logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 9 Gosip (1)

Sebelum tidur, Sheril keluar kamar untuk membuang sampah bekas makan malamnya. Ia juga mengambil air minum.
Malam ini ia enggan untuk mandi. Ia pun memutuskan untuk cuci kaki dan tangan saja serta menggosok gigi. Sheril menatap pantulan wajahnya di cermin yang ada di kamar mandi. Lalu, ia mencuci muka.
Selesai dari kamar mandi, ia kembali ke kamarnya. Kini ia berdiri lagi di depan cermin yang tingginya seukuran badan Sheril, 167cm. Rambutnya yang sebahu disisir hingga rapi. Kulit wajahnya yang putih kemerahan dengan dua tahi lalat di bawah matanya diolesi pelembab sebelum tidur. Sheril terdiam, ia teringat apa yang dikatakan Tedi.
"Apa aku salah?" gumamnya pada pantulan dirinya di cermin.
"Udah benar, kok. Aku nggak boleh pacaran." Sheril menepuk-nepuk pipinya.
"Jomblo ini pilihan untuk menikmati kebebasan," gumamnya lagi.
"Ah, tapi sayang. Tedi ganteng kalau ditolak," gumamnya.
"No, Sheril. Akan ada banyak masalah kalau kamu pacaran." Sheril menunjuk dirinya yang ada di dalam cermin, lalu menggelengkan kepala.
Sebelum tidur, Sheril meraih ponselnya lalu mengetik sebuah pesan kepada atasannya, Davin.
[Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya Sheril Lavia mau meminta izin untuk cuti setengah hari di hari esok.]
Setelah puas menimbang-nimbang kata, Sheril menekan tombol send. Ia menghela napas lega.
"Besok harus dapat kamar kosan, biar aku bebas." Sheril mengepalkan tangannya. Ia mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian tidur. Lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa ranjang itu.
Keesokan harinya. Kegiatan Sheril di setiap pagi sepertinya sudah terjadwal. Bedanya, kali ini setelah mandi dan merias diri, Sheril berangkat untuk mencari kosan.
Sheril mematut diri di depan cermin cukup lama. Setelah yakin bahwa dirinya sudah rapi, Sheril berjalan keluar dari kamarnya.
"Loh, kok tumben pakai baju biasa. Nggak kerja?" tanya Fika.
Sheril menoleh dari ambang pintu kamarnya. "Aku bekal baju, kok," ucap Sheril sambil mengacungkan tas yang tersampir di pundak kirinya.
"Tapi tumben banget, loh, pakai baju rapi gitu. Apa ada acara lain sebelum kerja?" tanya Fika.
Kedua anaknya sedang asyik menikmati nasi goreng yang dibuat oleh Sheril. Televisi dibiarkan menyala tanpa ditonton. Menampilkan acara gosip selebritis di pagi hari.
"Tidak juga."
"Tapi kenapa kamu pakai rok selutut?"
Seril terdiam sejenak, ia mengambil sepatu dari rak sepatu. Sepatu putih yang selalu Sheril pakai untuk kerja. Ia memiliki dua sepatu yang sama, keduanya bergantian di cuci dan di pakai.
"Sher. Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Fika.
Sheril yang sudah berjalan ke arah pintu keluar itu menoleh ke arah Kakak iparnya. "Aku mau cari kosan," ucap Sheril. "Aku berangkat kerja dulu, Kak."
Sheril yang sedang memakai sepatu di ambang pintu pun mendengar berita di pagi itu. Ibu-ibu langsung ramai membicarakannya.
"Aduh, yang semalam diantar anak cowok!" seru seorang ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling.
"Eh iya, Nak Sheril di antar Tedi, ya?" celetuk ibu yang satunya lagi sambil menoleh ke arah Sheril.
"Sekarang nggak jomblo lagi, kan?"
"Biasanya yang baru mengenal cowok, pergaulannya harus diawasi."
"Eh nggak gitu, Say. Sheril kan sudah dewasa!"
"Ih, Jeng. Dewasa itu bukan karena umur. Lagian, anak kalau baru mengenal cinta, beuh pergaulannya!"
Duh. Sheril menggerutu dalam hati. Baru saja ia berjalan lima langkah dari rumahnya, ucapan tetangga itu akan menyebabkan perang besar anatara dirinya dan Reza.
"Benar itu, Sher?" tanya Fika yang entah sejak kapan ada di ambang pintu.
Sheril lagi-lagi merutuki tingkahnya. Kenapa ia malah diam saat ibu-ibu itu bertanya? Gawat.
"Kakak nggak ngizinin kamu cari kosan!"
"Wah, Nak Sheril mau cari kosan?" tanya ibu-ibu yang sedang belanja. "Nak Fika, jangan biarkan anak gadis ngekos seorang diri, bisa gawat. Nanti pergaulannya semakin bebas!" seru ibu itu dengan nada mengejek.
Sheril mendengkus kesal. "Bu Tian, kan, punya anak perempuan juga!" Ia menoleh ke arah Fika. "Pokoknya aku mau ngekos!" tegas Sheril. Ia berjalan sambil mengepalkan tangan, menyusuri gang 14 yang sudah ramai.
Mulut pedas melebihi sambalado jengkol itu masih berkicau seperti burung kenari. Gosip tentang dirinya menyebar sepanjang jalan gang menuju gang sepi.
"Selamat pagi, Bu Tini!" sapa Sheril pada wanita bergincu merah.
Wanita yang dipanggil Bu Tini itu menoleh, lalu tersenyum sekilas. Senyum yang dipaksakan terlihat ramah. Lalu ia mendelik sambil melanjutkan perbincangannya yang seru pagi ini.
"Pagi Nak Sheril!" sapa penjual bubur.
"Pagi, Pak!" jawab Sheril dengan senyum ramah seperti biasa.
"Apaan sih, Bapak. Pake sapa anak itu segala!" celetuk wanita berdaster yang berdiri di sampingnya.
"Ibu juga tadi di sapa duluan kan sama Sheril."
"Tau, ah!" Wanita itu beranjak pergi dari suaminya. Raut wajahnya terlihat dongkol sekali saat memasuki rumah.
Sheril mengepalkan tangan, berusaha seramah apapun sikapnya, ia tak bisa menyumpal mulut yang sedang berkicau membicarakan dirinya.
Di ujung gang, Sheril bertemu Tedi. Pria itu menguncir rambutnya lalu berjalan ke arah Sheril.
"Pulang malam lagi? Aku jemput, ya!"
"Nggak usah lah, Ted," jawab Sheril. Ia hanya berhenti sejenak, lalu berjalan lagi. Tedi mengikutinya dari belakang.
"Kok nggak usah?"
Sheril menoleh, ia berhenti di ujung gang 14 itu. Sambil berpangku tangan, Sheril menghela napas panjang. "Kamu senang ya, lihat orang susah?" tanya Sheril.
"Loh, kok?"
"Kamu tuh nggak peka, ya. Aku sudah berusaha supaya nggak ada masalah, tau sendiri kan? Apa yang dibicarakan penduduk sini tentang aku?"
Tedi terdiam, keduanya berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga langkah. "Maaf," gumam Tedi.
"Itu alasannya aku nggak mau dijemput atau diantar kamu!"
Tedi menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke arah Sheril. "Sher, kalau sudah begini situasinya. Lebih baik kita pacaran beneran kan? Dari pada cuma gosip!"
"Gila kamu, ya!" gerutu Sheril. Ia segera pergi meninggalkan Tedi, memasuki gang sepi.
Setibanya di pertengahan gang sepi, Sheril menghentikan langkahnya. Lemas sekali kaki untuk melangkah, kini ia pun berpegangan pada tembok yang ada di samping kirinya.
Drrrt!.
Ponsel Sheril bergetar. Sheril mengambil ponsel yang disimpan di saku roknya. Dari layar depan, Sheril mengetahui siapa yang mengirimkan pesan sepagi itu.
[Jangan dengarkan omongan orang, kamu tetaplah kamu. Sejelek apapun orang membicarakanmu, kamu orang yang kuat telah berada di garis ini untuk bertahan.]
Sheril terdiam, pesan itu dikirim akun Alnonim padanya. Ia seolah tahu apa yang dialami Sheril.
[Kamu berada di antara para ibu-ibu, pagi ini?]
Sheril duduk sambil mengetik pesan. Ia mengambil napas untuk menenangkan diri.
[Tidak.]
[Aku di belakangmu]
Sheril membaca dua pesan yang dikirim Alnonim. Ia pun perlahan berdiri, lalu menoleh ke belakang.
Gang sepi itu terlihat seperti cerobong, sepi sekali. Sheril merasa lega setelah tidak mendapati siapa-siapa di belakangnya. Ia pun bersyukur karena Tedi tidak mengikutinya sampai sini.
[Lelucon macam apa itu? Bikin takut!]
Balas Sheril, ia terkikik geli.
[Ini kisah romance, bukan horor. Jadi jangan takut!]
[Aku nggak takut karena ini siang.]
Sheril berbalas pesan sambil berjalan.
[Kalau malam, berarti takut?]
[Iya, lah! Masa bilangnya ada di belakangku, tapi pas dilihat orangnya nggak ada!]
[Ceritanya, mood kamu sudah membaik, nih?]
[Sheril mengirim stiker datar]
[Bete banget.]
Balas Sheril. Ia menyimpan ponselnya kembali ke saku rok. Lalu menyebrang jalan untuk ke halte bus. Sesampainya di kursi tunggu, Sheril merogoh ponselnya lagi.
[Kalau mau marah, marah aja. Aku akan dengarkan. Mau aku telepon?]
Sheril mengerutkan kening, lalu jarinya kembali menekan tuts keypad untuk membalas pesan.
[Memang kamu tahu nomor teleponku?]
Begitulah balasan yang Sheril ketik. Ia menebak, kalau Alnonim akan meminta nomor ponselnya. Namun, getaran ponsel membuat Sheril kembali kaget. Sebuah panggilan masuk terpampang di layar ponselnya dengan tulisan 'nomor privasi'.
Sheril bingung, apa harus ia mengangkat panggilan itu. Takut sekaligus penasaran. Sambil memejamkan mata, Sheril mengangkat teleponnya.
"Selamat pagi!" ucap suara berat nan renyah di ujung telepon. Suara yang sekali dengar akan terngiang-ngiang di telinga dan membuat Rindu sekaligus menenangkan.
"Ya. Maaf, anda siapa? Tahu nomor saya dari mana?"
"Haha." Gelak tawa itu, menumbuhkan rasa kesal di hati. Membuat kepala Sheril penuh dengan berbagai pertanyaaan.
"Aku Alnonim. Dari mana aku tahu nomormu, itu nggak penting," jawab di ujung telepon.
Sheril terdiam sejenak, otaknya mengingat-ingat kemungkinan. Sebuah kemungkinan yang tidak Sheril sadari.
'Apa aku pernah memberikan nomor? Perasaan nggak pernah, deh. Yang tahu nomorku cuma kak Fika dan kak Reza. Selain itu, teman kerja dan Pak Davin cuma tau akun Talkway. Meski pakai nomor ponsel, tapi nomornya berbeda.'
"Halo, apa kamu masih di sana?" tanya suara di ujung telepon.
Sheril mengakhiri lamunannya, dengan gugup ia menjawab, "Ya?"
"Bukannya kamu ingin marah?"
"Siapa yang mau marah?" tanya Sheril.
Bus yang ditunggu tiba, Sheril memasang earphone untuk melanjutkan teleponnya. Ia mulai memasuki bus dan duduk di kursi kedua dari pintu depan.
"Jadi? Hari ini mau cari kosan? Aku bisa memberitahumu kosan yang bagus."
Sheril kembali terdiam. Ia tak pernah membahas ini dengan Alnonim, tahu dari mana? Sheril merutuki dirinya yang pelupa itu.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Sheril. Ia menyerah untuk mengingat.
"Rahasia~" bisiknya. Sheril pun cemberut, tangannya mengepal keras, hatinya mengumpat banyak ke lawan bicaranya itu.
"Kalau boleh, aku saranin kamu cari kosan di distrik 8, gang 24. Di sana ada kamar kosong, tempatnya dekat sekali dengan tempatmu kerja saat ini," ucap Alnonim di ujung telepon.
Sheril turun dari bus, ia tidak mampir ke tempat kerjanya. Melainkan berjalan ke alamat yang disebutkan Alnonim. Tanpa mematikan sambungan telepon, Sheril menyusuri gang 24.
Sekitar lima puluh langkah menyusuri gang 24 dari jalan raya, Sheril terpaku menatap tulisan di selembar kertas yang tertempel di dinding bangunan. Bangunan itu berlantai dua, mirip sebuah kosan.
Tulisannya jelas sekali. 'Sisa satu kamar untuk disewakan. Hubungi Talkway di 090 097 956 03'
"Anon?"
"Ya?" jawab di ujung telepon.
"Kamu benar!" teriak Sheril.

Book Comment (824)

  • avatar
    Carlos Santaro

    best plot story ever

    09/05/2022

      0
  • avatar
    zunzun

    penasaran bangetttt sama ceritanya.. tiap hari selalu cek apa udah update belum.. secepatnya mungkin ya.. soalnya bikin penasaran banget sama ceritanya sheril.. 😍😍🥰🥰

    28/12/2021

      1
  • avatar
    MimiAzli

    sorg pmpn yg jomblo..disukai tiga pria.

    27/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters