logo
logo-text

Download this book within the app

Beraksi Lagi

"Kirim nomor rekening Budhe Nur ya Wi." pesanku lagi.
"Iya Sin... Ini nomornya 666xxxxxxxxx"
Segera aku menyalin nomor rekening itu, lalu masuk ke aplikasi Mbank*** dan ku transfer sejumlah uang yang kurasa cukup untuk kebutuhsn mereka satu bulan.
"Sudah masuk Wi, kamu segera kabari Budhe, biar untuk membeli keperluan sekolah adikmu Wi." ku sertakan foto screnshoot dari aplikasi tadi.
"Ya ampun Sin, banyak banget kamu transfernya... Makasih banyak lho Sin, sekali lagi"
"Iya... Iya . Udah ah... Makasih terus dari tadi. Hehe"
*****
"Sin, besok Mas ada tugas keluar kota lagi, dua hari." Ucapnya di sela-sela sarapan.
Sudah satu minggu berlalu setelah percakapanku dengan Dewi. Aku memang sengaja tidak melakukan apa-apa dulu pada Mas Bagas, nunggu dia bertingkah lagi. Seperti pagi ini, dia kira aku tidak tau kalo dia sedang mencari cara untuk mengunjungi gund*k nya itu.
Tapi jangan salah. Selama satu minggu ini, setiap pagi setelah Mas Bagas ke kantor, aku selalu sibuk mengamankan beberapa aset yang kami punya.
Rumah, butik dan mobil memang sudah atas nama ku, karena semua itu di berikan Mas Bagas sebagai hadiah setiap unniversary pernikahan kita. Tapi untuk beberapa hektar tanah yang kami beli untuk investasi masa depan, masih atas nama dua orang, sebagian atas nama ku, dan sebagian lagi nama Mas Bagas, serta beberapa lahan yang tentu saja tidak di ketahuinya, yang aku beli dari hasil saham 20% pemberian dari papa.
Ya, Mas Bagas tidak tahu kalau perusahaan tempat Mas Bagas bekerja itu milik Papa. Karena setelah 3 tahun menikah dengannya, Papa dan Mama ternyata mendapatkan bagian warisan turun temurun dari kakek buyut Mama, berupa perusahaan itu.
Yang Mas Bagas tau, Papa hanya pemilik toko bangunan kecil di ujung desa sana.
Ya jelas kecil lah, orang yang itu cuma cabang ke 9 dari toko Papa. Kami memang sengaja tidak memberitahukan semua kekayaan yang papa miliki pada Mas Bagas.
Karena sebenarnya, dulu
Papa tidak terlalu setuju dengan pernikahan kami. Papa bilang beliau ingin menjodohkanku dengan anak sahabatnya.
Tapi berhubung waktu itu anak sahabat beliau masih kuliah di luar negeri, dan Mas Bagas yang bergerak cepat untuk serius, serta di barengi dengan giatnya rayuanku pada Papa, akhirnya Papa merestui kami. Dengan syarat Mas Bagas jangan sampai tau dulu semua aset kekayaan yang Papa miliki, karena Beliau belum sepenuhnya percaya.
"Biarkan dia tau kita keluarga yang sederhana dengan satu Toko Bangunan kecil, Papa nggak yakin sama dia."ucapnya waktu itu.
Dan akhirnya, sampai sekarang Mas Bagas hanya tau aku seorang anak pemilik toko bangunan kecil.
Karena rumah Papa yang memang sederhana, Mas Bagas pun tak pernah curiga.
"Iya Mas. Hati-hati ya disana, ingat istri dirumah. Jangan sampai macam-macam, apalagi selingkuh." Ancamku.
"Kesalahan apapun masih bisa aku maafkan kecuali kamu berhianat Mas." Pesanku yang juga berisi sindiran, berhasil membuatnya tersedak makanannya sendiri.
Uhuk. Uhuk..
"Eh. Pelan-pelan donk Mas , lagian kamu mikirin apa sih sampai kayak gitu gugupnya."
"Eng... Enggak Sin. Ya udah, Mas berangkat dulu ya." Pamitnya sambil mengulurkan tangannya untuk kucium seperti biasa.
"Hati-hati Mas." Pesanku lagi.
"Iya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah itu, aku langsung masuk ke kamar, untuk mengecek ponsel yang dari tadi bergetar di saku celanaku.

Dari Dewi...
" Aku sedang belanja di mall Sin, dan nggak sengaja, aku lihat pelak*r itu juga sedang belanja. Banyak banget belanjanya," Pesan pertamanya.
*Foto*
Astaghfirullohal 'adzim..
Bahkan pakaiannya pun sangat kurang bahan. Apa ini yang di sukai oleh Mas Bagas? Batinku.
"Makasih Wi. Tolong ikuti sebisamu, tetap kasih kabar aku ya."
"Baik Sin."
Aku langsung teringat untuk melihat saldo di ATM Mas Bagas lewat aplikasi di ponsel ku.
Untuk jaga-jaga saja, karena di ATM itu, adalah uang tabungan kami yang jumlahnya tidak sedikit.
Benar dugaan ku, ternyata uang yang ku kira aman di tabungannya, sekarang tinggal tersisa sedikit, bahkan tidak ada seperempat dari saldo awal.
Kami memang menyimpan uang di rekening Mas Bagas untuk tabungan masa depan, aku juga selalu menyimpan sebagian dari hasil butikku disana.
Sedangkan di rekeningku, hanya tersimpan uang untuk kebutuhan bulanan kami. Di tambah dengan uang dari hasil saham 20% yang baru aku dapatkan belum lama ini.
Tapi semua hanya tinggal angan-angan belaka.
Tabungan yang niatnya akan kami gunakan untuk membeli rumah lagi untuk untuk anak-anak kami kelak, kini sudah tak ada jejaknya.
Segera ku balas pesan Dewi.
"Benar Wi, bahkan dia belanja pakai uang di ATM Mas Bagas yang berisi uang tabungan kami. Sialan. Aku harus segera bertindak Wi." Balasku pada Dewi.
Segera ku ambil kunci motor butut pemberian dari orang tua Mas Bagas. Dan aku lajukan menuju Bank terdekat, tak lupa ku bawa buku tabungan dan segala keperluan untuk memblokir ATM Mas Bagas.
*******
Kring...kring...
Ku ambil ponsel di tas kecilku.
'Mas Bagas'
"Halo Mas," Sapaku.
"Halo Sin, kok kartu ATM ku nggak bisa di gunakan yah. Apa kamu yang memblokkirnya Sin?"
"Lho, mana aku tau Mas. Lagian buat apa sih kamu pakai ATM kamu? bukannya itu tabungan kita?"
"Eng... Enggak Sin, aku cuma mau ngecek saldo aja. Ya sudah dulu ya."
Tut tut tut....
Telfon di matikannya tiba-tiba... Ah. 'Kamu takut ketahuan juga ternyata Mas.' Batinku
Ting...
"Suamimu sedang bersama pelak*r itu Sin."
"Kalau kamu tidak sibuk, tolong awasi terus dia Wi."
"Ok. Aku kebetulan lagi libur ini." Balasnya membuatku lega.
******
Aku harus segera menyelesaikan kepemilikan semua aset yang kami miliki selama kami bersama.
Dan semua sudah beres. Tinggal dua hektar tanah di pegunungan sana yang masih atas nama Mas Bagas.
Aku harus segera cari cara.
Tiba-tiba aku kepikiran untuk meminta bantuan Papa.
Walaupun aku sudah di minta papa untuk mengurus perusahaan, tapi aku belum menerimanya. Karena aku kira cukup Mas Bagas yang bekerja di kantor, aku tinggal mengelola butik kecilku .
Tapi itu dulu. Mulai saat ini, sepertinya aku sudah harus belajar mengurus perusahaan itu dari Papa.
****
"Assalamu'alaikum Pa, bagaimana kabar Papa dan Mama? "
Aku anak semata wayang mereka, jadi aku harus ekstra memperhatikan mereka walaupun aku sudah menikah.
"Wa'alaikumsalam Sin, alhamdulillah sehat semua. Kamu sekeluarga gimana, sehat??"
"Alhamdulillah Pa, kami juga sehat. Pa, Sinta mau ngomong penting sama papa. Sepertinya, Sinta sudah siap belajar mengurus perusahaan kita." Ku utarakan tujuanku menelfon papa.
"Wah. Bagus Sin, Papa sudah menunggu saat-saat kamu siap mengurus semuanya. Lagian Papa juga sudah tua, Papa juga ingin istirahat bekerja, menikmati waktu berdua dengan Mamamu."
Aku terharu mendengar ucapan Papa, bahkan di usia beliau yang menginjak 56 tahun, masih saja romantis dengan Mama, bahkan ingin selalu berada di dekat Mama. Sedangkan aku, pernikahan baru 4 tahun saja sudah hampir kandas.
"Iya pa, besok pagi Sinta datang ke kantor ya."
"Iya Nak, besok Papa tunggu di kantor, Papa juga akan siapkan guru yang pas untuk kamu."
"Iya pa, makasih Papa."
"Iya sayang." Telfon oun di tutup.
******
Mas Bagas masih belum pulang, bagus lah, aku bisa leluasa masuk kantor ini tanpa harus bersembunyi.
Aku langsung menuju ruangan Papa.
Tok
Tok
Tok
Cklek...
Langsung saja ku buka pintunya , karena aku tau yang di dalam pasti Papa.
Tapi ternyata aku salah.
Seseorang yang duduk di kursi tamu itu langsung menoleh ke arahku.
"Kamu...........????"

Book Comment (239)

  • avatar
    Dhe Rumengan

    ceritanya bagus moga aja endingnya juga ..paling tidak ada pesan moral yg terkandung didalam ceritanya yg bermanfaat bagi pembaca..semangat ya thor..

    09/01/2022

      0
  • avatar
    Setyawati Setyawati

    Wow ? ?

    5h

      0
  • avatar
    NainggolanTiara

    bagus

    8d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters