logo
logo-text

Download this book within the app

7. Heboh

Pak Fajar dan Bu Anna tak mau menerima uang sebesar itu secara cuma-cuma. Apalagi tanpa alasan yang jelas. Mereka akan mengembalikan uang itu kepada Pak Broto keesokan hari.
Dengan wajah lesu, Arina duduk di meja kerjanya. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada Pak Broto.
"Mbak Fina?" panggil Arina ketika Fina melewatinya.
"Ya, Rin?" Fina mendekat dan duduk di samping Arina.
"Mbak, maaf sebelumnya. Bapak sama Ibu nggak bisa menerima uang itu."
"Loh, kenapa?"
"Bapak dan Ibu mau mengembalikan uang itu. Rencananya, besok akan berkunjung ke rumah Mbak Fina," ujar Arina.
"Hem," Fina menghembuskan nafas kasar. Ia beranjak menuju ruangan Papanya. Arina takut kalau Fina dan Pak Broto akan marah dan kecewa. Ia pun menyusul Fina karena merasa tak enak hati.
"Permisi," ucap Arina di ambang pintu.
"Masuk, Rin. Tutup pintunya!" pinta Pak Broto.
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud unt—"
"Saya sudah mengerti. Saya sudah memikirkan hal ini sebelumnya. Sepulang dari kantor nanti, saya dan Fina akan berkunjung ke rumah kamu. Saya ingin membicarakan hal yang penting dengan Bapak kamu," ungkap Pak Broto dengan memotong pembicaraan Arina.
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," ujar Arina dengan mengatupkan kedua tangannya.
****
"Permisi. Selamat malam," ucap Pak Broto dan Fina bersamaan di depan rumah Arina. Seketika pintu rumah terbuka. Bu Anna mempersilahkan mereka untuk masuk. Tak lama kemudian, disusul Pak Fajar dan Arina ke ruang tamu.
"Maaf sebelumnya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Maksud kedatangan kami kemari untuk meminta maaf dan berbalas budi," ucap Pak Broto memulai pembicaraan.
"Maksud Bapak bagaimana?" tanya Pak Fajar tak mengerti.
Pak Broto memeluk Pak Fajar layaknya teman akrab. Lalu, ia melepas kacamatanya yang sudah mengembun. Fina hanya tertunduk sambil terisak.
"Loh, ada apa ini?" Pak Fajar dan Bu Anna kebingungan dengan tingkah mereka.
"Kami bertanggungjawab atas kecelakaan yang menimpa Pak Fajar beberapa tahun lalu."
"Waktu itu Fina, anak saya mengendarai mobil bersama sepupunya, keponakan laki-laki saya." Hening. Semua masih diam mendengar penuturan Pak Broto.
"Dan tak sengaja menyerempet motor Pak Fajar waktu itu. Saking takutnya, mereka kabur meninggalkan Bapak sendirian. Tetapi, mereka dihantui rasa bersalah, terutama Fina." Pak Broto memandang Fina seakan memberi kode agar Fina sendiri yang mengungkap kejujuran ini.
"Keesokan harinya, saya mengajak Papa untuk kembali ke lokasi. Saya menyesal telah mengizinkan sepupu saya yang saat itu masih SMP mengendarai mobil di jalan raya. Sebetulnya ia belum terlalu mahir waktu itu. Saya juga menyesal telah meninggalkan Bapak begitu saja. Maafkan saya, Pak Fajar!" terang Fina sambil menyeka air matanya.
Semua terkejut mendengar pernyataan Fina. Tangis Arina pun pecah.
"Maafkan saya Bu Anna. Arina, maafkan saya," ujar Fina sambil menggenggam tangan Bu Anna dan Arina. Masih sama, hening. Tak ada jawaban dari Pak Fajar, Bu Anna maupun Arina. Hanya isak tangis yang terdengar dari mereka.
"Ketika saya kembali ke lokasi, saya berharap menemukan sebuah petunjuk. Untung saja saat itu saya menemukan KTP Pak Fajar. Ingin saya ke rumah Bapak saat itu, tapi saya takut. Saya meminta supir Papa untuk mengawasi rumah Pak Fajar agar mendapat informasi tentang Pak Fajar saat itu. Saya tahu Pak Fajar tidak bisa bekerja. Itu semua karena saya dan sepupu saya. Sekali lagi saya minta maaf," jelas Fina panjang lebar.
"Bukan hanya itu. Tiga tahun kemudian, saya bertemu kembali dengan Pak Fajar. Apakah Bapak ingat pernah menolong orang yang dihadang preman? Orang itu saya, Pak. Kalau tak ada Pak Fajar, entah bagaimana nasib saya saat itu. Tapi, lagi-lagi saya membuat kesalahan. Saya meninggalkan Pak Fajar begitu saja ketika Pak Fajar sedang berkelahi dengan preman itu tanpa mengucapkan terima kasih pada Pak Fajar. Apakah Bapak, Ibu, dan Arina berkenan memaafkan saya?" ujar Fina memohon.
"Sebenarnya tadi mau mengajak keponakan saya juga, tapi saya menghubunginya terlalu mendadak dan dia sedang di luar kota. Jadi, ia tak bisa ikut dalam pertemuan ini. Dia berkata jika lain waktu akan mendatangi Bapak dan meminta maaf langsung kepada keluarga Bapak," tambah Pak Broto.
"Sudah, nggak apa-apa. Saya sudah melupakan semua itu. Nak Fina masih ingat dengan kesalahannya dan berusaha meminta maaf itu sudah cukup bagi saya," ujar Pak Fajar dengan tenang.
"Jadi, selama ini Mbak Fina baik sama saya karena—"
"Arina, maafkan saya." Fina bergegas memeluk Arina dan saling menumpahkan air mata.
"Tolong diterima uang yang telah kami berikan untuk membangun sebuah rumah makan. Sebagai ganti atas penderitaan yang terjadi menimpa Pak Fajar karena ulah anak dan keponakan saya," ujar Pak Broto.
"Tidak perlu, Pak. Saya sudah memaafkan semua. Tidak perlu diganti apapun," tolak Pak Fajar.
"Saya mohon dengan sangat. Tolong diterima, Pak. Kalau tidak, kami akan terus dihantui rasa bersalah. Tolong, Pak!" ucap Pak Broto memohon.
Setelah Pak Broto dan Fina membujuk Pak Fajar dengan berbagai kata maafnya, akhirnya uang itu diterima.
Tenang! Arina dan Fina sama-sama merasa tenang. Arina sudah mengetahui semua dan memaafkan Fina. Begitu pula dengan Fina yang sudah tak dihantui rasa bersalah lagi.
****
Sekarang, mereka sudah seperti saudara. Sering berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Pak Broto dan Fina sering mengajak Elly dan Era ke kediaman mereka. Bahkan kedua keluarga itu sering berlibur bersama.
Fina dan Arina juga sering berpergian bersama. Arina sudah merasa tak canggung lagi. Ia sudah menganggap Fina seperti kakaknya sendiri. Begitu pula dengan Fina yang menganggap Arina seperti adik sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti Arina memanfaatkan Fina. Mereka akan bergantian menraktir satu sama lain. Sebenarnya Fina menolak jika ditraktir Arina. Tapi, Arina sering memaksa bahkan ia membayarnya diam-diam.
Saking seringnya diajak Fina untuk melakukan perawatan kulit, penampilan Arina berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, hal itu tak membuat Arina lupa dengan sahabatnya, Tia. Arina sangat merindukan Tia. Mereka tak bisa bertatap muka secara langsung dikarenakan Tia sibuk dengan segala kegiatannya di luar kota. Mereka sering berkomunikasi melalui panggilan video.
****
Pembangunan rumah makan Bu Anna berjalan lancar. Proses pengecatan sudah dilakukan. Hanya tinggal beberapa langkah saja itu akan rampung.
Bu Anna dan Pak Fajar sangat bersyukur atas semua ini. Mereka berharap usahanya akan berjalan lancar. Mereka tak akan melupakan kebaikan Pak Broto dan Fina. Bu Anna sering menitip bekal makan siang untuk Pak Broto dan Fina pada Arina.
"Hebat ya, Bu Anna itu. Sekarang sudah bisa membangun rumah makan," bisik-bisik tetangga mulai terdengar.
"Iya. Beruntung banget. Memang, nasib tak ada yang tahu. Kalau ingat pas susah dulu, aduh.. nggak tega," ujar Ibu-ibu itu sambil memilih-milih sayur.
"Heleh, palingan juga pakai jalan pintas. Kalau nggak ngutang, ya.. pesu—"
"Hus! Nggak boleh ngomong sembarangan, Bu Leni. Mereka memang keluarga yang tak mudah putus asa. Semuanya pekerja keras," potong Ibu-ibu yang lain.
"Iya. Jangan-jangan Bu Leni iri, ya?"
"Lihat aja si Arina jauh lebih cantik sekarang daripada Feli. Arina jauh lebih terawat. Kalau lagi berpapasan sama dia, euh.. wangiii," celetuk Bu Dona.
"Paling juga simpenan Om-om," sewot Bu Leni.
"Istighfar, Bu. Bu Leni punya anak perempuan. Jangan pernah menuduh anak orang lain yang tidak-tidak. Nggak takut berbalik apa?" timpal Bu RT.
Seketika Bu Leni diam mendengar ucapan Bu RT. Ia bergegas mengakhiri belanjanya karena sudah muak dengan Ibu-ibu yang lebih sering memuji Arina.
****
Arina berencana akan membeli kado untuk Elly. Pulang dari kantor tadi, ia langsung menuju ke mall. Arina ingin memberinya tas sekolah dan sepatu. Saat sedang mengamati tas, tubuhnya tak sengaja menabrak seseorang.
"Maaf, Mas," ucap Arina.
"Nggak apa-apa," balas pria itu. Mereka saling berpandangan. Arina tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Andy berdiri di depannya. Ia sangat tampan dan gagah.
"Andy?"
"Kamu? Em..," Andy mencoba mengingat-ingat.
"Arina?" tanyanya lagi.
Arina membalas dengan anggukan dan tersenyum. Andy tak percaya bahwa wanita di depannya ini Arina. Dulu jadi bahan bullyan satu sekolah, sekarang sangat cantik jelita. Siapapun yang membullynya, pasti akan sangat malu, pikirnya.
"Cari tas buat siapa?" tanyanya lagi.
"Buat adik aku. Kamu juga cari tas?" tanya Arina balik.
"Iya, buat keponakan. Setelah ini mau kemana?"
"Mau pulang."
"Makan dulu, yuk! Sambil ngobrol sebentar," ajak Andy.
Arina tidak menyangka ia akan makan berdua saja dengan Andy. Arina mengangguk menyetujui ajakan Andy.
"Kamu sibuk apa sekarang? Kok, bisa bikin pangling kayak gini?" goda Andy sambil menikmati hidangan.
"Ehe, kerja," jawab Arina singkat.
"Kerja dimana?"
"Di PT Ayu Kosmetika. Kamu sendiri?"
"Aku kuliah sambil belajar ngurus bisnis Papa aku. Oh iya, boleh minta nomer ponsel kamu?" tanya Andy sambil menyerahkan ponselnya. Arina tersenyum dan mengetik nomernya.
"Kamu nggak risih makan berdua gini sama aku?" tanya Arina.
Seketika Andy pun tertawa mendengar pertanyaan Arina.
"Kenapa harus risih? Apa karena dulu kamu sering dibully?"
"Dulu kan, satu sekolah suka bully aku. Ngelihat aku aja, mereka udah geli. Apalagi kamu malah ngajak makan begini."
"Emang dulu kamu pernah lihat aku geli sama kamu? Emang aku dulu pernah bully kamu?"
Arina diam mendengar itu. Memang, setelah dipikir-pikir, Andy tak pernah ikut-ikutan membully dirinya. Saat itu, Andy hanya diam saja. Membully tidak, tertawa pun tidak. Hanya diam.
"Nggak pernah sih, tapi, kan.."
"Aku itu nggak suka bully-bully kayak gitu. Makanya aku diam aja. Waktu itu cuma ngebatin aja, kenapa mereka kok sejahat ini," jelas Andy.
"Lalu, kamu sendiri kenapa sekarang jadi banyak bicara? Berbeda saat sekolah dulu. Kamu terkenal diam dan cuek," ujar Arina sambil memotong steak.
Andy terdiam mendengar ucapan wanita cantik di depannya itu. Ia mengamati Arina saat mengunyah makanan, terlihat imut baginya. Seperti wanita korea, pikirnya. Andy tidak menyangka Arina bisa berbeda jauh dari yang dulu. Jika dulu kulitnya kusam, gelap, kasar, dan banyak jerawat. Sekarang mulus, cerah, tak ada satu jerawatpun yang menempel. Bersih semuanya. Bagi Andy, ada yang tak berubah yaitu senyum Arina. Meski dulu masih kusam, senyumnya tetap terlihat indah.
"Kamu kesini naik apa?" tanya Andy.
"Angkot."
"Serius?"
"Ya, iyalah."
"Nanti aku antar!"
Seketika Arina berhenti dari aktifitas makannya.
"Kenapa berhenti? Lanjut aja! Nanti kalau udah habis aku antar pulang. Nggak sekarang," ujar Andy sambil tertawa.
"Em." Arina mengangguk dan melanjutkan makannya.
Saat di dalam mobil, Andy meminta Arina untuk berfoto bersama dirinya. Makin tak karuan degup jantung Arina saat itu.
Dalam perjalanan, Arina dan Andy saling bertukar cerita tentang perjalanan mereka. Andy suka melihat Arina tertawa.
"Nggak masuk dulu?" tanya Arina saat sampai di depan rumahnya.
"Kapan-kapan aja," jawab Andy sambil tersenyum. Begitu Arina keluar dari mobil, Andy menarik tangan Arina yang halus itu.
"Ada apa?"
"Makasih udah ditemenin jalan," ucap Andy.
Arina tersenyum dan melepaskan tangannya dari genggaman Andy. Ia tak mau Andy tahu debar dadanya yang kian tak beraturan.
Arina masuk ke rumah sambil senyum-senyum. Sekarang, yang dirasa hanya bahagia. Ia sangat bahagia. Saat ia membuka ponselnya, ramai sekali yang mengirim pesan padanya, kebanyakan dari teman sekolah Arina. Notifikasi masuk bergantian di media sosial Arina. Ia sampai kewalahan membukanya.
Taraa! Andy memposting foto bersama dirinya tadi dengan caption 'bertemu teman sekolah dulu. thanks for your time.' Tak lupa, ia juga menandai Arina.
[Darimana tahu nama akunku?] tanya Arina melalui pesan di aplikasi berfoto itu.
[Tinggal ngetik arinabella ternyata udah ketemu] balas Andy cepat.
Banyak komentar membanjiri foto itu. Terutama dari wanita alumni sekolahnya dulu. Mereka belum percaya jika itu Arina.
Seketika dada Bobby bergemuruh melihat postingan yang sedang ramai itu. Bahkan, jadi pembahasan di grup alumni kelasnya.
[Sumpah, Arina cantik banget.]
[Iya. Nggak nyangka.]
[Mana nih, Bobby?]
[Mau kasih bullyan apa lagi?]
[Bobby lama-lama bisa suka.]
[Andy yang terkenal tampan di sekolah, bisa foto bareng Arina sekarang. Dia juga yang posting. Apalagi yang lain, bisa klepek-klepek.]
[Arina kemana nggak pernah muncul di grup?]
Begitulah isi pesan di grup alumni kelasnya.
[Bro, Arina, Bro!] Rio mengirim pesan pribadi ke Bobby disertai foto Arina dan Andy.
[Kayak selebgram, Bro! Gila.. Cantik banget.] tambahnya lagi.
Bobby mengabaikan pesan itu. Bisa-bisanya Arina seperti itu, pikirnya.
"Ck!" Bobby berdecak kesal. Pasalnya, si Arina jauh lebih menarik dari kekasihnya. Selama ini, Bobby selalu membanggakan kekasihnya itu dengan sombongnya.

Book Comment (347)

  • avatar
    CuteAulia

    fina sangat amat baik

    12/06

      0
  • avatar
    MaulidtaLutfi

    suka sama ceritanya seru nyambung dari awal smpe akhir👍

    29/05

      0
  • avatar
    TariganOktania

    ceritanya seru sekali seperti jaman saya masih SMP

    28/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters