logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 17 Lukman Hakim

Persepsi dan semua anggapanku salah.
Kukira mereka memerhatikanku karena mereka takjub akan perkenalan pertamanya dengan guru barunya, kuanggap mereka terkesan dengan penampilanku, kusangka mereka menaruh perhatian besar. Nyatanya, mereka menungguku terjatuh dari kursi yang telah mereka susun jatuh, dipasang sebagai penyambutan meriah nan indah bagiku.
Aku keluar kelas, kepalaku berkunang-kunang. Sempat lagi kulihat Bu Siska melihatku, dan bukanlah senyum resah yang kudapat, melainkan senyum-senyum yang benar karena lucu. Dia menutup mulutnya, ada sedikit binar di mata lentiknya. Aku pun ikut tersenyum, sambil berlari menghindar.
Kucari toilet di belakang sekolah, di dekat kantor guru. Ketika melewati satu toilet untuk siswa, mataku terbelalak karena di sana antri sampai lima orang. Aku segera bertolak cepat menuju toilet guru, satu kamar dan di sana antri siswa empat orang. Aku mengambil di posisi nomor lima. Empat siswa di depanku, entah kelas berapa, mereka menengok ke arahku dan tertawa terbahak-bahak.
Menertawakanku?
”Apa yang kalian tertawakan?” wajahku kupasang seheran-herannya.
Mereka melihatku, dan tawa semakin meledak.
”Bapak ke masjid sana saja. Di sana juga ada air,” seorang siswi di barisan kedua melihatku, tangan kanannya menunjuk ke arah selatan dan timur, tangan kirinya menutupi mulutnya yang masih saja terdengar desis tawa ditahan.
Aku berlalu, bukan karena ingin segera mencari air. Tapi, karena tak tahan dengan tawa mereka. Aku menyeberang jalan onderlaag, melewati dua rumah yang jaraknya berjauhan dan tampaklah sebuah bangunan, masjid tapi tidak terlalu besar. Di atasnya kubah kecil dan ada tiang yang menggambarkan lekukan bulan sabit dan bintang di tengahnya.
Aku mendekatinya, berjalan di emperan masjidnya. Masjid ini terlihat bersih, aku menyusuri pinggir masjid, di depan sana terlihat tempat wudhu. Di kaca-kaca masjid itu, kulihat sejenak wajahku. Tuhan! Layak saja mereka tertawa terbahak-bahak, apalagi senyum kecil Bu Siska waktu melihatku tadi. Terang saja, rambutku awut-awutan, wajahku penuh sawang laba-laba, debu dan campuran kapur halus putih merebak merot-merot di wajahku. Benar-benar seperti hantu tak tertanggungkan, hantu tak diundang, hantu berbalut kulit yang pakaiannya compang-camping. Aku sendiri tertawa melihat bentukku di balik cermin. Kawan, jangan ikut kau tertawa, kumohon.
Aku menuju arah tempat wudhu, ingin kubersihkan wajahku. Saat mendekati tempat wudhu, kulihat amben beralaskan tikar di depan tempat wudhu. Mungkin digunakan untuk menunggu waktu shalat tiba oleh masyarakat sekitar. Aku mencapai tikungan ke arah tempat wudhu, dan karena terburu-buru, aku menabrak seseorang.
Orang itu hampir jatuh ke belakang. Aku menangkap tubuhnya, ringan.
”Terima kasih.”
Wajah kami bertemu, aku terkaget dan melepaskan tangannya. Dia terjatuh sempurna, aku mundur dan terpeleset hingga tubuhku jatuh di semen kasar pinggir masjid. Pantatku lagi-lagi sakit, seperti ambeien rasanya. Ini dua kalinya aku jatuh, mungkin jika tiga kali, habislah sekalian rasa sakitnya.
Lelaki kurus itu mengaduh. Aku memerhatikannya lagi, kawan, lihatlah ada tubuh begitu ceking, berbalut kulit saja tulangnya. Peci yang kumal dan berbarut putih-putih melekat di kepalanya, matanya yang hitam, dan mengerikan karena ada birut-birut menyeramkan di sekitarnya. Matanya, masya Allah, buta.
”Maafkan aku, Pak, saya kaget tadi.”
”Tidak apa-apa.”
Lelaki itu berdiri kembali, dia berjalan merambat di tembok. Kakinya menyeret, kurasa menghafalkan jejakannya. Tangannya meraih kain sarung di amben, dia hafal tempatnya, dipakainya. Masuk ke masjid, menyeret kakinya. Mulutnya terus komat-kamit tapi pelan. Kawan, aku merasa bersalah padanya. Kukira tadi hantu yang ingin menakut-nakutiku.
Lelaki itu, berjalan terus. Dia shalat.
Aku tersadar, aku segera membersihkan diriku di tempat wudhu. Saat di rumah kutanyakan tentang orang buta itu kepada Kang Mukhlis, apa yang terjadi di sekolah pertama kalinya menjadi guru tidak terlalu penting lagi. Aku tiba-tiba terobsesi ingin mengetahui tentang lelaki buta yang kurus itu.
Kang Mukhlis bercerita di depanku dan Syahid, lelaki buta itu bernama Lukman Hakim. Dia tinggal di desa Cahaya, sekitar empat tahun ini. Lelaki buta itu, tak tahu darimana dan kapan secara tepat waktunya datang ke desa ini.
Lelaki buta itu, tahu-tahu sudah berada di Masjid an-Nur. Ketika pagi hari, masyarakat desa dikagetkan dengan lelaki buta yang telah ikut shalat subuh. Kapan datangnya, yang jelasnya di malam gelaplah datangnya. Ketika ditanya, lelaki buta itu tidak tahu-menahu tentang asal-usulnya. Lukman hanya menjawab sesuatu yang membuat penduduk desa semakin bingung. Karena, jawaban Lukman, dia sedang menunggu cahaya.
Menunggu cahaya?
Dan, masyarakat sepakat, mereka bergiliran memberikan makanan kepada Lukman, dia tidak bisa bekerja sendiri di sini. Lukman diminta menunggui masjid, membersihkan semampunya, dan disediakan amben untuk tidur di samping masjid. Ketika diminta tinggal di rumah salah seorang warga, dia menolak karena menurutnya cahaya itu akan mendatangi masjid di mana dia tinggal. Lukman tidak mau terlewat, kala cahaya itu datang menghampirinya.
Hari minggu itu, aku dan Syahid mengantarkan makanan untuk Lukman Hakim, di Masjid an-Nur. Kami membawakan nasi beserta telur rebus, kutambah uang sisaku kubelikan kurma di pasar templek, pasar tradisional di perbatasan desa Cahaya, dekat dengan gerbang penelitian hutan lindung di ujung desa.
Aku sekaligus ingin meminta maaf padanya, tentang kejadian tempo hari. Kami naik sepeda, sampailah di depan masjid. Kami sampai waktu shalat ’Ashar, kami ikut bergabung shalat berjamaah. Segelintir orang, mungkin tujuh, dan Pak Yusuf salah satu di antara mereka.
Selesai shalat, saat keadaan telah sepi. Kulihat Lukman masih sibuk berzikir dengan butir-butir tasbih, bergerak berputar bagai perputaran bumi penuh keseimbangan. Pelan, syahdu, bibirnya yang pecah-pecah terus berirama, hanya hati dan Tuhannya yang paham.
Jemarinya berhenti memutar butiran tasbih, dia berbalik ke arah kami yang duduk di tengah. Di bawah lampu hiasan masjid yang indah bagai marjan, lazuardi, batu permata. Dia tersenyum dan mendongakkan kepalanya ke arah kami, matanya yang hanya terlihat putih tanpa ada hitam melingkar di tengahnya, terlihat jelas.
Syahid memberi isyarat kepadaku, kami mendekat.
”Pak Lukman, ini makanan dari Bapak.”
Lukman tersenyum, ”Semoga Kang Mukhlis selalu dilindungi Allah, kau bawa teman, Hid?” suaranya lembut.
”Ini guru baru di Sekolah, Pak, namanya Pak Arif.”
Pak Lukman seolah memerhatikanku, dia terpaku sejenak memandangiku, mungkinkah dia mampu melihatku? Pernah kudengar, jika seorang dekat dengan Tuhannya, maka mata hatinya akan terang seperti mempunyai indera keenam atau sejenisnya, atau seperti ilmu makrifat.
”Bapak mau kurma?” aku menawarkan kurma padanya.
”Itu makanan kesukaanku, sebagaimana Rasulullah Saw sering memakannya,” senyumnya mengembang.
Aku ikut tersenyum, kubuka plastik yang kami bawa. Salah satu kurma kuambil, kubuka dan sedikit kubersihkan dengan tanganku. Aku memisahkan isinya, aku ingin Pak Lukman tinggal memakannya saja tanpa menguliti isinya. Kukelupas hingga tinggal daging kurmanya saja. Saat akan kuberikan di tangannya, aku teringat kejadian kemarin saat aku menabrak dan menjatuhkannya. Sebagai permintaan maafku, aku ingin menyuapinya, kurasa itu lebih baik.
”Bukalah mulut Bapak,” lelaki itu sebenarnya belum terlalu tua benar, mungkin usianya tiga puluh limaan, atau berkisar di antaranya.
Lukman Hakim terdiam, tapi akhirnya membuka mulutnya sedikit. Aku menyuapinya, kutarik tanganku, dan lelaki buta itu mengunyah-ngunyah daging kurma itu. Ada kenikmatan terpancar dari raut wajahnya, dia pasti menikmatinya.
”Saya ke sini juga ingin meminta maaf kepada Bapak.”
Lelaki itu masih diam, sambil menikmati kunyahan kurma di mulutnya. Habis, aku menguliti lagi dan menyuapinya lagi. Dia mengunyah lagi, sambil tersenyum.
”Saya adalah orang yang menabrak Bapak tempo hari, yang membuat BaPak Lukman terjatuh.”
Lukman berhenti mengunyah. Wajahnya berubah aneh, kaget. Dia terdiam lunas, seolah tersedak atau menelan nyamuk yang terbang nyasar di mulutnya. Matanya yang putih terbelalak, tiba-tiba membesar dan menegang, syaraf-syaraf di sekitar wajahnya bermunculan. Syahid mundur satu langkah ke belakang, dia pasti ketakutan.
Aku gemetaran. Marahkah dia? Pasti, karena kudengar giginya gemeretakan, gemeretuk, gigi gerahamnya beradu. Kedut-kedut di sekitar mulutnya, kedap kian kemari berupa tonjolan-tonjolan. Wajahnya, raut wajahnya semuanya menegang. Aku gemetaran.
Satu gerakan cepat, lelaki buta itu bergerak ke arah kami seperti akan menerkam dan mencengkeram kami. Dan, Syahid menjerit dan berlari sejadi-jadinya. Aku yang masih gemetaran tak kuat bergerak karena kedua tangan berbalut kulit itu mencengkeram kedua pundakku kuat. Bagaimana mungkin cengkeramannya demikian kuat? Bagaimana mungkin? Aku tak bisa bergerak.
Aku semakin gemetaran, seolah tubuhku akan dilumat. Wajahnya semakin mendekat ke wajahku, kerutan di wajahnya tampak jelas di depan mataku, mata putihnya tanpa ada hitamnya bak biji kenari tampak mendekat sekian centimeter. Lunas, tubuhku bagai dilolosi tulangnya satu persatu.
Mulutnya mendekat, bergerak, membuka. Mulutnya mendekati pipiku, aku memejam. Jika harus mati, aku telah menemukan cahaya yang selama ini aku impikan. Tuhan, aku telah pasrah. Terdengar suara pelan, berbisik, serak, kemerosak.
”Kaulah Cahaya yang aku tunggu.”
Tak begitu jelas di telingaku. Tapi, Lukman melepaskan rengkuhan tangannya, aku bebas. Dan aku mundur, berlari pontang-panting. Aku terjatuh tergulung di undakan, aku sempurna tengkurap di tanah di bawah undakan. Wajahku penuh debu, Syahid telah menghilang, tapi sepedanya masih ada.
Kuambil dan kutendang standarnya, saat aku mulai mengayuh penuh ketakutan dan masih gemetaran, kudengar suara dari dalam masjid.
”Jika kau sudah paham datanglah padaku, akan kutunjukkan jalanmu.”
Aku semakin kuat mengayuh sepeda, kutemukan Syahid masih berjalan, dia memegangi perutnya. Pastinya terasa sakit dan kelelahan.
”Ayo naik!”
Syahid naik, ”Kukira aku tak akan bertemu Pak Arif lagi!” napasnya masih memburu. Kami pulang, dan di benakku tergambar semua kejadian. Aku masih bingung, Kawan, tapi mungkin suatu saat nanti aku akan paham. Entahlah, semuanya serba mengambang dan belum jelas.

Book Comment (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    12d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters