logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 Ciumlah Aku

"Sayang, ayo makan siang." kata Imran ketika dia mendekati mejaku di sebelahnya.
Ini juga sudah beberapa hari sejak kami akur. Sejak itu, dia menjadi lebih manis bagiku. Kami sarapan bersama, berangkat kerja, makan siang, makan malam, dan pulang bersama. Kami hampir tidak berpisah lagi. Terlebih lagi, kita bangun, mandi, dan tidur pada waktu yang bersamaan.
"Lo curang, Tuan!" Godaan Alvin membuatku tertawa dan Imran menggodaku.
"Diam lo atau gue akan memecatmu."
Alvin menggelengkan kepalanya. "Gampang, Pak."
Aku berdiri dan memegang lengan Imran. "Kamu benar-benar manis, Tuan." Aku pun tertawa menggoda.
Benar-benar. Dengan ukuran tubuhnya, dia terlihat lembut saat memanjakanku. Ototnya di tubuh berkurang ketika dia melunak tetapi yang pertama lebih panas.
"Kenapa? Lo gak mau?" kesal katanya.
Aku tersenyum. Sepanjang hidup, aku tidak pernah mengalahkan dia dalam intimidasi. Aku selalu menjadi orang yang frustrasi. Mungkin sekarang aku memiliki kesempatan untuk memenangkan pengganggu karena aku sudah tahu tombol apa yang harus ditekan.
"Gue gak mau." kataku menggoda. "Gue gak akan pergi sama lo dulu, gue mau pergi dengan teman-teman baru gue." Aku melanjutkan tapi tidak serius. Aku tidak punya teman selain Alvin di sini karena aku hanya terkurung di empat sudut ruangan ini sejak Lak Jeri menjadi bosku.
"Apa? Teman yang mana? Maukah lo gantiin dia sama guee di sana?" tanyanya.
Aku tertawa. "Gue berutang traktir Alvin, ya gak, Vin?" Aku menoleh ke Alvin dan mengedipkan mata padanya untuk melanjutkan.
"Ya."
"Baik. Geu gak akan makan lagi. Gue akan mati kelaparan." dia pun keluar.
"Hei! Lo mau kemana?" aku mengejar.
"Ke kantin!"
"Gue kira lo gak mau makan? Lo mau mati kelaparan, kan?" Aku menggoda ketika aku menyusulnya. Kami sekarang berada di lift.
"Gue gak tau tentang lo."
"Lo pasti cemburu, ya." Aku menyenggol sisi tubuhnya.
"Lo iri akan itu. Gak, gak." katanya.
"Weh? Lo sepertinini sekarang, ya? Lo nakal juga kalau cemburu," kataku sambil tertawa.
"Itu salah lo. Lo yang buat gue cemburu! Dan kenapa lo masih memiliki naluri itu di benak lo? Dan lo benar-benar konsisten memanggil namanya, ah!" Aku hanya tersenyum. Imran sangat senang.
"Apa yang buat lo tersenyum? Apakah lo benar-benar menyukainya? Gue akan mengakuinya ketika kita bertemu lagi."
"Gue gak tahu tentang lo. Lo suka menggoda." Aku mencubitnya sebelum dia pergi ke meja untuk memesan makanan kami.
"Bersiaplah saat gue kembali," aku mendengarnya berbisik.
Ketika dia kembali, wajahnya masih cemberut. Moncongnya mengendus sementara dahinya berkerut.
"Kenapa wajaho seperti itu?" kataku sambil tertawa.
Mengapa, aku diabaikan?
"Hei," bisikku sambil menyodok sisinya. aku masih diabaikan..
Aku mulai gugup ketika kami mulai makan dan dia masih tidak menyentuh aku.
"Apa lo marah?" tanyaku penasaran..
"Apa lo marah?" Dia masih diam..
"Hai!" Kataku sambil menepuk bahunya.
"Apa? Makan saja itu."
Aku pun emosi.
"Maaf." Biar aja. Nanti aku balas kamu.
"Maaf, hei." Aku menyodok sisinya lagi.
"Maaf, ya!" kataku dengan cemberut saat dia masih mengabaikanku.
"Apa yang lo mau gue lakukan agar lo bisa memaafkanku?" kataku menyerah.
Dia tiba-tiba tersenyum. "Cium gue, yang kuat."
Aku terkejut sebelum melihat sekeliling untuk melihat apakah ada yang mendengarnya. Terima kasih Tuhan tidak ada.
"Heh! 'Jangan!"
"Lo membuat gue kesal dan lo gak bisa menghibur gue? Cium gue sekarang!" Dia seperti anak kecil yang manja
"Gue gak mau! Banyak orang, tauk!"
"Terserah lo jika gak mau melakukannya sekarang." Aku pun tertawa.
"Kenapa? Apa yang akan lo lakukan? Lo mau pecat gue? Silakan." Aku tertawa dan mengira bahwa dia hanya marah.
"Cium gue."
"Gue gak mau, Setan!"
"Cium gue!"
"Gak."
"Haruskah gue berteriak di sini?" Dia mengancam dan membuat mataku terbelalak. Kami benar-benar seperti anak-anak yang sedang bertengkar.
"Hentikan itu!"
"Satu."
"Imran!"
"Dua."
"Bagus!" Aku pun mengancam. Aku tetap yang kalah.
"Tapi cuma sebentar, ya?"
Dia tersenyum dan mengangguk. Aku berbalik untuk melihat orang-orang, mereka sedang sibuk makan jadi aku menyerah pada kelucuan Imran.
Perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Lebar senyumannya, membuatku gugup! Aku memejamkan mata dan dengan cepat menyatukan bibir kami, kemudian aku pun dengan cepat melepaskannya.
Saat aku membuka mata, dia menatapku sambil tertawa. Aku merasa bahwa pipiku memerah.
"Apa yang lucu, woy!" katanya.
"Ya ciuman lo, lah! Cium lo!" Dia tertawa bodoh.
Aku berkedip. Aku pikir akan frustrasi.
"Bukan kayak gitu kali kalo ciuman. Tapi kayak gini!" Sebelum aku bisa memprotes, dia menarik leherku dan bibir kami bersentuhan dan berciuman yang dalam.
Saat kembali ke kantor, kami berdua terkejut melihat Ruli menunggu di sana dengan kesal. Jarang sekali dia sesabar itu, biasanya tidak bertahan lama.
"Angin buruk apa yang membawamu ke sini, Bro?" Imran bertanya sambil menarikku ke mejaku. Dia bahkan menarikku keluar dari kursi sebelum dia menuju ke mejanya sendiri.
"Si Adul." jawabnya datar..
"Bagaimana dengan Adul?"
"Maaf ya Kak. Dia gak ada yang ngurusin lagi," ucap Ruli ragu-ragu.
"Kenapa? ulang tahun lo lagi?" kata Imran dengan sinis.
"Bodoh, gue ada rapat sekarang!" jawabnya.
"Dimana dia?"
"Di rumah."
"Kenapa lo gak membawanya ke sini saja?" tanya Imran kesal.
"Dia gak mau. Dia cuma mau bermain dengan Zahra." kata Ruli sambil menatapku—memohon.
Aku tersenyum padanya sebelum menoleh ke Imran yang juga memohon. Aku memang tidak sibuk hari ini, aku selesai lebih awal sebelum makan siang. "Gue bisa datang?"
Aku melihat kecerahan wajahnya sebelum mengangguk. "Gue baru saja akan meminta lo untuk ikut dengan gue."
"Jadi sudah beres kalau begitu!" Ruli tersenyum. "Gue pergi dulu ya. Sampai jumpa!" katanya seraya cepat-cepat meninggalkan kantor.
"Ayo pergi?" Aku bertanya dengan penuh semangat. Entahlah tapi sepertinya aku merasa nyaman dengan Adul. Mungkin karena dia sangat mirip dengan ayahnya serta Ruli dan Imran juga mirip.
Sesampainya di rumah Ruli, Adul bergegas menuruni tangga.
"Pelan-pelan, Dul!" Imran berteriak pada bocah itu.
"Apa? Saya gak akan jatuh!" jawab Adul.
"Jangan lakukan itu lagi, oke?" Imran berkata dengan tenang sambil berlutut agar mereka sejajar. "Kemarilah." katanya ketika anak laki-laki itu mengangguk, dia menariknya ke dalam pelukan.
"Saya juga kangen, Paman." Adul tertawa sambil melepaskan pelukan Imran.
"Hai Tante Zahra! Apa kabar?" lucu katanya saat dia menoleh ke arahku.
"Gak apa-apa, kan?" Aku meremas pipi gemuknya yang menggemaskan.
"Gak apa-apa. Apakah Tante mau bermain?" tanyanya dengan wajah yang terlihat senang.
"Baiklah." jawabku seadanya.
"Hei! Ayo bermain petak umpet. Ayo pergi!" katanya sebelum Imran dan aku bisa berbicara dan menarikku menaiki tangga.
"Baik. Dalam hitungan sepuluh, oke? Satu..dua.."
"Sembunyi di sana, saya akan kembali ke tante," kata Adul seraya mendorongku ke sebuah ruangan, dia menutup pintu dan meninggalkanku sendirian. Aku akan keluar jika mendengar suara keras Imran 'sepuluh', mengisyaratkan dia untuk mulai mencariku dan Adul..
Aku hanya bersembunyi di balik pintu, di sudut jauh ruangan. Aku berada di sisi pintu sekarang sehingga aku dapat dengan jelas melihat sisa ruangan. Sepertinya ini adalah kamar tidur Master. Aku menarik perhatian sebuah bingkai besar yang tergantung di dinding, di kepala tempat tidur.
"Tante! Ayo pergi!" Adul tiba-tiba melompat dan menarikku menuruni tangga.
Apa yang terjadi?

Book Comment (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters