logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 8 Gemerlap Bintang Saat Malam Perpisahan

Bubuk kopi kumasukkan ke dalam tiga cangkir, kutambah gula. Dua gelas dengan gula seperti biasa dan satunya dengan gula yang terlalu sedikit. Perbedaan rasa. Menginginkan kesepurnaan rasa kopi adalah sebuah pilihan. Kopi jenis apa; bermerek atau tidak, kental atau tidak, kasar atau halus. Seperti kubilang, hidup ini adalah pilihan.
Teko kuambil dari dapur satpam, sempit. Kutuangkan ke dalam tiga cangkir itu, kuaduk penuh cinta, kuaduk hingga benar-benar melumatkan segala rasa dan menyatu, menjadi sebuah kenikmatan. Kumasukkan cangkir itu di atas nampan kecil, dan kubawa ke luar, ke ruang jaga satpam.
Di sana dua orang sedang duduk, tersenyum kepadaku. Keberikan kopi itu pada mereka, satu untuk Pak Rahmat, satunya untuk Pak Teguh yang menyukai gula sedikit. Alasannya adalah agar tidak mengantuk, jika kebanyakan gula, khasiat mengurangi kantuk menjadi berkurang bahkan tidak berkhasiat lagi. Ya, walau tidak sepenuhnya benar, ini adalah pelajaran penting bahwa persepsi yang kuat akan membuat seseorang mengalami apa yang diyakininya.
Malam ini, Pak Rahmat sengaja datang ke sini. Sore tadi, sewaktu aku aku membantunya menutup ruko-ruko, aku bercerita bahwa besok pagi aku akan pergi dari kota ini. Aku akan menyusuri mimpiku menuju desa Cahaya. Wajah Pak Rahmat saat itu tiba-tiba bersedih, dan dia ingin menemaniku semalam ini. Hitung-hitung perpisahan.
Kisah yang sama kuceritakan pada Pak Teguh, satpam yang belum beristri ini, alias masih bujangan. Menjadi satpam, jika aku boleh memberi usul, lebih baik mempunyai tugas shift. Jika tidak, kau lihatlah sendiri. Teguh adalah contohnya, badannya selalu terlihat kuyu, minumnya kopi agar ngantuk tidak menyambanginya kala malam. Berjaga dari pukul 14.00 hingga 08.00. Sisa berjaga pulang ke rumahnya, bisa dipastikan di rumah pasti dia hanya tertidur. Lalu kapan waktunya tercurah sedikit saja untuk kiperluan yang lainnya?
Ah! Kau berpikir kasihan, Kawan?
Malangnya, Pak Teguh mempunyai satu kebiasaan buruk. Dia selalu pasang togel, berharap akan mendapatkan uang sekejap dalam jumlah besar, lalu untuk membuka usaha sendiri, karena dia ingin berhenti menjadi satpam.
Satu lagi pelajaran kupetik, ’Jangan pernah main togel, walau hanya iseng. Karena Teguh selama bertahun-tahun, belum sekali pun menang!’ coba saja, kalau uang togel itu dihitung hingga sekarang. Mungkin sudah banyak dan tentu bisa untuk membuka usaha kecil sendiri, sejenis warung atau bengkel kecil. Kau setuju dengan pemikiranku kan, Kawan?
Oya, Kakekku pernah bercerita kepadaku tentang lotere togel juga. Kisah ini juga pernah kuceritakan pada Teguh, tapi bukan dia mau berhenti malah dia terpingkal-pingkal. Padahal, aku berharap dia berhenti setelah kuceritakan kisah itu.
Kisah itu terjadi pada zaman dahulu, entah nyata atau tidak, aku belum sempat menanyakannya. Zaman dahulu, ada seorang pemikul barang yang rajin sekali dalam bekerja, setiap hari. Ia mempunyai satu kebiasaan, dia selalu membeli lotere dan sering berkhayal suatu saat menang dan menjadi orang kaya.
Suatu hari, seperti kebiasaannya di warung teh, dia sedang beristirahat. Temannya yang menjual lotere tiap hari padanya menghampiri dan memberitahu dia, ’Anda menang lotere hari ini!’
Mendengar berita itu, si tukang pikul sangat gembira, girang, hingga ia melompat-lompat dan menari-nari. Dengan suara yang keras, dia memberitahu semua orang yang berada di warung teh itu; ’Kawan-kawan, hari ini saya menang lotere, uang teh kalian semuanya, akan aku bayar! Mulai saat ini, mulai hari ini, saya tidak mau bekerja memikul lagi! Saya sudah menjadi kaya! Ha, ha, ha...!’
Sambil berbicara, ia berjalan keluar kedai, dengan kedua tangannya dia mengangkat pikulan, dan membuangnya ke sungai di samping warung teh itu. Dia berkata, ’Barang yang menyebalkan! Selamat tinggal untuk selamanya!’ Saat itu, air sungai mengalir sangat deras, dan dalam sekejap pikulan itu sudah terlempar jauh dan tenggelam tak terlihat lagi. Bahagia dan bebas pula wajah sang pemikul itu.
Si Pemikul bertepuk tangan dan mengucapkan kesyukuran terdalam! Tetapi, tiba-tiba dia berteriak dengan kaget, karena dia baru saja ingat kalau lembaran lotere itu, diselipkan pada retakan pikulan itu. Dia pun menangis tersedu-sedu! Benar-benar gembira sesaat yang langsung berubah menjadi kesedihan.
Apakah kalian merasa lucu dengan cerita itu? Itulah anehnya Pak Teguh! Mungkin, sebenarnya Teguh sedang menertawakan dirinya sendiri, atau mungkin kapan dia akan menang togel, dan tentu saja akan mengantisipasi agar nasibnya tak seperti si pemikul.
Jika itu yang diambil pelajaran dari kisah si pemikul, maka aku mengambil ibrah berbeda dari kisah si pemikul. Manfaat yang kuambil adalah, ’Setelah melalui sebuah jembatan, maka jangan sekali-kali membongkar papan jembatan itu.’ Kau paham? Maksudnya jangan lupa dengan asal, seperti kacang lupa kulitnya. Karena, jika kita melakukan itu, maka di kemudian hari kita akan mengalami kegagalan.
”Kau sungguh-sungguh mau pergi, Rif?” wajah Pak Rahmat terlihat sedih lagi. Padahal dia sedang memakan roti yang kubeli di mini market di pojok sana. Kulihat wajahnya benar-benar sedih, mungkin roti itu untuk menutupi kesedihannya.
Aku menatapnya, aku sudah menganggapnya sebagai keluargaku sendiri. Tapi, tak kutahu mau kuanggap apa dalam sebuah keluarga; kasih sayang ayah, ibu, kakak, adik, semunya belum pernah kucicipi. Hanya kasih sayang Kakek saja.
Dan aku hanya mengangguk penuh kemantapan.
”Uangmu cukup, Rif?” Pak Teguh gantian menanyaiku.
”Cukup tak cukup, aku akan berusaha datang ke desa Cahaya. Ini bukan lagi sekadar mencari uang atau mencari jabatan sebagai guru. Tetapi ini adalah panggilan jiwa yang seolah menyeruku datang. Mungkin ini jawaban dari semua pertanyaan dalam hidupku. Mimpi-mimpiku seolah berada di sana.” Aku menatap bintang-gemintang, bertabur bagai tepung yang halus, bagai ikan yang menari-nari di sungai yang bening.
Dan kulihat, kedua orang yang berada di sebelahku ikut menatap bintang di atas sana. Tak ada suara lagi, kami bertiga menatap langit, menatap bulan tanggal dua. Bintang semakin terlihat cerah, mata-mata kami betah, kami melihat harapan di sana. Dan perlu diingat dan selalu kuingat, bahwa bintang hanya bisa dicapai dengan keberanian.
Pagi harinya, tak kusangka Pak Teguh telah mempersiapkan makanan ringan berupa roti, dimasukkan ke dalam tas yang memang telah lama tapi masih terlihat bagus. Dia memberikannya kepadaku sebagai bekal perjalananku. Dia memberiku amplop, aku mati-matian menolaknya. Tapi matanya melotot padaku.
”Anggap saja ini taruhan.”
”Taruhan?”
”Kau pernah bilang, jika berusaha, carilah usaha yang mempunyai kemungkinan yang besar untuk mendapatkan hasil. Aku memberikan ini tidak cuma-cuma, jika kau sukses nanti, panggil aku. Dan aku melihat bahwa bisnis ini lebih tinggi prospeknya, daripada aku menggunakan uang itu untuk membeli togel.”
Kami saling tersenyum. Dasar! Mental judi, semuanya dianggap sebagai permainan, semua kesempatan digunakan untuk bertaruh. Tapi, aku sangat simpati padanya. Dia sahabat yang baik. Aku memeluknya erat. ”Semoga suatu saat kita bertemu kembali,’ aku meneteskan air mata. Pak Teguh juga.
Pak Rahmat, dia membawakanku sekantong plastik hitam.
”Apa ini, Pak? Tidak usah repot-repot. Anak-anak Bapak lebih membutuhkannya, doa Bapak bagi saya adalah kenangan terindah.”
”Ini hanya makanan di perjalananmu nanti, Nak, ini khusus dibuatkan oleh istriku, karena dulu ia sering merasa terganggu dengan kedatanganmu. Dia ingin menebusnya, dia titip maafmu.”
Aku menerima bungkusan hitam itu, ”Pasti kumaafkan, Pak! Akulah yang seharusnya meminta maaf.” Aku memeluk pak Rahmat, erat sekali. Mereka adalah keluargaku di kota yang ganas ini.
”Rif, jika kau telah menemukan impianmu. Datanglah ke sini, jika di sana lebih menjanjikan, ajaklah Bapak besertamu.”
Aku mengangguk, langkahku terasa berat kulangkahkan. Kucoba menegarkan diri, tegak, pak Rahmat dan Teguh telah sempurna meneteskan air matanya. Tangan mereka melambai-lambai, aku juga melambaikan tanganku.
Aku berbalik arah, membelakangi mereka. Aku tak akan menoleh, karena air mataku banjir. Aku tak mau membuat mereka bersedih karenaku, kutatap langit sejenak, bukan mencari jawaban. Tapi mencari ketegaran.
Ujung perjalanan, belum tergambar sedikitpun dalam otakku. Kawan, aku sedang mencari jati diriku, ini bukan spekulasi judi. Tapi sebuah keyakinan, kau harus paham itu.

Book Comment (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    12d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters