logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 18 Bunga Desa

Hari-hari menuai cahaya. Ah! Semuanya bagai mimpi, aku seorang pemimpi, pemimpi menjadi yang terbaik, sebatang kara, tiba-tiba terdampar di sebuah desa terpencil ini. Bahkan, aku seolah bukan berada di bumi, mungkin terlalu kudramatisir karena banyak misteri di desa ini, ini baru beberapa hari, belum genap seminggu.
Pasti akan lebih banyak misteri di dalamnya yang belum kutahu.
Hari ini, aku diajak Kang Mukhlis ke rumah Pak Lurah. Katanya beliau ingin bertemu denganku, karena aku adalah guru baru, maka harus disambut juga. Seperti pejabat tinggi saja. Dan penyambutan sederhana itu diadakan di rumah lurah desa. Rumahnya lurus ke arah SD N Cahaya, terus ke arah timur. Rumahnya sebelum pasar Templek, dan dekat dengan kantor keamanan desa yang menjaga hutan lindung kampung.
Aku dan Kang Mukhlis naik sepeda, Syahid menunggu di rumah. Kami sampai di rumah Pak Lurah, beberapa orang di sana sedang duduk-duduk.
”Bukan Pak Lurah namanya kalau tak menunggu kita datang.”
Aku belum mengerti dengan maksud Kang Mukhlis, ternyata, di depan pintu seorang lelaki berumuran empat puluh tahun, kurus, tinggi, berkumis tebal, menunggu kami. Mungkin pelayan lurah, atau semacamnya.
”Kamu rupanya guru baru itu, ganteng juga,” ceracau si kumis tebal lagi kurus itu. Menyalamiku, memerhatikanku saksama, persis dari ujung kaki, sampai wajahku. Aku hanya tersenyum.
”Kau tak salah, memilih tinggal dengan jawara desa Cahaya,” dia terus menceracau, aku menoleh di belakangnya, semoga Pak Lurah segera keluar dan menyambut kami.
”Kau akan aman, dan semoga kau betah di desa ini,” orang ini keterlaluan, tidak disuruhnya kami masuk. Membiarkan kami berdiri di depan pintu, ceracaunya bagai burung ciblek kelaparan. Aku bosan mendengarkannya.
”Pak Lurah terlalu berlebihan, Kang, inilah guru baru itu,” Kang Mukhlis menyalami si kumis tebal itu. Aku kaget, lurah? Jadi, Si Kurus dan berkumis ini Pak Lurah?
Kami dipersilakan duduk, di sana ada pejabat dinas perlindungan hutan, polisi setempat, dan pamong-pamong desa. Aku berkenalan dengan salah seorang bayan, katanya pak Lurah itu adalah kakak seperguruan Kang Mukhlis, tapi karena tidak kuat ditempa bela diri, akhirnya mundur dan kembali ke desa. Sedangkan Kang Mukhlis terus belajar hingga tuntas.
Kartasuwirya, nama Lurah desa Cahaya. Matanya berkilat hitam, hitam di sekelilingnya bagai celak menyalak. Seram, tapi sangat sopan ternyata. Garis-garis di wajahnya yang mulai menua bagai serabut tipis di kelapa gading tak terlalu terlihat, tertutup kulitnya yang coklat gelap. Pastilah dia pekerja keras, sering terpanggang terik mentari.
Pak Lurah memberikan sambutan singkat. Dia menunjukkanku pada semua orang di ruangan itu, sambutan yang meriah untuk seorang guru. Isinya penuh semangat, tapi, dari mana Pak Lurah tahu banyak tentangku. Aku baru seminggu di desa. Ah, pastilah relasinya banyak, namanya juga lurah desa.
Acara diteruskan dengan makan-makan. Aku seperti orang istimewa di desa ini. Semua pejabat desa menjabat tanganku, memberikan salam selamat datang walau tak terucap, terlihat dari senyum-senyum mereka.
Saat seorang lelaki terakhir mendekatiku, aku sedikit tegang menatap matanya yang menyala, bagai api yang siap menyambar. Dia orang terakhir, memakai blangkon jawa di kepalanya, mendengus tepat di depanku.
”Kau jangan besar hati anak muda. Semua orang baru di desa ini selalu disambut sama oleh Pak Karta. Dan jangan pernah bertingkah kau, atau kau akan menyesal seumur-umur.”
Aku terdiam menatapnya, dia menjauh dan duduk di tempatnya semula. Sesekali di tempat duduknya, matanya masih sering memerhatikanku. Tapi kawan, sungguh aku tidak takut. Aku telah melampaui semua ketakutan dalam hidup ini, dan hidup adalah ketakutan-ketakutan yang harus dihadapi.
Makanan dihidangkan oleh beberapa orang yang menyodorkan makanan berupa kuah dan campurannya dalam piring-piring, makanan berputar. Soto, sudah lama aku tak memakannya. Bahkan, kurasa seumur hidup belum pernah aku memakan soto.
Pak Karta mendahului dan menyilakan kami semua makan. Tak banyak kata, semuanya makan dengan lahap. Acara selesai, ngobrol-ngobrol, beberapa pamong desa pamitan pulang, polisi setempat dan dinas keamanan hutan lindung juga pamitan. Tinggal aku dan Kang Mukhlis saja. Kang Mukhlis belum pamitan, pertanda dia masih ingin sedikit berlama bertamu.
”Aku sedikit menemukan titik terang, Dik,” Pak Karta seolah berbisik kepada Kang Mukhlis, tapi telingaku masih cukup kuat merekamnya.
”Sudahlah Kang, biarlah semuanya berlalu bagai waktu yang berjalan, seperti matahari yang tenggelam.”
”Kau ini kenapa Mukhlis! Kau tidak seperti dulu, kau sudah lupakah pada ba’iat perguruan? Aku yang tidak sampai tuntas menimba ilmu, masih kuat terngiang di hatiku.”
”Sudahlah Kang, itu dulu.”
Aku semakin bingung. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Di acara penyambutanku, mereka tak merasa bahwa aku ada di antara mereka? Kulihat ketegangan di antara mereka. Saling menatap, wajah Pak Karta seolah memohon, tapi wajah Kang Mukhlis tetap tegar pada pendiriannya seolah berkata, “Inilah jalan yang terbaik.”
Seorang wanita keluar dari dalam, dia memerhatikan kami bertiga terutama Pak Karta dan Kang Mukhlis yang masih berhadapan. Dia ikut terbengong, tangannya yang semula hendak mengambil piring-piring kotor terhenti. Terdiam, ruangan sepi, hingga desing angin pun akan terdengar.
Pak Lurah gelagapan, dia baru sadar kalau ada orang lain di ruangan itu. Dia menatap wanita itu, ”Tidak ada apa-apa, Nduk. Bereskanlah.”
Si Wanita berambut panjang itu cantik, lesung pipinya terlihat saat senyumnya merekah. Tangannya sigap, memunguti piring kotor dan menumpuknya. Rok panjangnya menjuntai penuh renda bunga, bajunya panjang hingga ke nadinya, senyumnya anggun, dan lakunya lembut. Dia diam saja, dan kami semua terdiam. Kini, wanita itulah yang bergerak dari satu piring ke piring yang lain.
”Baiklah Kang, kami pamit dulu.”
Pak Karta mengangguk, kami menyalaminya dan menuju sepeda kami. Sepeda terkayuh, aku sempat melihat wanita itu, dia juga melihatku, dia masih memunguti piring-piring kotor. Ada setitik getar, kala mata wanita itu menyorot teduh.
Dalam perjalanan pulang, kutanya banyak hal pada Kang Mukhlis. Wanita cantik itu adalah puteri ketiga Pak Karta. Anak pertama meninggal waktu lahir, yang kedua meninggal dunia saat ke hutan lindung, dimakan binatang buas. Sekalian, Kang Mukhlis memperingatkanku jangan pernah masuk atau ingin bermaksud masuk hutan lindung, di antara arah utara dan timur desa. Banyak binatang buasnya.
”Namanya Indah Isnaintri, dia adalah bunga desa Cahaya.”
Indah? Seindah wajah dan senyumnya yang begitu menentramkan. Bagai jutaan burung terbang, dan membawa raga hingga ke nirwana, bertemu dengan jutaan bintang penuh cahaya. Ah! Lamunan yang berlebihan.
”Kulihat kau tertarik padanya anak muda?”
”A..aku, tidak, tidak.”
”Terbaca! Anak muda jika diminta jujur, pasti tidak jujur. Dasar bujang-bujang zaman sekarang!”
Aku ingin menyangkal, tapi kulihat tawa kecil dari Kang Mukhlis, aku teramat senang. Belum pernah aku mendengarnya, atau karena sebenarnya Kang Mukhlis hanya mengalihkan perhatian saja terhadap kejadian di depan mataku tadi?
”Kang.”
”Ada apa, Rif?”
”Siapa lelaki yang memakai blangkon di kepalanya?”
Kang Mukhlis tiba-tiba mengerem kuat! Sepeda terhenti tiba-tiba. Wajah Kang Mukhlis berbalik kaget menatapku, kami bertatapan, desing angin malam dingin serasa menusuk-nusuk seluruh tubuhku.
Aku kira lelaki berkupluk blangkon itu adalah salah satu pamong desa, tapi melihat reaksi tiba-tiba dari Kang Mukhlis dugaanku menguap tiba-tiba.
”Apa yang dia lakukan padamu, Rif?”
”Dia mengancamku.”
Kang Mukhlis diam, dia berbalik dan mengayuh sepedanya kembali. Aku bingung, tapi tak bisa berkata banyak. Aku terus menunggu, kalau-kalau ada kata yang terucap dari mulut Kang Mukhlis. Atau kupasang telingaku dengan kuat, sekuat pendengaran maksimal, siapa tahu tiba-tiba Kang Mukhlis berujar.
Benar saja.
”Kuperingatkan padamu Arif, jangan berbuat aneh-aneh, turuti dia. Dia adalah dukun, dia juru kunci hutan lindung!”
Setelah itu, hanya desing angin yang terdengar. Bulan begitu indah bercahaya, ditemani ribuan bintang dan kelebat kelelawar serta suara lolongan serigala yang selalu terjaga di malam gelap. Seluruh misteri desa Cahaya semakin menantang bagiku.

Book Comment (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    12d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters