logo
logo-text

Download this book within the app

bab 12

KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN
BAB 12
"Bu Ida bangun, Bu, ..." begitu yang kudengar saat suara keras itu sudah membuyarkan keterkejutan para tamu, ternyata Bu Ida pingsan.
Dalam sekejap, orang-orang sudah berkerumun, melihat Bu Ida yang sudah tak sadarkan diri, mereka berusaha menyadarkan Bu Ida, tapi Bu Ida tidak juga bangun.
"Bu Ida ini gimana sih, Riri yang jadi orang kaya kok dia yang semaput," seloroh Mbok Jum salah satu tetanggaku. Ucapan Mbok Jum disambut gelak tawa dari para tamu.
"Mari Ibu Riri Novianti Wicaksono, silahkan naik keatas panggung, dan sambut kedua orangtua kandung Ibu Riri," ucapan pembawa acara menghentikan gelak tawa yang riuh dari para warga.
Sementara aku masih tak menyangka jika aku tidak bermimpi, aku menoleh ke arah Citra dan ternyata Citra sudah menatap haru kearahku, begitu juga dengan Bu Tiar, sementara itu Zahra masih diam karena tidak paham dengan apa yang sudah terjadi.
"Cit, " ucapku memanggil nama Citra, masih kurasakan tanganku gemetar saat mencoba memegang tangan Citra.
"Naiklah Ri, mungkin sudah saatnya Tuhan menaikkan derajat keluargamu, kita tidak pernah tahu apa rencana terbaik yang Tuhan kasih untuk kita, " ucap Citra bijak padaku. Sebelum aku memutuskan untuk naik keatas panggung, aku terlebih dahulu memeluk Citra, sahabat sejati, yang sudi menemaniku disaat hinaan dan cacian menerpa keluargaku. Hanya dia yang masih mau menjadi teman terbaikku bahkan sudah kuanggap sebagai seorang kakak.
"Naiklah, orang tua kandungmu sudah menunggu," aku mengangguk, ku tuntun tangan Zahra untuk menuju panggung.
"Bu, kok kita naik keatas, Bu? " tanya Zahra dengan polosnya padaku.
"Iya sayang, kita mau nemuin Nenek dan Kakek, yuk naik keatas. "
Setelah sampai di atas panggung, baru aku bisa melihat dengan jelas wajah kedua orang tua kandungku ini, dan memang benar ada kemiripan di wajahku dari mereka berdua, terutama Ibu Intan, sungguh sangat mirip sekali mukaku ini dengannya, dan di usianya yang sudah senja tidak juga menghilangkan kecantikan itu dari wajahnya.
Ku tatap wajah Ibu Intan dan Bapak Hadi dengan tatapan haru, tanpa terasa air mataku sudah mengalir deras, begitu juga dengan Ibu Intan dan Bapak Hadi, mereka pun mungkin sama terharunya denganku karena setelah sekian lama akhirnya bisa berjumpa denganku anak mereka satu-satunya.
"Selamat datang di keluarga kami sayang, Mama gak nyangka jika sekarang kita bertemu, Mama pikir, selamanya Mma tidak akan berjumpa lagi denganmu, " ucap Ibu Intan dengan berlinang air mata.
"I, iya Bu. "
"Mama Sayang, panggil aku Mama, dan ini Papa, karena kami memang orang tua kandungmu, sini Sayang, Mama rindu ingin peluk, boleh? " ucap Mama minta persetujuanku, dan aku mengangguk tanda setuju, aku, Mama dan Papa akhirnya saling berpelukan, pelukan yang sudah lama aku inginkan. Pelukan yang tak pernah aku dapat dari orang tua angkatku dulu.
"Ibu pelukan kok gak ngajak Zahra, " celotehan Zahra membuat aku, Mama dan Papa pun seketika menoleh ke arahnya, lalu kami semua tertawa, kami sampai lupa kalau ada Zahra disini.
"Hahahaha, Cucu Opa, pintar sekali, mau dipeluk juga? " tanya Papa pada Zahra.
"Mau dong, emang Kakek ini Opa nya Zahra ya? "
"Iya dong sayang, mulai sekarang panggil aku Opa ya, " ucap Papa sembari menggendong Zahra dan mencium pipinya gemas.
"Baiklah, untuk semua para tamu undangan dan para warga kampung Ramai tentunya. Saya Hadi Wicaksono mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kalian semua, karena sudah sudi untuk datang ke acara hari ini, saya selaku orangtua dan pemilik pabrik ini menyatakan bahwa mulai hari ini, pabrik gula yang baru dibangun ini saya serahkan untuk putri saya satu-satunya yakni Riri Novianti Wicaksono. Dan sebagai rasa syukur saya atas dipertemukannya kami kembali, kalian boleh makan apapun yang sudah disediakan di meja, silahkan dicicipi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Semoga pabrik gula yang akan di pimpin oleh Riri akan maju dan berkembang, sehingga bisa memberi lowongan pekerjaan bagi yang membutuhkannya, Terimakasih, dan selamat menikmati," Papa berpidato sedikit di depan para tamu dan warga.
"Riri, ayo kita makan dulu, udah dulu kangen-kangen nya, dilanjut nanti lagi, Papa udah laper nih, " ucap Papa sembari mengelus perutnya yang buncit.
"Emm, Pa, boleh aku ajak sahabat aku? " tanyaku pada Papa.
"Boleh dong Sayang, silahkan saja, terserah kamu mau ajak berapa orang yang kamu mau. "
"Makasih ya, Pa. "
Aku pun turun dari panggung dan menghampiri Citra dan Bu Tiar. Kutinggalkan Zahra yang masih dalam gendongan Papa, aku biarkan mereka menuangkan rasa rindu yang membuncah pada cucunya.
"Citra ayo kita makan bareng, aku udah laper. "
"Aku makan sama yang lain aja Ri, gak enak takut ganggu. "
"Kamu ini kayak sama siapa aja. Biasanya juga selonang selonong."
"Kan beda Ri, Riri yang sekarang adalah seorang jutawan, anak pengusaha."
"Kamu nih apa-apaan sih, Aku ya tetap Riri yang dulu, gak pernah berubah, udah ayo ikut, pokoknya gak boleh nolak. "
"Yaudah deh, ayo, Bu, " ucap Citra pada Bu Tiar. Saat aku, Citra dan Bu Tiar akan menghampiri Papa, Mama dan juga Zahra yang sudah turun panggung, ternyata disana sudah ada Mbak Meri, Mas Tio dan istri juga anaknya, Lintang juga suaminya.
"Ri, lihat deh, kayaknya ada yang mau cari muka deh, " seloroh Citra padaku.
"Sepertinya begitu, kita lihat saja Cit, apa maunya mereka. "
"Wah, kami gak nyangka ternyata Riri itu anak pengusaha hebat seperti Bapak, kami aja baru tahu kalau ternyata Riri bukan adik kandung kami, ya kan, Mer? " ucap Mas Tio pada Mbak Meri.
"Iya, Pak, Riri itu anak yang baik, kami sebagai Kakaknya sayang banget sama dia, " ucap Mbak Meri menimpali Mas Tio.
"Oh, gitu ya? Lalu kalau kalian sayang sama Riri, kenapa kondisi Riri dan kalian bisa berbeda? " ucapan Telak dari Papa membuat keduanya bungkam seketika.
"Mampus, mereka kira Papamu gak tau kelakuan mereka sama kamu, Ri, " ujar Citra padaku.
"Begitulah kalau ular di kasih muka, jadi bermuka dua, karena ada maunya aja mereka begitu, aku yakin setelah ini pasti Lintang yang akan cari muka.
"Eh, Pak, kenalkan saya adik iparnya Mbak Riri, saya itu kagum sama Mbak Riri, dia itu sosok wanita yang solehah, sungguh Kakak saya beruntung mendapatkan istri seperti Mbak Riri. " Lintang ikut angkat bicara.
"Oh ya? Bukannya kamu yang udah fitnah anak saya melacur karena bisa bayar hutangnya padamu? Duh kalian ini sudah deh, gak usah cari muka didepanku, karena itu gak akan mempan, aku sudah tahu sepak terjang kalian seperti apa, jadi gak usah jadi ular di hadapanku. "

Book Comment (104)

  • avatar
    Lan Lan

    nice

    10d

      0
  • avatar
    Riandi

    bagus

    08/08

      0
  • avatar
    NaimAinun

    ceritanyabagus

    06/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters