logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 8 Pulang Bersama?

Sheril segera memasukan kembali ponselnya, ia tidak mengecek waktu pesan itu terkirim atau pun berniat membalasnya.
"Makasih makanannya, enak sekali. Tapi mangkoknya aku nggak tahu harus balikin ke siapa?" Sheril menyerahkan mangkuk bekas itu kepada Tedi.
"Biar aku yang bawa, aku memasak makanannya untukmu. Meski dibantu ibu, karena takut rasanya tidak enak."
"Enak, kok. Makasih, ya!"
"Syukurlah kalau kamu suka."
"Um. Setiap malam kamu pulang sendirian?" tanya Tedi ia berjalan di samping kanan Sheril. Tangan kirinya dimasukan ke dalam saku hoodie-nya. Sementara tangan kanannya membawa tote bag berisi mangkuk miliknya.
"Tidak. Dia pulang denganku mulai hari ini!" tegas Vero yang baru saja tiba di sisi kiri Sheril.
Sheril diam, ia bingung harus berkata 'iya' pada siapa.
"Kamu jangan jemput atau tunggu dia lagi!" tegas Vero.
Tedi menoleh ke arah Vero. "Maksudmu apa? Suka-suka aku, lah!" ucap Tedi tak mau kalah.
"Sheril itu pulangnya sama aku. Kamu nggak berhak jemput dia!"
"Yang jemput dia itu aku, kenapa kamu melarang!"
"Kamu siapanya Sheril? Berani-beraninya jemput Sheril."
"Aku? Orang yang suka sama Sheril. Lagipula aku tetangganya dia. Lah, kamu siapa? Beraninya melarangku jemput Sheril?"
"Aku orang yang akan melindungi Sheril! Jadi, jangan berani dekati dia!"
Vero berdiri saling berhadapan dengan Tedi. Tangan mereka mengepal, seolah siap meninju satu sama lain.
Sheril yang sudah melangkah lebih dulu pun menoleh ke arah dua pria itu. "Aku pulang sendiri saja!" teriak Sheril. Ketiganya sudah tiba di halte bus. Kebetulan saat itu bus yang akan ditumpangi Sheril sudah tiba dan berhenti.
Vero dan Tedi menoleh ke arah Sheril bersamaan. Saat itu, Sheril sudah memasuki bus. Kedua pria itu tidak punya kesempatan untuk naik bus bersama Sheril, akhirnya mereka berlari mengejar bus. Namun mereka tak mampu menghentikan bus yang sudah melaju itu.
"Sial!" umpat Tedi sambil jongkok. Ia menghirup udara dengan cepat karena lelah berlari.
"Arg!" Vero mengeram.
"Semua gara-gara kamu!" ucap keduanya bersamaan. Telunjuk mereka saling menunjuk satu sama lain. Beberapa menit kemudian, keduanya kembali berteriak frustasi.
Vero meraih ponselnya, ia menelepon seseorang untuk menjemputnya. Selesai Vero menelepon, suara motor berhenti di depan Vero. Tedi naik motor temannya sambil memamerkan tanda jempol dan memutarnya ke bawah.
Kembali Vero menggeram. Ia merutuki segala yang terjadi hari ini.
"Brengsek!"
Sheril yang sudah berada di dalam bus itu merogoh kembali saku celananya. Ia mengambil ponsel.
[Anon.]
[Ya, Sher.]
[Maaf aku meninggalkanmu!]
Begitulah balasan Sheril pada akun bernama Alnonim.
Di tempat lain. Pria yang sedang berkutat di depan komputernya, ia menautkan alis tebalnya. Matanya yang diterpa cahaya komputer itu menyipit. Senyum tersungging di bibirnya.
[Tidak masalah.]
[Anon!]
[Ya?]
Sheril mulai gelisah. Kini ia berjalan sendirian menyusuri gang sepi. Pendengaran ia fokuskan. Ada rasa kesal karena Tedi tidak membersamainya. Juga tidak bisa menanyakan kebenaran bahwa Alnonim adalah akun Tedi.
[Apa kamu takut?]
Pesan masuk menyadarkan Sheril. Ia kembali berkutat dengan ponselnya.
[Tidak.]
[Em, sepertinya iya.]
Dua pesan itu ia kirim. Tangannya masih menari di atas keypad.
[Anon. Nama Aslimu siapa?]
Pesan itu terkirim. Beberapa detik kemudian pesan itu bercentang merah, tanda bahwa pesan sudah dibaca. Namun, lama Sheril menunggu, Alnonim tak kunjung membalasnya.
"Sheril!" seru suara pria dari arah belakang.
Sheril menoleh. Ia mengenali suara itu. Suara berat yang tak bisa dilupakan, itu adalah suara Tedi.
"Aku kira kamu tak akan menyusul!"
Setelah turun dari motor, ia berlari menghampiri Sheril. Sheril menatap Tedi yang berjalan ke arahnya dengan diterangi lampu jalan. Temannya Tedi yang mengendarai motor itu mengikutinya dari belakang dengan laju motor sangat pelan.
"Mana mungkin. Kenapa kamu meninggalkanku?"
"Maaf." Kata itu yang bisa Sheril ucapkan. Ponselnya berdering, tapi Sheril tak melihat ponselnya. Ia malah menyimpan ponsel itu ke dalam saku celananya.
"Ted. Apa kamu punya akun Minsta?" tanya Sheril.
"Ya, punya. Kenapa?"
"Nama akun Minsta-mu, apa? Apa kamu ada di antara seratus followers aku?"
"Hei. Satu-satu nanyanya." Tedi kelimpungan. "Aku pakai namaku …."
"Oh!" Sheril berseru.
"Kenapa, Sher?"
"Tidak. Maaf aku sudah salah sangka."
Tedi mengangkat kedua alisnya, memberikan kerutan di dahinya yang mulus.
Ketiganya sudah sampai di ujung gang sepi. Pria yang mengendarai motor 250cc itu menepi di halaman rumah Tedi, sementara Tedi masih mengikuti langkah Sheril.
"Ted. Terima kasih sudah menunggu sampai aku pulang dan menemani pulang. Tapi, bisakah hanya sampai sini?" Sheril menghentikan langkahnya.
"Kenapa?"
"Um. Aku tidak suka menambah gosip warga sini."
"Maafkan aku, tapi …."
"Maaf, Ted. Dan terima kasih," ucap Sheril sambil beranjak pergi.
Tedi berjalan di belakang Sheril. Ia tidak ingin kehilangan sosok wanita yang sudah merebut kursi kosong di hatinya itu.
"Ted. Aku bilang, berhenti di sini."
"Sheril. Aku mau bertanya beberapa hal …."
"Aku sudah ngantuk, besok saja."
Gang di komplek tempat tinggal Sheril itu masih ramai meski waktu sudah menunjukan pukul 10.15 malam.
"Sher. Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Tedi sambil menahan tangan Sheril.
Sheril terdiam, ia tak bisa melepaskan tangan kanannya yang dicengkeram Tedi. Ia hanya bisa berdiri membelakangi pria itu.
"Um, Ted. Aku … aku sudah punya pacar," ucap Sheril.
"Benarkah?" Tedi melepaskan tangan Sheril. Meski keduanya hanya diterangi lampu jalan, Tedi dapat melihat kalau Sheril mengangguk. "Ah, aku lupa. Wanita secantik kamu mana mungkin belum punya pacar. Maaf, ya. Tapi aku tetap menyukaimu."
Sheril menoleh, ia hanya bisa tersenyum. Ia sebenarnya tidak memiliki pacar, ia juga tidak mungkin berkata 'tidak punya pacar'. Sheril tahu, akan rumit jika dia menjawab belum punya pacar.
"Sher. Aku tak akan menyerah selama dia hanya jadi pacarmu," ucap Tedi dengan tegas. "Aku bisa jadi temanmu, kan?" tanya Tedi. Ia memalingkan wajah, sebenarnya ia pun takut untuk penolakan kedua.
"Kamu tetap tetangga dan temanku. Selamat malam, Ted." Sheril melepaskan genggaman tangan Tedi, ia membungkuk, lalu pamit pergi.
Tedi terdiam di tempatnya. Ia menatap Sheril yang menjauh, lalu hilang di tikungan. Tedi menghela napas kasar, ia menengadah ke arah langit, lalu mengusap wajahnya sambil menggeram frustasi.
"Kenapa, Ted?" tanya temannya yang membawanya naik motor tadi.
"Oh, tidak, Cris." Tedi berjalan menghampiri temannya. Ia pun masuk ke dalam rumah.
Sheril berjalan sambil fokus menatap tanah yang hanya diterangi lampu jalan. Dilema, itulah yang ia rasakan. Tak mungkin ia memiliki pacar, sementara Reza dan Fika tidak menyetujui jika Sheril memiliki pacar.
"Selamat malam," ucap Sheril sambil membuka pintu.
Rumah itu sepi, lampu di dalam rumah sudah dipadamkan semua. Namun, pintu utama tidak dikunci. Sheril segera masuk lalu mengunci pintu. Ia berjalan menuju kamarnya, lalu menutup pintu.
Sheril duduk di atas kasur. Tas selempang kecil yang selalu ia bawa itu dibukanya. Ada beberapa roti dan cemilan untuk mengganjal rasa laparnya itu karena tidak makan malam.
Sheril teringat dengan ponselnya. Ia membuka pesan dari Alnonim yang belum dibacanya.
[Namaku Alnonim]
Sheril mencebik. Ia melempar ponselnya ke atas kasur. Lalu, ia melahap makan malamnya.

Book Comment (824)

  • avatar
    Carlos Santaro

    best plot story ever

    09/05/2022

      0
  • avatar
    zunzun

    penasaran bangetttt sama ceritanya.. tiap hari selalu cek apa udah update belum.. secepatnya mungkin ya.. soalnya bikin penasaran banget sama ceritanya sheril.. 😍😍🥰🥰

    28/12/2021

      1
  • avatar
    MimiAzli

    sorg pmpn yg jomblo..disukai tiga pria.

    27/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters