logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 07

Titip Benih
BAB 07
Karena capek menangis aku akhirnya tertidur. Aku terbangun ketika mendengar suara pintu kamar terbuka.
Aku berpikir jika itu mbak Laras. Karena tadi yang mengunci pintu Dia. Dan sudah pasti mbak Laras yang memegang kuncinya. Tapi ternyata dugaanku salah.
Ketika pintu terbuka, ternyata Mas Ikhsan datang dengan membawa gelas berisi susu.
"Dek... Minum susu dulu ya... Biar anak Mas tumbuh sehat."
"Mas... Tolong lepaskan aku dari sini. Aku janji akan menjadi istri yang seperti kamu inginkan."
"Dek... Jika kamu mau menjadi istri yang penurut, Mas akan coba untuk membujuk Laras."
"Penurut bagaimana lagi? Apa selama ini aku belum jadi istri penurut bagi mu!"
"Maksud Mas. Adek jangan pernah membantah Laras. Agar, Mas bisa membantu adek untuk kembali ke rumah sana." Entah mengapa hati kecilku tidak percaya dengan semua ucapan mas Ikhsan. Aku merasa jika Mas Ikhsan hanya berbohong kepadaku.
"Baiklah Mas. Aku akan berusaha selalu menjadi istri yang penurut untuk mu dan menjadi adik madu yang baik untuk Mbak Laras." Mas Ikhsan terlihat senang mendengar jawaban dariku.
"Baiklah kalau begitu. Ayo layani Mas... Mas sudah sangat kangen atas dirimu."
Aku sangat terkejut mendengar permintaan mas Ikhsan, bagaimana bisa Dia meminta untuk dilayani dalam situasi seperti ini.
"Mas! Bukankah Mas dilarang untuk menyentuhku?"
"Jika Laras tidak tahu tidak masalah sayang... Ayo cepat..."panggilan itu keluar dari mulut mas Ikhsan begitu saja, entah mengapa aku merasa sedikit jijik mendengar panggilan sayang darinya.
"Tidak! Mas keluar saja aku mau istirahat. Jika Mas terus memaksa maka aku akan teriak biar mbak Laras datang kesini dan melihat Mas menyentuhku!"
"Baik! Jika kamu tidak mau melayani Mas. Jangan harap Mas akan mengeluarkanmu dari rumah ini. Mas tidak sedang bercanda dengan ucapan Mas." ucapnya dengan mimik wajah serius.
Aku jadi berpikir ulang dengan penolakanku. Aku takut jika Mas Ikhsan benar-benar tidak mau menolongku. Aku tidak mau terkurung dirumah ini sampai melahirkan.
Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti kemauan mas Ikhsan, aku melayani Mas Ikhsan dengan hati kecewa.
Seperti biasa, setelah hasratnya tersalurka. Mas Ikhsan bersikap dingin kembali kepadaku. Jadi aku sudah tidak terkejut lagi dengan perubahan sikapnya itu.
"Kamu minum susu itu sampai habis. Aku tidak mau anakku kurang gizi!"
"Kamu tidak usah khawatir. Aku akan merawat kandunganku dengan baik. Asalkan kamu benar-benar membantuku untuk keluar dari rumah ini!"
"Ya."
Setelah itu Mas Ikhsan langsung pergi meninggalkanku. Aku tadinya berpikir jika Mas Ikhsan tidak mengunci pintu kamarku lagi, tapi, ternyata aku salah. Mas Ikhsan menguncinya kembali. Sedih sebenarnya rasanya hatiku begitu melihat kenyataan didepanku. Tapi, bukankah aku memang tidak boleh bergantung kepada mas Ikhsan.
Mas Ikhsan itu seperti kerupuk yang terendam air jika didepan Mbak Laras, jadi tidak akan benar-benar bisa membantuku atau Dia itu tidak bisa aku andalkan.
Keesokan paginya. Mbak Laras membuka pintu kamarku.
"Ayo kita sarapan. Aku tidak mau jika anakku nanti kelaparan."
Aku yang malas berdebat lalu mengikuti perintah Mbak Laras.
Aku berjalan mengekor dibelakangnya.
Setelah sampai di meja makan. Aku lihat Mas Ikhsan sedang menikmati roti yang di beri selai coklat. Entah mengapa ingin sekali aku di suapin roti itu olehnya.
"Mas... Tolong beri aku satu suap saja roti itu." Ucapku secara spontan. Mas Ikhsan terlihat sangat terkejut mendengar permintaanku. Wajahnya seketika mendongak kearahku tanpa berucap satu katapun.
"Airin! Apa-apaan kamu itu! Ingat kamu itu tidak boleh melanggar batasan mu!" Hardik Mbak Laras
"Mbak... Tolong hanya sesuap saja." rengekku. Entah mengapa aku sangat menginginkan makan roti disuapi Mas Ikhsan.
Mbak Laras lalu berdiri dari kursinya dan mendekat kearahku. Dan beberapa detik kemudian kepalaku basah karena Mbak Laras menyiramku dengan susu hangat.
"Mbak! Kenapa aku di siram!"
"Kamu masih tanya mengapa?"
"Iya! Apa kesalahaanku?"
"Apa maksudmu meminta Mas Ikhsan untuk membagi rotinya denganmu?"
"Mbak, Aku benar-benar ingin sekali saja makan roti disuapi Mas Ikhsan, Apakah itu salah?"
"Salah! Hanya aku disini yang berhak atas Mas Ikhsan."
"Tapi, Mbak! Aku ini juga istrinya. Aku juga berhak atas dirinya!"
"Hahahaha... Hanya ada satu Nyonya Ikhsan disini yaitu aku. Kamu jangan pernah bermimpi!"
"Mbak lupa jika aku juga istri Mas Ikhsan?"
"Kamu itu tidak sadar diri ternyata! Apa memang rata-rata perempuan kotor seperti kamu itu sifatnya begitu?"
"Mbak. Cukup! Mau sampai kapan Mbak akan terus menghina dan merendahkanku!"
"Sampai hatiku puas lah. Kamu pikir aku senang dengan pernikahanmu."
"Tapi kan Mbak sendiri yang memintanya."
"Iya. Karena aku butuh anakku. Sudah kamu tidak usah banyak bicara. Sekarang kamu makan dan jangan pernah sekali-kali kamu meminta yang bukan menjadi hak mu!"
"Aku berhak. Karena mas Ikhsan juga suamiku dan ayah dari anak ini."
"Berani kamu!"
Plaaaakkkkk.... Sebuah tamparan keras mendarat dipipi mulusku.
Tes... Air mata luruh membasahi pipi ku. Mas Ikhsan tak sedikit pun peduli denganku. Dia hanya diam dan terus mengunyah rotinya seolah aku bukan siapa-siapa baginya.
Aku jadi tak berselera untuk makan. Aku akhirnya hanya meminum susu yang baru dibuatkan lagi oleh salah satu asisten rumah tangga.
Setelah meminu susu aku ijin untuk ke kamar, karena aku sudah tidak kuat lagi berada di meja makan melihat kemesraan mereka.
Mbak Laras menyuruh salah satu asisten kepercayaannya untuk mengantar ku kekamar.
Ketika sampai kamar asisten itu bicara kepadaku.
"Nyonya yang sabar ya... Nyonya sama Tuan memang selalu romantis seperti itu. Aku juga heran kenapa Nyonya mau jadi duri pernikahan mereka!" Ucapnya dengan nada sedikit sinis.
"Tahu apa kamu tentang pernikahan kami! Lebih baik kamu pergi atau kamu ingin aku melaporkan mu kepada Mas Ikhsan!" Jawabku dengan nada ketus
"Aduh Nyonya... Sadar diri napa!" ucapnya lagi sambil keluar dari kamar ku dan menguncinya.
Aku sudah persis seperti tahanan dirumah suami ku sendiri. Ya Allah begini berat cobaan yang engkau berikan kepadaku. Mampukah aku melewati cobaan ini. Aku takut jika aku akan putus asa ditengah jalan.
Waktu beranjak siang. Asisten yang tadi pagi mengantarkan makan siang untuk ku.
Dia memberikan nampan berisi makan siangku dengan cara yang tidak sopan. Dia cukup keras meletakkan nampan itu diatas meja sehingga ada sedikit tercecer makanan yang ada di dalam mangkok.
"Kamu jika tidak suka dengan ku lebih baik jangan datang kesini!"
"Andai aku bisa menolak perintah Nyonya Laras. Aku juga tidak sudi melayani orang seperti kamu!"
"Semakin kurang ajar ya kamu!
"Wanita seperti kamu itu tidak pantas untuk di hargai. Jadi wanita itu coba punya harga diri. Sudah tahu Tuan Ikhsan itu punya istri tapi masih mau juga kamu dinikahi."
"Kamu itu jika tidak tahu masalah yang sebenarnya lebih baik diam. Dan kamu disini hanya seorang pembantu, Jadi jangan terlalu kurang ajar dengan ku!"
"hahahaha... iya... Nyonya Ikhsan KW." Cibirnya sambil berlalu pergi meninggalkan ku.
Hatiku sakit sekali dengan ucapan asisten itu. entah siapa namanya karena aku tidak pernah dengar Mbak Laras menyebut namanya. Mbak Laras hanya memanggilnya dengan sebutan Mbok saja.
Aku memang tidak berselera makan dari pagi. Jadi aku juga tidak menyentuh makan siang ku.
Hingga tiba-tiba tubuhku terasa lemas dan ketika aku akan pergi ke kamar mandi tubuhku jatuh ke lantai.
Aku berusaha meminta tolong tapi tak ada yang mendengar ku. Hingga aku tak sadarkan diri.
Entah siapa yang menemukan ku terlebih dahulu. Karena ketika aku membuka mata aku melihat Mas Ikhsan dan Mbak Laras dengan wajah cemas.
Melihat ku sadar Mas Ikhsan langsung memelukku. Namun tak berselang lama Dia melepaskan pelukannya karena Mbak Laras menatapnya dengan tatapan tajam.

Book Comment (216)

  • avatar
    Satria

    seru

    21/09

      0
  • avatar
    ivenawidiawansilvia

    terimakasih

    02/08

      0
  • avatar
    MartaKristina

    sangat bagus

    20/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters