logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Pemimpi

”Inilah hidup, adanya bukan karena pilihan kita tetapi harus kita jalani. Kita harus menerima tubuh ini, suka ataupun tidak, karena tubuh ini akan bersama kita sepanjang hidup. Namun, bermimpi dan menjadi pemenang adalah pilihan kita,” kata itu yang akan keluar dari lisan Kakekku, setelah shalat subuh dan membaca hafalan Qur`annya, hafalan yang seadanya, karena matanya telah tak mampu membaca lagi.
Pagi-pagi benar, kami telah memakai pakaian nan rapi, Kakek dengan pakaian terbaiknya, berwarna biru tua. Dan aku memakai baju sekolah yang telah diseterika Kakek berulang-ulang, tidak seperti biasanya. Hingga sangat rapi. Aku pun sebenarnya tidak mau jika tidak dipaksanya. Dan aku ikhlas demi melihat senyum yang terkumpul indah di wajahnya. Kami duduk di depan teras rumah kontrakan kami, terduduk menunggu matahari naik sepenggalan. Naik hingga sinarnya menusuk mata kami, silau. Alangkah indah menunggu matahari terangkat dari bibir langit timur.
Mata kami lurus ke depan, sempurna menunggu kilau cahaya dari timur. Cahaya yang menyeruak. Hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku, aku akan diminta maju ke depan sebagai siswa terbaik dengan nilai tertinggi di SMA-ku, dan Kakekkulah yang akan menerima penghargaan dari sekolah. Seperti biasa, sebentar lagi pasti Kakek akan mendongeng untukku.
”Hari ini. Ya! Hari ini. Sambil menunggu matahari naik sepenggalan, Kakek akan bercerita banyak hal padamu. Melebihi hari biasanya. Dan kau harus mendengarkan semuanya.”
Aku tak bersuara sama sekali, aku benar-benar serius mendengarkannya.
”Seperti roda, seperti itulah kehidupan manusia. Kadang tertawa dan kadang menangis, kadang bahagia dan kadang sedih, kadang berhasil dan ada kalanya menerima kekalahan. Sewaktu engkau menghadapi kegagalan, luangkan waktumu untuk mempelajari langkah-langkah dan rencanamu. Kalau tidak ada rencana praktis dan nyata, seorang jenius pun tidak akan berhasil.”
Itulah Kakekku. Dia adalah orang nomor satu di dunia ini, walau dia tidak pernah lulus sekolah dasar atau sekolah rakyat—aku sudah lupa. Yang jelas beliau tidak berijazah, tetapi semangat belajarnya tak pernah padam. Dia terus dan terus belajar dari kehidupan, dia juga pintar membaca, itu pun dulu ketika matanya masih lancar membaca huruf. Entah belajar di mana.
”Lebih baik menyalakan satu lilin, daripada selalu merutuki kegelapan,” Kakek memulai kembali ceritanya. “Di pabrik Canny AS, seorang insinyur bernama Raybinson. Pabrik ini dikenal di seluruh dunia dengan produknya ‘Kaca anti pecah.’ Padahal sebelumnya orang banyak yang tidak memercayainya. Suatu hari, Raybinson membuktikannya dan menciptakan kaca anti pecah tersebut di tahun 1963.
Raybinson mengumumkan penemuannya itu kepada orang-orang, ‘Dalam satu tahun ini, kami menghabiskan US$ 15 juta untuk biaya penyelidikan tentang kaca anti pecah ini. Ini bukan jumlah yang kecil. Namun apabila kita hanya percaya apa yang tertulis dalam sebuah buku, yaitu bahwa kaca bisa hancur, maka pabrik Canny hanya dapat memproduksi botol-botol sirup untuk selamanya.
”Itulah kekuatan keyakinan cucuku, peganglah erat itu. Salah satu kekuatan terbesar yang dimiliki manusia adalah keyakinan, karena itu yakinlah pada kemampuanmu.”
Cerita Kakekku benar-benar membakar semangatku, membakar seluruh lapisan darahku, seolah otakku mendidih. Bagaimana tidak, hidup kami yang selalu kekurangan, kami hanya mengontrak rumah mungil, berdesakan di kaplingan yang terdiri dari dua ruang, satu kamar dan satu ruang tamu yang digabung dengan dapur. Untuk makan, harus menunggu lilitan perut berbunyi, keinginan tak pernah kesampaian untuk makan enak. ”Uang harus ditabung! Untuk sekolahmu agar tinggi derajatmu dengan ilmu!” Begitulah pesan Kakekku.
Dan aku luruh dalam setiap aturannya, karena aku percaya padanya.
”Kakek akan bercerita satu lagi,” Kakek masih lurus menatap kemilau yang masih menyemburat. Aku menatapnya sejenak, menoleh, melihat keriput di wajahnya yang terlihat jelas. Namun tersirat masih ketampanan masa mudanya. Mataku kembali lurus, menyejajarkan diri pada tatapan Kakek, ke mana lagi kalau bukan ke arah matahari akan terbit.
“Dahulu, ada seorang wanita tua yang berjualan nasi bungkus. Para pekerja bangunan selalu menunggunya. Dan ketika semua telah tergelar, wanita tua itu akan kewalahan melayani mereka. Namun ada yang unik darinya, harga nasi bungkus itu sangat murah!
Ketika ditanya, apa yang ia dapatkan dari berjualan dengan harga murah itu, ia hanya menjawab singkat, ‘Alhamdulillah, bisa untuk makan dan membeli sabun.’ Dia tak terlalu memerhatikan seberapa besar keuntungan yang diperolehnya. Dia hanya kasihan kepada para pekerja bangunan itu. Dia bekerja demi setitik kesejahteraan demi orang lain. Bukankah demikian tugas kita dalam bekerja, Cucuku? Menghadirkan kesejahteraan bagi sesama manusia.
Apakah kau tahu siapa wanita tua itu?”
Aku menggeleng.
”Tataplah kedua mataku,” Kakek menoleh ke arahku. Aku gelagapan, megap-megap seolah susah menghirup udara segar.
Mendung sirna, tersibak. Udara membelai wajah kami, sendu surut semua luka. Segenap keindahan yang tercurah mengalir begitu saja, mengaliri seluruh syarafku. Sungguh, tiada keindahan yang kurasakan selama sembilan belas tahun aku hidup. Mata Kakek teramat indah. Mata itu, walau telah menuai keriput tetapi lebih berharga bagiku daripada intan dan berlian, seberapa pun jumlah dan banyaknya. Aku tak peduli. Lebih dari apa pun, tapi...
Mata itu meneteskan air mata, luruh pula air mataku menimpali bersamanya, berkaca dan menyembullah cairan jernih itu. Aku mengusap air mata kakek. Aku terus menatapnya.
”Kau lihat apa dalam mataku? Katakanlah, Cucuku.”
”Aku melihat kerinduan yang besar, terkumpul dan menggumpal hingga merangkai tenun yang teramat rapi membungkusnya.”
”Kau benar, Cucuku,” kakek sesenggukan.
Matahari telah tegak sempurna metampakkan sinarnya.
”Wanita tua yang berjualan nasi bungkus itu adalah nenekmu, kau tahu kerinduanku padanya tiba-tiba membuncah semenjak tadi malam. Wanita yang teramat suci hatinya itu, seolah kini wajahnya begitu dekat dan membayang di pikiran kakek. Setelah kepergiannya, dalam hidup ini hanya satu pelita dan harapanku, dialah kamu Arif. Kini, kau sudah bisa melangkahkan kakimu sendiri. Kukira tugasku sudah selesai untuk menjagamu. Aku telah memenuhi janjiku pada nenekmu untuk menjagamu dan mengantarkanmu sampai ke gerbang pintu pilihanmu.”
”Apa maksud Kakek? Aku tidak mau mendengarnya,” aku sempurna sesenggukan.
Kakek Abdullah tersenyum padaku, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke langit sebelah timur, menatap matahari yang kemerahan memanggang bumi dengan baranya.
”Jika kau dalam keadaan terjepit, jika kau dalam kebimbangan, jika kau mencari jawaban, jika kau betul-betul mencari jawaban. Maka, saat itu lihatlah ke langit.”
Hening.
”Setiap saat kau selalu meminta Kakek untuk menyediakan pundak Kakek agar kau bisa rebah. Kini, aku ingin rebah di pundakmu, Cucuku, aku telah lelah dan rapuh. Berikan pundakmu padaku.”
Aku tak kuat bersuara, kuturunkan ke bawah sedikit pundak kananku. Dan kepala yang telah dipenuhi uban itu rebah lemah di pundakku. Kami melihat matahari bersama. Indah, siluet pagi yang menawan, cahaya berkilauan.
”Berjanjilah pada Kakek.”
Aku diam.
”Jadilah yang terbaik, jangan pernah menyerah pada masalah dan ketidakberdayaan. Engkau harus menjadi yang terbaik, engkau harus menjadi orang yang bermanfaat. Itulah bahagiaku di dunia ini.”
Matahari semakin naik ke atas.
”Ayo Kek, nanti telat. Aku harus memberikan pidato, malu kan kalau telat?”
Hening, benar-benar hening hingga aku menunggu dua, tiga, empat, lima menit.
Kugoyang pelan pundakku, lemah tak bergerak kepala kakek.
Matanya telah terpejam sempurna, ada senyum menghias wajahnya yang polos. Bibirku bergetar saat kupangku wajah itu di pangkuanku. Air mataku tumpah, tidak kupedulikan. Aku sekuat tenaga menahan tangisku, karena aku telah berjanji padamu, Kek. Bahwa aku harus selalu ceria, harus selalu tegar dalam situasi apa pun. Semakin bertahan, aku semakin tidak kuat.
Dan hari itu, hari ketika aku harus memberikan pidato sebagai lulusan terbaik, sebagai kebanggaan sekolah, aku tidak datang. Jika aku adalah kau, apakah kau juga akan rela meninggalkan orang yang kaucintai di akhir dunianya. Aku menemaninya, hingga tanah gembur memisahkanku dengannya, memisahkan setiap kenangan yang indah.
Sungguh, aku tidak rela. Melewatkan detik terakhir menatap wajahnya. Dia yang bekerja keras, bekerja sebagai kuli bangunan untuk biaya sekolahku. Sering aku tidak diizinkannya bekerja, aku harus belajar katanya. Itulah bahagianya. Dan aku menurut.
Tahukah kau kawan, selain upah kerja harian kakek. Selalu saja ada uang dari mandor untuk uang rokok, untuk udut. Membeli tembakau, cengkeh serta kertas pembungkusnya. Itulah kesukaan Kakek, tapi semenjak aku sekolah, dia telah meninggalkan kebiasaan itu dan uangnya ditabung seluruhnya untukku. Hanya untukku.
Dan, semenjak saat itu aku sendiri. Sendiri mengarungi samudera kehidupan, menyelam dalam palung semesta. Tak apa, aku kuat menanggung hidup. Bukankah Kakek selalu di hatiku?
Aku menatap langit sore menjelang malam di atas pekuburan baru. Matahari hendak tenggelam, dan tenggelamlah. Tapi, aku akan terus berpijar. Sejak saat itu, mimpiku telah tergadaikan dengan seluruh keinginan Kakek. Aku harus terus sekolah! Aku harus menjadi yang terbaik!

Book Comment (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    13d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters