini agak berlebihan. Apa ini sebuah obsesi? Atau ketidakpahaman cara mengelola harga diri? Hah, semakin dipikir-pikir rasanya jadi semakin aneh. Tapi kalau harus bekerja keras bagai orang gila dengan perasaan gelisah ini lagi, menurutku itu akan lebih aneh. Egoku tidak pernah menyadari seberapa besar ‘sebuah gaji’ telah membuatku menderita baik secara mental maupun fisik. Yang ia tahu hanya bagaimana cara agar semua ini bisa berjalan dan terlihat lebih baik.
Benar, ini memuakkan. Aku harus keluar. Labirin ini berbahaya.
Memegang kuat-kuat surat tersebut, kemudian memandang pak Turki mantap, aku sebisa mungkin menahan air mata untuk menunjukkan senyuman kelewat tipis.
“Ini memang persis seperti maksud saya, pak. Terima kasih banyak.”
***

Book Comment (43)

  • avatar
    Muh Haris

    bagus

    23/08

      0
  • avatar
    SekuadKaldi

    bagus

    13/08

      1
  • avatar
    RahmiAulia

    bagus cer8

    28/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters