logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

AWAL DARI KEMARAHAN

Satu bulan berlalu setelah kejadian pemerkosaan itu, dan sejak saat malam itu Nara tidak tahu dimana keberadaan Chrisyan. Nomor ponselnya sama sekali tidak aktif dan semua akun sosial medianya hilang begitu saja. Hal ini membuat Nara semakin terpuruk. Dia tidak tahu harus mengadu pada siapa lagi, kemana dia harus menceritakan semua kegelisahannya.
Kepergian Ben, kakaknya juga menciptakan kesedihan tersendiri baginya, tidak ada lagi yang bisa memahaminya di rumah ini jika Papah memarahinya. Tidak ada lagi yang akan membelanya lagi. Nasehat Ben yang selalu dia ingat untuk tidak terlalu mengambil pusing akan semua sikap keras Johan, karena pasti dia sebagai orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Setidaknya sampai saat ini, Nara mempercayai ucapan Kakak sulungnya itu.
Belakangan ini dia merasa jika tubuhnya terasa lesu dan sering mendadak pusing. Bahkan tidak sekali dua kali dia pingsan. Tentu Mamahnya khawatir dan selalu mendesak Nara agar memeriksakan diri ke Dokter, tapi dia selalu menolak. Alasannya, dia hanya kelelahan akibat mengikuti ujian seleksi beasiswa ke Amsterdam seperti impiannya.
Memang beberapa hari ini juga dia selalu sibuk belajar dan belajar, bahkan sampai lupa istirahat. Makan pun dia sangat jarang demi mencapai mimpinya. Dan satu hal lagi yang dia takutkan, jika sampai Papah tahu dia gagal dalam seleksi ini maka dia akan mendapat murka darinya.
Sikap otoriter dan keras Johan memang membuat ketiga anak-anaknya menakuti dia. Tidak segan memarahi dan membentak jika yang terjadi tidak sesuai seperti keinginannya. Pokoknya semua hal yang terjadi di rumah ini harus sesuai kemauannya, jika tidak maka amarah yang akan terdengar.
Huek. Huek. Huek. Semua orang yang tengah menikmati sarapan tiba-tiba terkejut saat mendengar Nara memuntahkan isi perutnya dan berlari menuju kamar mandi.
Prang! Johan melemparkan garpu dan sendoknya dengan kasar di atas meja hingga terpental di lantai. Sontak hal itu membuat Maya istrinya dan Alen, adik bungsu Nara kembali terkejut bahkan terperanjat dari kursi yang mereka duduki.
“Sudah berapa kali kukatakan! Aku tidak ingin ada kekacauan ketika sarapan!” Mata besarnya melotot sempurna, menyalurkan amarah yang menggebu-gebu bahkan tangannya terlihat gemetar. “Apa kau tidak paham juga Maya! Kenapa tidak membawanya ke Dokter!”
“Iya Pah, nanti Mamah akan bawa ke Dokter.” Jika suaminya itu sedang marah seperti ini maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Semuanya akan bungkam.
“Nanti! Nanti kapan?!” Maya kembali terkejut mendengar pekikan pria itu. Dia tahu sebenarnya niat suaminya ini baik, hanya saja cara penyampaiannya yang salah.
“Alen telepon Dokter sekarang.”
“Iya Pah.” Gadis mungil berambut panjang lurus itu segera beranjak dari kursinya dan berlari menuju meja telepon yang terletak persis di bawah tangga.
Satu jam kemudian seorang Dokter pria paruh baya sedang memeriksa keadaan Nara yang tertidur lesu di atas kasurnya. Wajahnya pucat dan bibirnya memutih, dia benar-benar tidak kuat walau hanya untuk berbicara.
Sesekali Dokter itu mengernyit bingung ketika dia memeriksa keadaan Nara. Dia terdiam sebentar lalu memeriksanya kembali. Untuk ketiga kalinya dia memeriksa dan akhirnya, Dokter itu benar-benar yakin dengan hasil pemeriksaannya.
“Dokter bagaimana keadaan putri saya?” tanya Maya yang terus berada di samping Nara sambil mengusap lembut rambutnya dan Johan yang berdiri di depan pintu memperhatikan semuanya dengan wajahnya yang kejam.
“Apa putri anda sudah menikah?” Maya mengernyit bingung dan menggelengkan kepalanya. Menikah bagaimana, dia saja baru lulus sekolah menengah atas dan baru mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di Amsterdam.
“Belum Dokter. Nara baru saja lulus sekolah. Dia belum menikah. Memangnya ada apa?” Maya berusaha memperjelas apa maksud ucapan Dokter itu, di abenar-benar tidak paham.
Dokter itu tampak bingung harus menjelaskannya bagaimana, karena dia tahu jika kabar ini bukanlah yang mereka inginkan.
“Boleh kita berbincang di luar saja?” Dia mulai merapikan alat-alatnya dan mengemasnya ke dalam tas yang selalu dia bawa.
“Baiklah, mari Dokter.” Maya tahu jika Dokter ini ingin berbicara sesuatu yang serius.
“Kamu istirahat yang banyak ya, jangan terlalu kelelahan.” Dokter itu menepuk punggung tangan Nara yang tergeletak begitu saja di atas kasur dengan lemas. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain tersenyum tipis. Rasanya perutnya seperti di kocok dan selalu ingin mual.
Maya mempersilahkan Dokter pria itu untuk duduk di sofa ruang tamu. Lalu dia ikut duduk di hadapan sang Dokter dan suaminya di sofa tunggal.
“Ada apa Mah? Bagaimana keadaan Nara.”
“Sepertinya ada yang ingin di sampaikan Dokter pada kita.” Dia menatap suaminya itu dengan penuh was-was, berita apa yang akan di sampaikan oleh Dokter. Apakah ingin menyampaikan jika Nara mengidap penyakit keras. Ah tidak mungkin, anak gadisnya itu baik-baik saja selama ini bahkan tidak pernah melihat ataupun mendengar dia mengeluhkan sesuatu.
“Hal apa yang ingin anda sampaikan Dokter.” Johan menatap Dokter yang sudah bersiap untuk berbicara hal penting itu. dengan sekali tarikan nafas dia mengatakannya.
“Begini Pak, sudah tiga kali saya memeriksa ulang keadaan putri Bapak. Dan kali ini saya benar-benar yakin jika analisa saya tidak salah, jika putri Ibu dan Bapak sedang hamil.”
Bagai tersambar petir di siang bolong, jantungMaya hampir saja copot dari tempatnya begitu pun dengan Johan. Air mukanya langsung berubah saat itu juga. Mereka tidak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Dokter itu bahkan Maya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Dokter jangan bercanda. Bagaimana mungkin putri saya hamil, dia belum menikah.”
“Saya harap juga begitu tapi sayangnya itulah hasil pemeriksaan. Jika Bapak dan Ibu tidak yakin, boleh bawa putri anda ke rumah sakit untuk tes darah agar kita tahu kebenarannya.”
Seketika dunia mereka mendadak gelap, bahkan Johan sudah tidak dapat menutupi kemarahan dalam dirinya. Maya tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya itu, sesuatu yang mungkin tidak terbayangkan oleh siapapun.
“Baik Dokter terimakasih atas kedatangan anda. Saya permisi.” Ucapan penutup dari Johan benar-benar membuat Maya kalang kabut, apalagi saat melihat suaminya itu meninggalkan ruang tamu dan berjalan naik menuju kamar Nara. Sesuatu yang buruk akan benar-benar terjadi di sini.
“Baiklah jika begitu, saya permisi Bu Maya.”
“Ya ya. Terimakasih Dokter.”
“Saya mungkin tidak tahu apa yang terjadi, tapi harapan saya anda sebagai orang tua harus tetap berada di sisi anak-anak apapun yang terjadi. Permisi.”
Ucapan Dokter itu membuat pukulan tersendiri baginya, dia tidak pernah bisa menjaga anak-anaknya dari kemarahan Johan. Dia hanya bisa menenangkan suaminya itu tapi tidak bisa menghentikan amarahnya.
***

Book Comment (314)

  • avatar
    Imagirl

    good novel, dah gak bisa berword" lagi saya. 👍🤩

    04/04/2022

      0
  • avatar
    ElizaNova

    bgus baget

    9h

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters